Selasa, 30 Juni 2009

Saya Pun Tak Tahu Judulnya

Oleh : Hasan el-Sumatrani

Saya sedang dilanda malas untuk berbuat sesuatu. Apalagi menulis. Entah apa yang terjadi pada saya saat ini. Kenapa jiwa ini terasa hampa dan sepi untuk melakukan apa saja. Termasuk menuangkan ide. Tak ada semangat sedikit pun yang saya rasakan sekarang. Yang ada, pikiran terus melayang, itu pun sangat bebas, entah kemana. Hidup ini terasa sendiri. Tak ada apa-apa, kecuali saya seorang diri. Di tengah kesendirian dan kehampaan hidup, saya mencoba menghidupkan komputer. Setelah hidup, beginilah akhirnya. Rasa kekesalan pada hidup, saya tumpahkan begitu saja pada komputer ini.

Saya malas berpikir untuk menulis apa. Otak saya tidak mau terkekang oleh pikiran-pikiran bagaimana menulis berbobot. Yang ada di dalam otak saya hanyalah ingin menulis apapun. Meski saat ini, saya sedang mengidap suatu penyakit yang berbahaya. Sangat berbahaya jika tidak diobati. Malas yang sedang saya idap sekarang. Penyakit yang membuat orang semua di dunia ini mati. Ya keduanya akan mati perlahan. Baik itu fisik atau rohani.

Untuk selanjutnya, saya pun kembali bingung dengan apa yang akan saya tulis berikutnya. Apa lagi, ya? Hai..ide datang lah padaku! Tak muncul-muncul. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Mematikan komputerkah? Atau terus menulis? Batin saya mengatakan,”Lanjutkan menulisnya!!” Apa yang akan saya tulis? Aduh…saya telah kehabisan amunisi. Tapi biarlah, saya akan gunakan amunisai yang tersisa. Beginilah keadaan saya ketika dilanda malas. Malas sangat membuat saya menjadi malas untuk berbuat sesuatu. Kecuali, komputer ini saya lakukan dengan tidak semena-mena. Saya mencoba memperkosanya, hingga lahirlah deretan anak-anak saya. Meski lahir dengan prematur. Itu sangat lah wajar, karena saya melakukannya bukan dengan jalan halal. Dengan pemaksaan. Biasanya, jika yang namanya pemaksaan, akan merasa sakit dari kedua pihak.

Meskipun saya merasa sakit ketika memperkosa, tapi saya semakin asyik melakukannya. Terkadang lelah, lemas ,juga menghampiri saya saat itu. Keringat pun tak luput dari muka saya. Ketika mencapai puncak, semangat saya menurun, bahkan tak keluar sedikit pun. Susah memang, namanya juga memaksa. Memaksa untuk segera keluar. Jika tak seperti ini, kapan saya akan mengeluarkan. Biasanya, setelah saya melakukan hajat saya, saya merasa senang dan tak ada lagi beban. Anehnya, saya tak pernah memikirkan akibat yang telah saya lakukan. Apakah berakibat buruk atau sebaliknya. Tak pernah sama sekali. Buat saya, memikirkan apa yang telah saya perbuat adalah semakin membuat saya malas berbuat sesuatu.Bisa jadi, saya pun akan kehilangan semangat. Yang lebih parah, saya bisa saja bunuh diri.

Sekali lagi saya tegaskan. Saya tak pernah menyesal dengan apa yang telah saya lakukan. Memperkosa sekalipun. Sebagai informasi, bahwa saya sudah memperkosa berkali-kali. Tempatnya pun bervariasi. Di antara tempat yang sering saya gunakan sebagai pelampiasan nafsu saya adalah; Masjid Iqomah, Perpustakaan, Kos, Sekre, Rumah, dan tempat-tempat sepi yang jarang dilalui banyak orang. Hari ini pun saya kembali melakukan pemerkosaan. Entah keberapa kalinya. Tak terhitung. Mungkin ini yang disebut sebagai “ketagihan”. Tapi saya merasa belum puas dengan apa yang saya lakukan. Yang saya lakukan selama ini hanya sebatas memasukkan, tanpa mengeluarkan. Saya ingin sekali sampai penetrasi. Tapi, nampaknya belum sampai di situ. Mungkin saya harus lebih agresif, dan terus memasukkan.

Terkadang saya pun kurang untuk bersabar. Padahal, sekian banyak buku tentang teknik memperkosa telah habis saya baca. Bahkan saya hafal. Namun, hasilnya masih belum signifikan. Harus apa saya? Haruskah saya berhenti memperkosa?

“Tiada yang lain”. Tiba-tiba, secara mengejutkan, saya teringat kata itu. Kata itu adalah sepotong larik lagu dari”Tirai”. Tirai adalah nama sebuah Band religi besutan salah satu aktivis IMM komisariat UIN Bandung. Sungguh, dengan kata itu, saya kemudian langsung terinspirasi untuk melanjutkan sebuah misi suci. Misi suci itu tiada lain adalah melanjutkan apa yang selama ini saya lakukan. Memperkosa. Sampai menyebabkan hamil.

Saya pun tidak tahu lagi apa yang akan saya tulis selanjutnya. Mungkinkah saya telah puas? Sudah sampaikah saya penetrasi? Entah lah. Apapun yang akan melintas di otak saya, saya akan langsung menuliskannya. Sekali lagi. Tentang hal apapun. Dan sepulgar apapun. Pokoknya, bebas. Seperti kebebasan seekor Burung yang baru lepas dari kandang buatan manusia. Juga sebebas berpikir mas Ulil Absar Abdala. Begitulah saya menulis untuk saat ini, dan saat-saat selanjutnya. Do’akan saja.

Saya memperkosa dengan cara saya. Mau dari arah mana saja. Itu pun terserah saya. Bebas. Saya ingin kebebasan. Karena saya yang melakukan. Karena saya yang merasakan. Adapun Anda, sebagai pembaca, tak ada tugas sama sekali. Selain membaca dari awal tulisan saya sampai akhir. Mengenai penilaian baik-buruk, kurang ini-itu, sebaiknya begini-begitu, dan hal lain yang mengganjal Anda. Itu semua hanya boleh disampaikan ketika saya bertemu Anda langsung. Dan bukan di dunia cyiber. Bagi saya, berkomunikasi di dunia maya bukanlah jalan satu-satunya. Apalagi seperti sekarang, mendekati bulan tua.

