Oleh Dian Ciptadi
Saya terkejut, terenyak, dan heran. Ketika membaca cover salah satu media terkemuka di New York, The Times. Koran itu mengangkat sebuah berita yang ironis, pun tragis. Seorang mahasiswa Harvard University yang bernama John, merobek ijazah Sarjananya ketika acara wisuda tengah berlangsung. Hal tersebut terasa sangat ganjil, okelah hal tesebut di lakukan oleh seorang yang merasa tidak puas dengan nilai yang di dapat, anak begajulan, berandal or..something like that’s lah..ironisnya hal tersebut dilakukan oleh seorang John! Yang merupakan lulusan terbaik Harvard ketika itu dengan nilai tertinggi. Cumlaud bung…
Unik n sekaligus menggelitik. Apalagi jika tau kenapa si John melakukan itu. Di depan peserta yang hadir dalam acara itu, sambil berdiri di atas podium kehormatan, dia berkata , “Mungkin anda heran melihat aksi saya ini, tai ini merupakan reaksi normal bagi saya. Setiap kali dosen memberikan soal-soal tes, semuanya dapat saya kerjakan. Tapi hal tersebut tidak menjamin semuanya, karena ada tiga pertanyaan yang sangat essensial dalam kehidupan ini yang tidak bias saya jawab, yaitu : Darimana saya berasal? Untuk apa saya ada di dunia? Dan mau kemana saya nanti?...”
Ya. Itulah sepenggal kisa memilukan dari seseorang yang dianggap pintar nan jenius untuk ukuran ilmu fisik, materi, duniawi, atau…apalah disebutnya. Tapi dengan kemampuannya itu, dia tidak bisa menemukan hakekat dirinya yang sebenarnya. Hal yang demikian dapat terjadi dan menjadi sebuah fenomena yang klasik, karena pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan pada umumnya melulu merujuk materialisme. Hampa akan nilai religiusitas yang bias menjadi penawar dahaga dikala kemarau melanda jiwa.
Eksistensi diri menjadi sangat penting, terutama jika kita mengingat sebuah pepatah bijak yang berbunyi, “Man arafa nafsahu, arafa Rabbah.” Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Rabbnya.
Polemik terhadap pengkajian manusia seolah tiada habisnya. Contoh yang selalu hangat (meskipun sebenarnya sudah basi) ialah polemic seputar teori Darwin. Meskipun Charles Darwin dan ilmuwan-ilmuwan Darwinisme bersikukuh, istikomah terhadap pendiriannya, bahwa manusia itu berasal dari monyet, tetapi pada kenyataannya, tidak ada atupun manusia (kaya ataupun miskin, pahlawan ataupun penjahat) yang mau mengakui bahwa nenek moyangnya adalah monyet…atau sebangsanya. (mungkin termasuk Darwin sendiri)
Meskipun, jika kita memperhatikan wajah kita sendiri di depan cermin tatkala tertawa, nyerengeh, terkekeh-kekeh, ternyata ada kemiripan juga, apalagi jika sedang ngelamun terbang terbawa angan-angan nan jauh ke langit nan tinggi, dengan raut wajah yang sering tak control. Namun, apapun itu, yang jelasa keadaan manusia di masa sekarang ini sudah ga jauh beda dengan perilaku monyet.
Monyet senang tinggal di ketinggian pohon. Begitu juga manusia, sangat menyukai tempat tinggi, apalagi yang tinggi itu adalah jabatan. Segala usaha, pun upaya dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut. Saya teringat cerita ketika kanak-kanak, ketika sang monyet yang menaiki pohon pisang, menipu, memanfaatkan kura-kura bodoh di bawahnya yang tak berdaya untuk dapat menaiki pohon tersebut. Jika sang kura-kura minta haknya yang telah dijanjikan, maka sang monyet dengan teganya, sambil ngeledek melemparkan kulit pisang ke tubuh kura-kura tersebut, jika protes, cukup perlihatkan gigi-giginya yang runcing sehingga menciutkan nyali sang kura-kura, hingga menyembunyikan kepalanya kedalam tempurung.
