Oleh Sukron Abdillah
Kemarin baru saja saya selesai merangkai cita-cita. Ya..., tidak setinggi langit karena takut jatuh dari ketinggian.Tingginya cukup sampai atap rumah saya saja. Paling 3,5 meteran. Selama saya hidup, karena berasal dari perkampungan; tidak begitu "gila" dengan keinginan dan harapan. Saya selalu berusaha agar tidak disakiti hati dengan keinginan menggebu. Trik praktis hidup agar tidak diperdaya harapan adalah mengetahui rangkaian cita-cita. Seberapa tinggi kah kita harus merangkai cita-cita tersebut. Seperti halnya angin, air, dan bumi; selalu menempati ruang yang sesuai.
Buku yang saya tulis dengan nama pena Sabil el-Ma'rufie, Dahsyatnya Shalat Dhuha, ketika pertama kali ditulis tidak terbesit cita-cita untuk dicetak sampai enam kali (2007-2009). Waktu itu saya hanya menuliskan ide-nya. Dicetak ulang 3 kali adalah cita-cita saya waktu itu. Coba bayangkan kalau saya bercita-cita dicetak ulang 12 kali dalam 3 tahun. Pasti rasanya saya akan dijajah bentuk lain dari harapan dan keinginan itu. Hari ini juga kekecewaan pasti terus menyelimuti.
Begitu pun kemarin ketika saya merangkai cita-cita menerbitkan sendiri naskah saya menjadi buku. Saya -- sebagai penyuka angin -- selalu mengubah dalam waktu sedetik cita-cita yang sudah dirangkai sehari-semalam. Memiliki penerbitan sendiri untuk karya teman-teman saya di Irfani Writing Club; adalah cita-cita yang selesai saya rangkai. Konsep penerbitannya mencaplok manajemen kebebasan (indie). Bahkan, di otak ini ada serangkai konsep menerbitkan buku per 500 eksemplar terlebih dahulu. Jujur saja..., karena saya pernah menulis buku di DARMizan, selalu saja ada yang menyetorkan naskah secara pribadi. Saya akan menyerahkannya ke teman editor saya, untuk dievaluasi. Kalau terlihat seksi, naskah itu akan "bernasib" baik hingga layak diterbitkan. Tapi, karena tidak terlihat "seksi" oleh penerbit dan katanya, oleh pasar pembaca; banyak yang ditolak. Ya...itu risiko buat penulis pemula. Bahkan, saya juga sering ditolak mentah-mentah hingga tidak terhitung naskah yang mendekam di ruangan komputer.
Berangkat dari itulah; saya bercita-cita mendirikan penerbitan indie, Irfani Publishing House, khusus menerbitkan karya saya dan kawan-kawan secara terbatas. Tidak muluk-muluk ingin menjadi penerbit besar...karena semakin besar modal dikeluarkan; harga jual buku bakal semakin mahal. Cukup saja lima ratus eksemplar dengan memanfaatkan teknologi cetak POD. Nah, untuk teknologi cetak buku ini, saya belum mengetahui sedikit pun.
Seandainya cita-cita itu melebihi target; saya gembira. Dari setinggi atap rumah saya, cita-cita dalam kenyataannya dapat menggapai langit yang super duper tinggi. Berbeda ketika saya -- misalnya -- bercita-cita setinggi langit. Namun, pada tataran riil, target itu hanya sampai atap rumah saja. Kecewa dong pastinya. Bahkan, boleh jadi saya akan sakit-sakitan. Padahal, cita-cita itu bukan setinggi langit. Tapi setakterbatas ketinggian alam ini.
Kalau masih pusing dengan cita-citamu...ikuti seri tulisan ini selanjutnya...(BERSAMBUNG)
Tegal Laka-laka : Superpositive Traveling (Bag. 2)
8 tahun yang lalu
1 komentar:
kalau begitu, bercita-cita jangan tinggi-tinggi,ya?
Posting Komentar