Kok, jadi kesana, ya..? O iya kan bebas. Sebebas air mengalir. Jika ada kelokan, air yang berpuluh-puluh kubik itu pun ikut berbelok. Air tak pernah membantah. Kecuali sang Maha pembantah akan membantahnya. Juga sebebas Imam Samudra cs menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama ayat-ayat mengenai jihad. Sebenarnya tak ada sama sekali hubungannya Imam samudra dengan tulisan saya. Tidak sama sekali. Tapi karena yang melintas dalam otak saya Imam samudra, apa boleh buat. Saya harus menuliskannya. Minimal, keluarga Imam Samudra merasa senang dengan Ia ditulis oleh saya. Meskipun, katanya, Imam samudra sudah terkena Timah panas-nya tim Brimob. Terlepas, Ia masuk Surga atau Neraka saya kurang tahu. Bukan kurang tahu, tapi memang saya tidak tahu. Itu urusan Tuhan saya, dan mungkin juga Tuhan Anda. Atau lagi-lagi, mungkin Anda tidak punya Tuhan?

Aduh, ternyata tak sulit menulis bebas. Mau jadi apa tulisan saya, itu terserah. Artikel, esei, cerpen, curhat, memoar, biografi, refleksi.. Sekali lagi saya tidak tahu. Yang jelas, tulisan saya ini bukan Puisi. Bila saja ada yang mengatakan tulisan saya ini sebuah puisi atau kumpulan puisi, maka orang itu wajib hukumnya bertemu dengan saya. Kita silaturahmi. Dan, berujung dengan saling tukar nomor Hp, juga saling memberikan masukan tentang tulisan saya.

Sudah saya katakan sebelumnya, bahwa saya ini sedang menulis bebas. Boleh dikatakan, saya ini menulis dengan tidak taat pada aturan menulis. Atau sebutan yang lebih exstrim buat saya sekarang adalah saya sedang melakukan pelanggaran kelas berat dalam dunia tulis-menulis. Itu hanya sebuah kemungkinan dari saya yang tidak tahu aturan menulis. Tapi, kata”enjoy” adalah pas buat saya. Saya juga belum tahu, apakah ada orang yang sama dengan saya. Mereka menulis bebas seperti saya. Saya kira ada. Jika tidak ada, tak mungkin para penulis hebat itu kini melanglang buana di jagat ini. Karena menulis bebaslah, mereka mendapat kebebasan.

Saking bebasnya, mereka sangat terkenal. Namanya harum di seantero dunia. Ya, terkenal dengan tulisan bebasnya. Terkenal dengan karyanya. Mereka juga sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Karyanya juga dinilai membebaskan umat menusia dari berbagai keterpurukan. Karyanya menggugah jiwa serta pikiran pembaca. Karya seperti inilah yang mungkin sangat diharapkan oleh umat dunia.

Jangan salahkan saya, saya mohon sekali lagi. Saya hanya mencoba menuliskan apa yang terlintas di dalam otak saya. Apa adanya. Mungkin, untuk saat ini, itulah kira-kira isi otak saya. Hanya sedikit. Sebenarnya masih banyak, tak terhitung. Tapi, mereka masih bersembunyi, masih enggan keluar. Mungkin juga masih segan dan malu. Suatu saat, saya percaya, mereka akan keluar semuanya. Semoga.
Continue Reading...

Lelaki Itu

Cerpen Reza Sukma Nugraha

Aku mengaguminya. Sewaktu shubuh, ia menjadi imam. Lantunan Fatihah beserta potongan ayat-ayat Ilahiah terdengar begitu meluluhkan hati yang mendengarkannya. Setiap yang mendengakannya? Aku tak tahu, yang jelas itu yang kurasa.
Setelah itu, ia membalikkan badan kepada para jamaah. Sekilas pandangku tertuju pada mata teduhnya, namun lekas kualihkan kedua indera penglihatanku ini. Kita semua duduk, mendengarkan tausiahnya dengan seksama.

Aku mengaguminya. Kalimat mayor yang selalu terbesit dalam hati sejak ia menjadi imam, kala itu.

♥♥♥

Aku memulai kuliah. Akhirnya Masa Orientasi Mahasiswa baru yang digelar Himpunan Mahasiswa selama sepekan lalu berakhir sudah. Aku senang. Tak ada lagi caci maki para senior. Tak ada lagi hukuman sportif, edukatif, atau rekreatif lagi. Sepekan lamanya, aku tak membantu ibu membuat kue dagangan. Sekarang aku kembali membantunya.

Namun, mungkin aku tak kan memasang telinga untuk mendengar dendang firman Allah dilantunkannya. Suara jernih yang selalu tersimpan dalam memori. Selaras dengan teduh parasnya yang bercahaya.

Masya Allah! Aku kembali terlena.

Mulanya kusimpan hal ini dalam hati. Terkunci rapat. Tak kan ada seorang pun yang akan kubagi cerita indah ini. Namun ku terlanjur bercerita pada Lili, teman baikku. Kurasa ia berhak tahu. Bahkan, sekarang kusadari ia wajib tahu hal ini. Karena sesungguhnya ku tak mau terlena dengan cerita penuh kemasyhuran dan kesenangan batin ini. Apa ini? Mengapa ku begini?
Aku mengaguminya. Kuulang kalimat itu pada Lili.

“Itulah pandangan pertama,” Lili berkata pendek. Kita duduk di pelataran mesjid kampus. Kumenengadah. Langit begitu cerah, batinku. Secerah hatiku. Namun sebetulnya aku gundah!
Ya. Memang Lili benar. Itu akibat pandangan pertamaku. Pandangan pertama memang diakui orang sebagai sesuatu yang menggoda, sarat keindahan dan ketakjuban akan yang dipandang.
Segera kutepis. Senyumku tiba-tiba datar. Memang benar pandangan pertama itu begitu menggoda, melenakan bahkan. Dan, kuakui itu adalah bagianku, hakku, milikku, atau mungkin rezekiku. Sepert yang dikatakan Rasulullah pada sahabat Ali bin Abi Thalib. Namun beliau mengatakan, bahwa pandangan berikutnya justru mencelakakan. Persisnya perkataan beliau, seperti pernah diungkapkan ustadzah Fatimah sewaktu ta’lim.

“Wahai Ali, jangan engkau susul pandangan pertamamu dengan pandangan yang lain, sebab pandangan pertama menjadi bagianmu sedangkan pandagan kedua dan seterusnya justru mencelakaknmu.”

Ahh…

“Nay,” Lili memecahkan fikiranku. Astaghfirullah, aku telah mengabaikan Lili yang semenjak tadi duduk di sebelahku.

“Sebaiknya kamu bilang aja sama dia terus terang.”