Begitulah sekilas analogi gambaran sebagian besar manusia yang tak ubahnya berkelakuan seperti monyet. Memang ada bedanya…ketika hari ini monyet-monyet hanya memiliki satu busana, yaitu rambut-rambut yang tersusun rapid dan lebat sejak lahir. Justru manusia memiliki lebih banyak varian jenis busana yang bisa digunakan sesuai kondisi. Ketika musim hujan, jaket-jaket dan mantel tebal siap melindungi tubuh dari ganasnya cuaca dingin, namun ketika musim kemarau yang dating, maka semua itu digantikan dengan kaos-kaos oblong tanpa lengan, bahkan baju-baju ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh yang menjadi kebanggan mereka, bak peeragawan dan peragawati yang berbusana necis dengan gayanya yang narsis.
Bahayanya, ketika datang musim kepepet, baju “takwa” yang merupakan lambang baju keshalehan di mata, umum siap dijadikan penutup keaslian congkakya diri, luar memperlihatkan keshalehan wibawa, dan lain sejenisnya, tapi jauh berbeda dengan apa yang ada di dalamnya, kotor, busuk, dan hal-hal memalukan lainnya. Itulah sebabnya Ali bin Abi Thalib beratsar, “Lihatlah apa yang diucapkan, jangan lihat siapa yang mengucapkan.” Atau dalam lain kata, “Don’t look picture from the cover.”
Dua kalimat diatas adalah agar kita selalu waspada dalam menghadapi realitas kehidupan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang yang pinter keblinger. Ibarat serigala berbulu domba. Bagaimanapun baiknya sikap yang diperlihatkan diantara kawanan domba, serigala tetaplah serigala, terlepas domba dari kawanan, terkaman kejam siap menerjang tanpa ampun.
Juga ketika kita melihat melalui kacamata moral religi, bumi tempat kita berpijak, yang sudah beralih kezaman komputerisasi canggih ini, ternyata dihuni oleh monyet-monyet yang berkeliaran disana-sini. Dilihat dari kacamata moral religi, banyak monyet yang sedangbelanja di pasar, mall-mall, bahkan ada monyet-monyet yang bergelantungan di instasi-instasi birokrasi yang senang mengotak-ngatik nasib rakyat. Semoga saja hal demikian tidak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang menjadi harapan umat.
Diakui atau tidak, banyak monyet di sekitar kita, benarkah adanya evolusi itu ? kalau memang benar, tapi kenapa masih juga ad monyet yang bergelantungan di hutan-hutan? Ataukah evolusi itu berjalan sebagian dan sebagian lagi tidak? Sebenarnya teori evolusi itu mengungkap monyet yang jadi manusia, atau manusia yang jadi monyet? Apapun itu, sudah seharusnyalah bagi kita untuk mengetahui siapa kita sebenarnya. Masalah evolusi, satu hal yang pasti, bahwa kita dituntut untuk berubah menjadi manusia seutuhnya! Menjadi Insan Kamil. Hilangkan sifat “monyet” kita. Buktikan bahwa kita benar-benar terlepas nasab dari makhluk yang berjenis monyet, karena kita adalah manusia. Makhluk Allah yang paling sempurna dalam proses penciptaan, dan di muliakan dalam kedudukan.
Kenali diri kita!!!
Untuk selanjutnya menjadi manusia seutuhnya.
Tegal Laka-laka : Superpositive Traveling (Bag. 2)
8 tahun yang lalu
2 komentar:
menrut eke... tindakan Jhon ptut diapresiai.. sebab hidup tidak ada di ijajah
eh... di ralat.. maksud eke, hidup tidak tergantung ijazah.... banyak jalan menuju hidup.. ijazah hanyalah kertas, sebuah kertas... tidak ada hidup di dalamnya.. hidup itu ada di diri kita...
thanks.. telah berpartisipasi dengan komunitas blogger Pena IMM... anda telah sekarang blogger aktif... terus hiasi wadah ilmu (blog) dengan tulisan-tulisan aktual
Posting Komentar