Aku memerhatikan ucapan Lili. Aku terdiam. Aku bukanlah orang yang pandai mengomentari ucapan orang. Jadi aku hanya diam. Sesekali aku hanya memberikan senyum pada Lili. Ingin sekali kubertanya, meminta pendapat lain, mengomentari pendapatnya, atau apa saja agar perbincangan ini tidak kaku, kosong, atau dingin, bahkan hambar tanpa interaksi yang hidup. Namun sekali lagi aku tak bisa. Mungkin Lili pun memahami watakku.

“Aku mengagumimu,” kalimat terpendek yang kukatakan waktu itu. Namun kukatakan dengan berjuta ton pemberat di bibir ini. Bahkan keringat tak sadar basah di berbnagai anggota badan. Namun setumpuk beban di dada baru saja musnah.

Di pelataran rumah Allah yang megah ini, kududuk bersebelahan dengan Lili. Sekira beberapa sentimeter, mungkin satu meter, duduk sesosok yang selalu buat malamku semakin berbintang, pagiku bersinar hangat, yang selalu merasuk menjadi buluh perindu dalam hari-hariku.
Ia hanya tersenyum, ketika sekilas kupandang. Hanya sekedar melihat ekspresinya, ketika begitu lancang seorang wanita yang semestinya begitu menjaga hatinya dari ucapan-ucapan yang semestinya tak ia ucapkan. Aku tak peduli.

Begitu panjang proses untuk akhirnya kuberkata seperti itu. Lagipula aku hanya berkata bahwa kumengaguminya. Apa ku salah?

“Tidak!” tepis Ridwan kala itu. Salah seorang teman baikku juga. Ia terlanjur tahu –entah dari mana—dan kuberanikan meminta pendapatnya. Ia dikenal dengan pendapat-pendapatnya yang brilian, cara fikirnya yang sistematis, tentunya dengan “wejangan-wejangan” yang bijak disertai solusi yang jitu. Walau ku harus maklumi, pendapatnya terlalu “gaul” dan mungkin kurang sesuai denganku. Ya, karena dia.... Ups, aku tak mau jadi ghibah.

“Bahkan lebih dari itu, lebih dari bilang sekedar kagum, kamu berhak, Nayla! Sekarang ini cewek nggak harus jaim tuk sekedar menyatakan maksud hati. Kalau terus kita diam, kapan si cowok tahu kalo kita suka sama dia. Nanti yang ada, kita sengsara.” Aku hanya tersenyum, menyimak pendapatnya. “Udah, sekarang beraniin aja bilang, aku yakin dia bukan tipe cowok yang akan menilai kamu yang enggak-enggak. Percaya deh!”

Kita memang satu jurusan, bahkan sekelas. Bisa jadi Ridwan lebih mengetahuinya daripada aku, karena mereka sama-sama lelaki. Sedang aku, hanya gadis pemalu yang tidak perlu mencari tahu tentang kesehariannya, seperti wanita lain yang sedang berburu idamannya, bahkan terkadang wanita itu harus mengorek-orek kesana-kemari tentang kehidupan pribadi idolanya dari teman atau kerabatnya..

♥♥♥

Sebuah SMS. Kubaca,

Maaf, tadi tidak sempat jawab.

Kubalas,

Tidak apa-apa. Malam begini, gi ngapain?

Baru selesai pengajian. Kamu sendiri, gi ngapain?

Lagi bantu ibu buat kue.

Ku balas tanpa pertanyaan. Aku bingung.

Nay, sebetulnya aku juga mengagumimu. Aku menyukaimu.

Sebuah senyum melebar di wajahku. Namun aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kuucapkan.

Aku memang mengatakan apa yang selalu mengganjal di ulu hati. Aku mengaguminya. Itu saja. Aku tak mengaharapkan jawaban, karena sebetulnya ku tak bertanya. Tapi ia berkata hal yang sama. Aku juga mengagumimu, kemudian, aku menyukaimu. Aku tak percaya apa yang ia ucapkan. Apa maksudnya? Apa ini…

Ya. Ini cinta. Yang semua orang punya. Perasaan dalam hati manusia yang telah lahir semenjak manusia lahir. Yang menurut Kahlil Gibran, keindahan sejati. Yang selalu dijadikan tema dalam setiap film, lagu, dan novel. Yang membuat dua insan bergandengan tangan, berduaan, bermesraan, walau tanpa ada ikatan yang syah…

Tiba-tiba saja aku bergidik.

Tapi ia bilang suka?

Apa ia memang memiliki perasaan cinta padaku?

Aku sendiri tak memahami diriku. Apa rasa kagumku hanya sebuah kiasan belaka. Padahal aku sendiri terjerumus pandangan yang membuat dampak seperti ini.

Aku tahu cinta itu kewajaran. Itu fitrah manusia. Kembali teringat perkataan ustadzah Fatimah, “Tak mungkin seseorang menghindar dari rasa cinta, kecuali orang itu keras hatinya, kurang waras alias gila.” Berarti aku memang merasakan cinta dan tak mungkin menghindar dari cinta.

♥♥♥

“Ly, aku nyesel dah bilang terus terang,” aku tiba-tiba mengadu pada Lili, siang itu.

“Kenapa nyesel?”

“Aku malu, masa wanita berani-beraninya…”

Lili memotong ucapanku, “Nay, daripada kamu terus-terusan dibebani perasaan, kan?”

“Nggak, pokoknya aku harus meluruskannya.”

“Meluruskan apa, Nay?” kata Lili sembari merapikan kerudungnya.

“Aku harus bilang, bahwa aku hanya mengaguminya, gak lebih,” kataku tenang.

“Kamu jangan bohongi perasaanmu, Nay!” kembali Lili menatapku tajam. Kuterdiam. Aku tak tahu harus bicara apa lagi.

Sebelumnya aku tunjukan sms darinya pada Lili. Memang semalam aku merenungkannya. Aku tak mau terus-terusan dirundung rasa yang begitu menggebu.

Tiba-tiba saja, malam itu, kuingin menepis rasa manis yang bersemayam di hati saat ini. Ku harus menghijab hati. Lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi Cinta.

“Sudahlah, jalani saja!” Tiba-tiba Lili membubarkan lamunanku. Seperti biasa, ku hanya diam dan tersenyum. Senyum yang menyembunyikan rumitnya permasalahan batin ini.

Ridwan muncul di depan kita. Ia mendekati kita. Awalnya ku malu melanjutkan pembicaraan dengan Lili. Namun tak ada salahnya Ridwan ikut berpartisipasi dalam kegelisahanku, ya, untuk dapat pemecahannya. Mudah-mudahan. Kita bertiga berdiskusi seperti merundingkan suatu perkara yang teramat penting. Padahal kurasa ini bukanlah hal yang penting. Sangat tidak penting, bahkan!

♥♥♥

“Ya, aku lumayan pusing juga sih,” ucp Ridwan saat mendengar keluhanku. Ia menghela nafas panjang. “Takutnya, pendapatku gak sesuai yang kamu inginkan. Aku gak bisa ngasih solusi yang gimana gitu…”

Aku mengerti apa yang ia ucapkan. Ia mungkin canggung denganku. Ia mungkin takut kalau solusinya –lagi-lagi—gak terlalu religius. Padahal kan tidak semestinya begitu. Toh aku ini wanita biasa-biasa saja, sama seperti teman yang lain. Hanya saja, sebutan sebagian teman, yakni “akhwat,” kadang membuatku malu karena membuat mereka, apalagi laki-laki –seperti Ridwan—menjadi terlihat canggung.

“Nay, yang saya tahu cinta itu rahmat dari Allah. Maka beruntung Nay bisa merasakannya.”
Aku dan Lili hanya diam memerhatikan Ridwan. Sebetulnya aku ingin tertawa geli , apakah Ridwan menyadari ucapannya begitu “dalam” dan islami.

“Nay mungkin lebih tahu ayat-ayat Al-Quran mengenai ini, seperti Ali Imron 14 atau At-Taubah 24, dan yang lainnya.”

Kulihat Lili tersenyum. Pasti yang ia rasakan sama denganku, terpukau mendengar Ridwan berbicara dalil, walau hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya. Padahal kuyakin, ia hafal bunyinya.

“Jadi mengingat rasa cinta itu datang dan diciptakan oleh Allah, mengapa harus kita sia-siakan, harus kita tepis, atau bahkan kita bunuh? Yang harus kita lakukan sekarang hanyalah membangun cinta itu dengan iman. Karena iman yang akan mengingatkan kita, bila ada yang terlarang akan kita lakukan!”

Hening sejenak. Tak satupun diantara kita yang berbicara.

“Tapi aku gak begitu, kamu salah duga,” aku terpaksa bicara.

“Salah duga bagaimana?” Tanya Ridwan serius.

“Aku sebetulnya ngaak…,” aku ragu mengucapkannya.

“Gak cinta?” Sambung Ridwan cepat. “Sudahlah, Nay. Kamu jangan memungkiri hati kamu sendiri..”

Aku kembali terdiam. Lili pun begitu.

“Rasa kagum itu hanya di mulut saja. Ketika kamu bicara berdua, eh bertiga, dengannya, kamu gugup. Di kelas bertanya atau menyapa, malu. Nay, kamu kan tahu, menurut imam Syafi’i, kalau perkataaan yang runtut menjadi kacau dan rahasia tersembunyi menjadi mencuat, itulah cinta!”
Lagi-lagi ku tak menduga dengan pendapat Ridwan. Anak gaul yang juga anak band ini begitu bijak bahkan bernuansa islami sekali. Bila ku berani, inginku acungkan dua jempol untuknya.

“Tapi kan gak ada konsep pacaran dalam Islam?” Aku bingung harus bilang apa lagi.

Kutanyakan hal ini saja. Entah apa yang akan Ridwan katakan.

“Aku gak nyuruh kamu pacaran, kok. Tadi aku udah bilang, kalau cinta dilandasi iman, maka yang terlarang akan urung dilakukan, termasuk pacaran. Cinta yang begitu indah akan ternoda bila tidak dilandasi hal itu.”

Pebincangan ini seperti milikku dengan Ridwan saja. Kulirik Lili yang dari tadi tak bergeming menatap Ridwan. Apa Lili masih terpana melihat Ridwan yang sungguh di luar dugaan.
“Jadi, gimana? Aku gak ngerti maksud kamu..”

“Pacaranlah! Buat sebuah kemesraan percintaan. Tumpahkan rasa kagum itu padanya. Sandarkan hati dalam ketenangan iwa bersamanya, tentunya dalam sebuah ikatan yang halal!”
Aku terperanjat.. Ikatan halal? Maksudnya, aku harus…

“Ah, yang jelas aku gak mungkin ngelakuin itu. Wan, aku ingin melupakannya!”

“Kenapa tak mungkin?” Kita bukan lagi anak SMP atau SMA. Menikah itu mungkin-mungkin saja. Tapi ya… kalau kamu tetap ingin melupakannya, tak ada cara lain. Jangan curhat padaku, tapi curhatlah pada Yang Maha Mendengar. Serahkan semuanya pada Maha Pemberi Cinta.
Dalam shalat malam, teruslah meminta petunujuk dari-Nya agar kamu dapat segera menyelesaikan hal ini.”

Sebuah tepuk tangan. Lili yang dari tadi diam menghentak tepuk tangan.

“Uhhh… pak Ustadz, keren banget tausiahnya!” pujinya pada Ridwan. Ridan tersenyum geer.
Aku diam, diam, dan diam. Namun sebetulnya kumerenungkan kata-kata Ridwan. Apakah sudah buntu jalan dari manusia sehingga ku harus mengembalikan semuanya pada Allah.
“Nay, sudah hampir Ashar, kita ke mesjid sekarang!” Lili melirik jam, ia mengajakku ke mesjid sekarang. Kita berdiri bergegas.

“Oh ya, Nay. Kalau kamu ngerasa belum mampu. Tenang saja! Kamu tahu kan bagaimana firman Allah dalam An-Nur 33?”

Aku tersenyum mengangguk. Lili menepuk bahu Ridwan. “Uhh… aku semakin terharu,” ucapnya sambil tertawa.

Aku segera pergi ke mesjid bersama Lili. Tak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada Ridwan..

♥♥♥

Malam ini sulit mata terpejam. Kumerenungkan semua ucapan teman-teman, Lili dan Ridwan.
Aku mengaguminya. Selalu terbesit dalam angan, kalimat itu. Apa jalan terbaik dari semua ini adalah apa yang diucapkan Ridwan tadi?

Menikah. Aku bukan tak mau. Mustahil, bila aku tak mau. Aku tetap akan menjalankan apa yang dilakukan Rasulullah sebagai sunnahnya. Karena ku tak bisa menjadi Rabiah Al-Adawiyah, yang begitu cinta pada Sang Khaliq, sehingga menolak lamaran Abdul Wahid bin Zaid, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi, sampai yang terkenal, Hasan Basri.

Tetapi permasalahnnya, apakah lelaki itu mau?

Teringat ucapan Lili sehabis Ashar tadi.

“Ia santri. Ia begitu sholeh dan tawadhu. Ia juga pintar. Yang jelas ia pantas bagimu. Apa yang kamu mau, pasti ia mau. Apa yang kamu tak mau, ia pun pasti tak mau.”

Ahhh. Mengapa kegundahanku melebar hingga berujung pada menikah. Namun ku harus memerhatikan ucapan terakhir Ridwan bahwa ku harus menyerahkan semua pada Sang Maha Pemilik Cinta, Pemberi Rahmat dan Fitrah.

Segarnya tetesan air suci membasahi semua anggota wudhu. Kuambil mukena, dan kuhamparkan tempatku bersujud tuk mengahadap Keindahan Tiada Tara. Akan kupanjatkan beribu puji kepada-Nya, karena hanya Dia yang patut dipuji.

Dan kepada lelaki itu, aku mengaguminya. Hanya mengaguminya.

Continue Reading...

Lelaki yang Menangis

Cerpen Reza Sukma Nugraha

Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu suatu saat. Retoris.

Berapa tetes air mata yang kau buang dan kau perlihatkan padaku. Ragamu jantan. Namun hatimu sungguh betina. Nyalimu nol, sahabatku. Selalu kau ukir kesedihan pada dirimu. Dan selalu saja telingaku yang menyambut.

Berapa detik terbuang hanya untuk merintih. Meraung dalam gulita. Memaki-makiku dengan sinisme, bahkan sadisme. Tubuhku bosan kau pukuli. Di satu tangan, kau berpangku. Namun tangan lain kau ikat dan kau belenggu.

Suatu purnama, matamu basah. Dadaku yang telanjang basah pula. Kau susut ingusmu dan tentu air matamu. Tiba-tiba saja kau berbisik lembut, “Maafkan aku.” Suaramu lembut, wahai sahabat lelakiku.

***

Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu di bawah gerhana bulan total.

Kali ini orang bertakbir pada Allah. Saling bersahutan. Gema suramu jatuh di kedua teliungaku. Kaukucurkan air mata kepedihan. Sehingga kau tanyakan, Tuhan dimana?

Kau tak sadar, Dia memandang, betapa kautak karuan. Rambutmu kusut karenasemilir angin malam itu. Malam gerhana bulan total. Tuhan dimana? Tanyamu sambil menengadah. Kutampar wajahmu yang manis. Kaumenunduk dan beristigfar. Menarik lengan kananku dan kauusap air matamu dengannya.

Tuhan itu dimana-mana, sahabat sejati. Ketika terasa tak ada, kauberkoar-koar bertanya dimana Dia? SEdang saat Nampak jelas Tuhan di atas pelupuk matamu, kau terkadang pura-pura tak tahu. Kau buta.

Lalu kau tidur terlentang. Matamu tak urung menutup. Biar mataku saja yang menutup. Namun kaubalas menamparku. Hingga mataku melotot hamper terlepas. Setetes, jatuh tepat di atas kelopak mataku saat kuterpejam. Kepalamu sepuluh sentimeter di atas kepalaku. Ludahi saja, aku! Daripada kulihat engkau menangis.

***

Apa lelaki boleh menangis? Tanyamu saat sayup-sayup azan Subuh memanggil.

Aku diam saja tak peduli. Lalu kaumenangis, kau ambil sebuah kertas. Diperlihatkannya padaku. Sebuah silet kau bungkus dengan kertas kuning itu. Dilipat apik.

Katakan padaku, sahabat setiaku.

Tak usah pergi membawa amarah. Setan akan terbahak-bahak. Padahal kau kan penakut. Jangankan setan, pada kucing pun kau menjerit. Jadi kembalilah. Buka bajumu. Kusiram dengan air dari sumur keikhlasan. Biar wajahmu yang semakin hari kian menggelap, kubasuh lembut dan perlahan. Duduklah, kuceboki dan kugosok gerahammu.

Namun kau malah lari. Lari dariku. Lari dari kenyataan. Kau pengecut.. Berarti kaubukan seorang yang shaleh. Doa-doa yang kauumbar tak berbuah hasil. Kasihan. Sepertinya Tuhan tak sayang.

Berhenti! Teriakku. Kausengaja pamerkan siletmu. “Biar kusayat-sayat nadiku,” ujarmu sambil melelehakn air mata. Bodoh, sahabat. “Kau tak punya hati,” tuduhmu. Padahal kupunya hati, kalau tak ada hati, apa yang akan menetralkan racun di tubuhku?

Dan, kupunya kalbu. Karenanya, kumasih bias ungkapkan kelebihan dan kekuranganmu. Tak usah bertanya, dimana kalbu itu. Karena itu ibarat kaumenanyaklan Tuhan yang dulu selalu kau tanyakan. Pulanglah dan buang silet itu.

Biar aku yang menyayat nadimu dengan tanganku sendiri. Agar namapk pancaran darahmu. Merah dan memuncrat. Akan kusedot darahmu, dan kucium pipimu sebelum darah itu habis. Lalu ucapkanlah laa ilaaha illallah. Lama-lama ucapkan Allah saja. Aku khawatir nafasmu terhenti ketika kau baru berrkata sampai laa ilaaha yang artinya Tuhan tak ada.

Akhirnya kaukembali berandar padaku.

Kupapah dirimu. Kurebahkan badanmu yang tegap dan kulitnya bersih sawo matang. Kau menangis lagi! “Sudahlah,” saranku seadanya. Tangismu malah menjadi-jadi, wahai lelaki.

***

Apakah kuboleh menangis? Tanyamu menjelang waktu Subuh berikutnya.

Kita hentikan saur kita. Aku kan lanjutkan ibadah sunatku. Sedang kaubatalkan saja! Kau bantingkan gelas. Sehingga gelasku tinggal lima buah. Serpihan-serpihannya biarlah berserakan. Apabila kau menginjaknya, kau akan mennagis.

Meredam emosi, kau taburkan dulu bedak ke punggungku yang gatal. Kau malah membentak. Kau bukan babu, katamu. Ya sudah, kuminta bantuan tangan lain. Kau malah mencubit pahaku hingga membiru.

Olala, apa yang kau inginkan?

Lebih baik kita salat berjamaah. Lalu kita pandangi gemintang. Kita hitung satu-satunya. Sampai kau pusing, lau terkantuk. Angin shubuh ini menggetar romaku. Mengelus kulitmu yang halus.

Jangan dulu mengatupkan mata, sahabat tercinta. Kita terus intip sahara yang bertabur gugusan cahaya. Karena sebentyar lagi, fajar terbit. Dan, venus akan lewat sekejap. Ya, bintang kejora itu akan melintas sesaat.

***

Kau benar-benar menangis. Tanpa meminta izinku terlebih dahulu.

Kala surya di sepenggal kepala. Ketika ubun-ubun benar-benar mendidih akibat polahmu. Kautertunduk terpaku-paku. Kau tak berani menatapku. Dan air mata benar-beanar meleleh dan membanjiri pipimu yang berisi. Matamu memerah. Aura jantanmupudar, atau tampak jelas?

Dari hidungmu memancar darah sehgar. Tangamu mengusapnya hingga memerah tanganmu pekat. Bau anyir. Kau beranjak, berdiri, berlari menuju wastafel. Dan, kaumuntahkan merah itu. Tangismu menjadi-jadi. Kuusap lukamu. Kusdapu dengan selembar sapu tangan merah. Itu pemberian darimu.

Tubuhmu semakin bergetar. Kupeluk kau. Dadamu begitu menggetarkan dadaku. Lukailah aku, sahabatku. Basahilah Bajuku dengan tangismu. Kubutuh embusan nafasmu yang selalu kautiupkan di telingaku. Pada ruhku. Berikan siletmu padaku.

Tadi sebelum kau lunglai, kau katakan padaku, “Hatiku lebih menangis.”
Continue Reading...

Kapitalisme Amerika; “Senjata Makan Tuan”*

Refleksi Ridwan Faridz

Diawal kemunculannya, Modernitas membawa angin segar perubahan bagi umat manusia. Hal ini memang tidak berlebihan, karena modernitas hadir bukan tanpa perbekalan (konsep) yang matang untuk melakukan sesuatu yang beda dari sistem sebelumnya. Pada awalnya modernitas hadir sebagai respon atas sistem dalam kehidupan manusia yang mereka (Penganut) anggap tidak memanusiakan manusia, inilah angin segar itu sehingga pada saat itu negara-negara lain berbondong-bondong berkiblat pada negara pencetus modernitas tersebut.

Kemajuan ilmu pengetahuan, ditemukannya berbagai tekhologi, memudarnya doktrinasi gereja,runtuhnya rezim otokrasi, berkembangnya demokrasi, kebebasan berekpresi, kebebasan memiliki kekayaan, globalisasi, merupakan hasil dari jerih payah modernitas yang mereka anggap sebagai sebuah kemajuan dan keberhasilan dari sistem baru ini. Bahkan seorang pemikir Francis Fukuyama sampai-sampai berani menyatakan bahwa sistem yang di telorkan dari modernitas adalah The end of History. Dimana kapitalisme dianggap sebagai puncak dari sistem ekonomi dunia dan demokrasi dianggap sebagai akhir dari sistem politik dunia begitu juga dalam bidang kehidupan lainnya semuanya berporos pada produk modernitas..

Dalam tulisan ini sendiri, penulis hanya akan menyoroti salah satu produk modernitas yang paling berperan besar dalam merubah kehidupan manusia dan saat ini sedang dipertanyakan eksistensinya yaitu sistem ekonomi kapitalisme.

Kapitalisme sebagai anak haram modernitas merupakan inti dari sistem ekonomi yang diusung penggagas modernitas. Sistem kapitalisme ini muncul sebagai counter dari sistem ekonomi sosialis-komunis yang di usung Uni Soviet dan konco-konconya. Kapitalisme hadir dengan semangat baru dimana individu diberikan peluang seluas-luasnya untuk dapat memiliki kekayaan dan bersaing secara bebas. Hal ini berbanding terbalikk dengan sistem ekonomi sosialis dimana peran individu sangat kecil karena semuanya di monopoli oleh negara. Hatta menurut para penganut kapitalisme, sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang membunuh karakter manusia. Sementara kapitalisme adalah sistem yang sesuai dengan karakter manusia.

Amerika pun gigit jari?

Tesis fukuyama tentang “akhir sejarah” yang menyebutkan bahwa kapitalisme adalah puncak dari sistem ekonomi dunia, akhirnya terbantahkan oleh realitas, dan dalam hal ini Ibnu Khaldun seorang sosiolog dan sejarawan Islam dapat tersenyum lebar karena tesisnya yang ternyata lebih bisa bertahan. Khaldun menyatakan bahwa sejarah manusia seperti putaran roda senantiasa berganti dan tidak ada yang abadi-meminjam istilah peterpen.

Fenomena yang menarik dewasa ini adalah terjadinya krisis multidimensi, wabilkkhusus krisis ekonomi dunia. Akibat krisis ini banyak negara yang mengalami keguncangan hebat. Bahkan negara-negara maju sekaliber Amerika pun harus gigit jari terkena dampak krisis global ini. Betapa tidak, Amerika yang selama ini di kenal sebagai Mpu-nya, mbah-nya dan kiblat dari modernitas (Kapitalisme) akhirnya harus merasakan ulah dari produknya sendiri. Bagi yang tidak suka dengan Amerika menyebutnya dengan “senjata makan tuan”. Kapitalisme amerika yang dibanggakan akhirnya berujung pada krisis global dan kebangkrutan korporasi-korporasi besar di negara adidaya tersebut.

Fenomena yang tidak kalah menariknya dari krisis ekonomi tersebut adalah sikap pemerintah Amerika dalam merespon ancaman tersebut. Sikap yang diberikan pemerintah seperti menelan ludah sendiri. Bagaimana tidak sistem kapitalisme yang mereka anut selama ini, sangat membatasi peran pemerintah dalam ekonomi karena pihak swasta diberikan kebebasan untuk bersaing. Namun, ternyata Amerika kewalahan dengan aturan seperti itu ketika pihak swasta banyak melakukan korupsi dan menyebabkan crisis yang berdampak global. Sehingga akhirnya pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar yang terancam bangkrut tersebut. Jika kita amati sejarah, apakah tidak berlebihan apabila kita menyamakan apa yang dilakukan Amerika ini sebagai duplikat dari Stalin (sosialis) dimana ketika terjadi nasionalisasi besar-besaran pada ujungnya pemegang ekonomi terbesar adalah negara. Maka, lambat laun sistem ekonomi Amerika akan. berevolusi dari kapitalis ke sosialis (Kapaitalisme Negara) again…apa tidak malu?

Mencari Akar, Menemukan Tunas?

Jika kita teliti lebih jauh hal ihwal penyebab krisis ekonomi ini, maka akan ditemukan akar penyebab krisis tersebut. Setidaknya ada dua haluan besar yang menyebabkan krisis ini terjadi. Haluan pertama, berpendapat bahwa yang menyebabkan krisis ini adalah murni human eror (Kesalahan manusia) dimana manusia terlalu rakus dan tidak memikirkan kepentingan umum. Sementara haluan kedua berpendapat bahwa yang menyebabkan kerusakan ekonomi dunia sekarang adalah sistem ekonomi kapitalis.

Kita boleh setuju boleh tidak dengan kedua haluan ini, Namun bila kita cermati, maka permasalahan utama bukan berada pada manusia tapi pada sistem yang membangun karakter manusia tersebut.

Berangkat dari hal ini, maka perekonomian dunia saat ini membutuhkan sebuah solusi baru, sebuah sistem baru yang mampu menggantikan sistem kapitalis yang merusak juga bisa menggantikan sistem sosialis yang menindas. Apakah sistem ekonomi Islam mampu muncul kepermukaan sebagai solusi?...kalau iya, sistem ekonomi islam yang bagaimana?..jangan-jangan hanya akan mengulang kekacauan sejarah….Tapi bagaimanapun semoga Islam menajdi tunas baru, menjadi kiblat dalam arti sesungguhnya…tentu saja. SEMOGA!!

Wallohu'alambishawab

*Tulisan ini hanya refleksi saja, jika ada kesamaan dalam hal apapun itu karena disengaja..he..he…

*Penulis adalah Alumni Pesantren IMM UIN SGD Bandung 2008..
Continue Reading...

Minggu, 28 Juni 2009

Cita-cita Setinggi Langit Bisa Biki Sakit

Oleh Sukron Abdillah

Kemarin baru saja saya selesai merangkai cita-cita. Ya..., tidak setinggi langit karena takut jatuh dari ketinggian.Tingginya cukup sampai atap rumah saya saja. Paling 3,5 meteran. Selama saya hidup, karena berasal dari perkampungan; tidak begitu "gila" dengan keinginan dan harapan. Saya selalu berusaha agar tidak disakiti hati dengan keinginan menggebu. Trik praktis hidup agar tidak diperdaya harapan adalah mengetahui rangkaian cita-cita. Seberapa tinggi kah kita harus merangkai cita-cita tersebut. Seperti halnya angin, air, dan bumi; selalu menempati ruang yang sesuai.

Buku yang saya tulis dengan nama pena Sabil el-Ma'rufie, Dahsyatnya Shalat Dhuha, ketika pertama kali ditulis tidak terbesit cita-cita untuk dicetak sampai enam kali (2007-2009). Waktu itu saya hanya menuliskan ide-nya. Dicetak ulang 3 kali adalah cita-cita saya waktu itu. Coba bayangkan kalau saya bercita-cita dicetak ulang 12 kali dalam 3 tahun. Pasti rasanya saya akan dijajah bentuk lain dari harapan dan keinginan itu. Hari ini juga kekecewaan pasti terus menyelimuti.

Begitu pun kemarin ketika saya merangkai cita-cita menerbitkan sendiri naskah saya menjadi buku. Saya -- sebagai penyuka angin -- selalu mengubah dalam waktu sedetik cita-cita yang sudah dirangkai sehari-semalam. Memiliki penerbitan sendiri untuk karya teman-teman saya di Irfani Writing Club; adalah cita-cita yang selesai saya rangkai. Konsep penerbitannya mencaplok manajemen kebebasan (indie). Bahkan, di otak ini ada serangkai konsep menerbitkan buku per 500 eksemplar terlebih dahulu. Jujur saja..., karena saya pernah menulis buku di DARMizan, selalu saja ada yang menyetorkan naskah secara pribadi. Saya akan menyerahkannya ke teman editor saya, untuk dievaluasi. Kalau terlihat seksi, naskah itu akan "bernasib" baik hingga layak diterbitkan. Tapi, karena tidak terlihat "seksi" oleh penerbit dan katanya, oleh pasar pembaca; banyak yang ditolak. Ya...itu risiko buat penulis pemula. Bahkan, saya juga sering ditolak mentah-mentah hingga tidak terhitung naskah yang mendekam di ruangan komputer.

Berangkat dari itulah; saya bercita-cita mendirikan penerbitan indie, Irfani Publishing House, khusus menerbitkan karya saya dan kawan-kawan secara terbatas. Tidak muluk-muluk ingin menjadi penerbit besar...karena semakin besar modal dikeluarkan; harga jual buku bakal semakin mahal. Cukup saja lima ratus eksemplar dengan memanfaatkan teknologi cetak POD. Nah, untuk teknologi cetak buku ini, saya belum mengetahui sedikit pun.

Seandainya cita-cita itu melebihi target; saya gembira. Dari setinggi atap rumah saya, cita-cita dalam kenyataannya dapat menggapai langit yang super duper tinggi. Berbeda ketika saya -- misalnya -- bercita-cita setinggi langit. Namun, pada tataran riil, target itu hanya sampai atap rumah saja. Kecewa dong pastinya. Bahkan, boleh jadi saya akan sakit-sakitan. Padahal, cita-cita itu bukan setinggi langit. Tapi setakterbatas ketinggian alam ini.

Kalau masih pusing dengan cita-citamu...ikuti seri tulisan ini selanjutnya...(BERSAMBUNG)


Continue Reading...

Dosen Aneh

Oleh Riki Ahmad

Kemarin-kemarin saya mungkin banyak membuat tulisan yang berbentuk cerita tentang diri sendiri. Buat sekarang, saya tidak punya cerita yang membuat semangat menulis. Tapi, saya berusaha supaya tidak membuat pikiran saya tumpul.

Hari ini cukup memuaskan bisa masuk kuliah, setelah hari kemarin pulang karena terlalu cepat mengambil keputusan pulang, padahal tidak begitu bahaya yang terjadi sebenarnya. Tapi apa boleh buat namanya juga utusan dari atasan ya nurut aja biar gak kena kartu kuning. sebenarnya kecewa pas waktu pulang ternyata keadaan jauh berbeda dari yang dipikirkan (baik-baik saja), yang membuat saya terinsfirasi untuk nulis sedikitnya dapat dorongan dari salah satu orang yang sudah bergelut dengan dunia tulis-menulis tambah lagi hobi dari kecil saya suka menulis cerita di dairy, eh lupa yang mau ditulis sekarang tentang dosen UIN yang aneh (aneh banget) mungkin tujuan dari rumah asal berangkat bukan ingin gamalin ilmu malah membaut kecewa dari seharusnya tidak begitu, lebih jelasnya lagi begini..... saya masuk jam 10.20 hari tadi saya berangkat dari rumah (garut) langsung pergi mengajar beres mengajar denagn terburu-buru langsung pergi kle kampus untuk mngikuti kuliah yang pada hari tadi ada dua mata kuliah, pas nunggu lama akhirnya dosen pun kelihatan batang hidungnya lalu masuk kekelas yang sudah di sediakan denagn susah paya mencari ruangan kosong. kuliah pun dimulai dengan basa-basi dosen (galer-kidul teu puguh) akhirnya kelompok pertma yang harus maju mempersentasekan hasil kelompoknya-mungkin karena ini saya jadi kesel sama dosen- berhubung anak-anak kelompok pertama belum lengkap malah makalahnya belum beres.

Seharusnya ada inisiatif dosen agar waktu untuk mencari ilmu gak percuma keinginan saya agar dosen memberikan materi yang seharusnya kelompok pertama yang menjelaskan. bisa disebut makan gaji buta gisi absen hadir dosen langsung pulang enak banget, kuliah pertama yang saya dapatkan hanya kata siapkan kelompok kedua minggu besok udah aja gitu, ditambah kesel lagi sama dosen yang kedua dilihat karena tidak menguasai materi hingga akhirnya jatah waktu gak terpakai cuma 1/3 saja coba bayangkan banyak cari enak jadi dosen dan tidak memberikan kontribusi buat mahasiswa-mahasiswi... mungkin itu yang awalnya saya tidak tahu apa yang harus saya tulis,,, terima kasih

Continue Reading...

Paturai

Sajak Eyang Rais Pamungkas

Tangtu kuring na hate cerik.
Estuning kudu pajauh jeung jalma,
anu lain saukur dianggap guru.
Tapi leuwih jero ti eta.
Anjeuna mangrupaning gaganti bapak.
Anu geus taunna tilaran dunya.

Ari alesan kuring miang.
Nya hayang wae mapag kala.
Anu ceuk pikir, jigana geus diguratkeun.
Boh dina daluang, boh di buku ti awang-awang.

Tangtu kuring moal sulaya, guru.
Kana ucap anu harita geus kedal.
Di babancik imah pisan.
Basa kuring seja pamitan.

Ngan hiji meureun pamenta.
Doakeun kuring tetep cageur,
tetep bageur,
tur aya dina bebeneran salawasna.
Da kapan uninga ku anjeun.
Salila ieu kuring satekah polah;
Ngalaku bageur, cageur tur Bener.
Continue Reading...

Kususuri Embun Pagi

Oleh Hasan el-Sumatrani
Setelah salat subuh berjamaah di kamar bersama seorang sahabat, berdzikir sejenak. Mengingat-ingat kesalahan kemarin. Tadarus beberapa ayat ilahi. Sungguh tenang kurasakan hati ini. kalau saja ini terus berlanjut, rasanya Aku terasa merdeka. Soalnya, ini hanya kurasakan ketika keimananku mulai menebal beberapa hari ini.

Sarung dan koko yang sedari tadi bertengger di badanku, kini kulepaskan, berganti dengan baju kaos hitam dan celana switer. Tak lupa kupasang kaos kaki dan sepatunya. Kini Aku bersiap keluar kos jalan-jalan menghirup udara pagi. Pagi ini memang di sepanjang jalan kususuri terlihat lengang, sepi. Tapi kesepian itu hilang. Benar-benar hilang oleh rasukan dinginnya pagi. Ingin rasanya Aku kembali ke kamar dan menimbunkan selimut ke badanku. Tapi itu tak mungkin, karena aku sudah di pertengahan tujuan. Alun-alun Ujung Berung.

Kabut dan tusukan-tusukan udara terus kutembus, kususuri. Meskipun kadang terlihat debu beterbangan di kanan kiriku. Debu tersapu oleh lalu lalang kendaraan yang lewat. Mana lajunya kencang lagi. Mentang-mentang masih pagi menjalankan kendaraan sangenahna wae. Memang jalan siapa itu. Celotehku, tentunya dalam hati.

Wah, kini sudah mulai terang. Cepat juga ya, Kataku. Karena Aku sudah sampai Columbia dan Borma. Berarti beberapa langkah lagi akan sampai, dan istirahat. Sedikit meregangkan otot kaki.

Di kanan-kiri jalan para pedagang tumpah ruah menjajakan dagangannya, sehingga terkadang membuat macet arus kendaraan. Dan membuat sedikit riweh bapak Polantas mengatur lalu lintas. Kewajiban kali ?! Tapi ini terjadi tiap pagi. Macet tiap pagi. Sampai bosan Aku melihatnya. Apakah pemerintah tak menyiapkan lapak untuk mereka, padahal mana janji para elit pejabat yang baru saja dilantik. Katanya menyejahterakan padagang. Buktinya, padagang masih saja berjualan bukan pada arealnya. Lalu, yang dibikin subuk siapa ? satpol PP juga kan ? pemerintah juga kan ?

Tak terasa langkahku sampai di depan sebuah gedung yang di depannya terpampang beberapa iklan film yang akan diputar hari ini. Iklan paling kiri terpampang ” laskar pelangi “, tengah ” ML “, dan paling pinggir tidak begitu terlihat karena sedikit tersingkap. Aku diam sejenak. Apa itu ” ML ” yang terpampang dalam judul film itu, arti yang sesungguhnya dalam bahasa Inggris sih Aku sedikit mengerti. Tapi, dalam judul film itu apa ya, kok ML sih. Ah, itu mungkin sebagian trik Sutradara supaya mengecoh penonton atau yang ingin nonton. Masih mendingan ” Laskar Pelangi “, Aku dah baca bukunya. Seru. Nonton filmnya pun sudah. Karena Aku lebih suka film yang inspiratif seperti laskar Pelangi.

Jalanan masih tetap seperti semula. Macet. Tapi Aku tak hiraukan itu, kini Aku sudah sampai pada pemberhentian terakhir. Alun-alun, tepatnya di selasar masjid Agung. Duduk Aku disana sambil memegang koran yang sedang Aku baca. Konon, koran yang sedang Aku lahap ini lebih tau Jawa Barat. Beritanya akurat. Selain itu, ada rubrik yang Aku suka yaitu ” Kampus “. Karena statusku sekarang sebagai Mahasiswa. Aku suka nulis untuk rubrik ini. Tapi belum juga dimuat. Tak apalah, mungkin redakturnya menyuruh Aku untuk jangan berputus asa. Terus lah menulis, katanya.

Bosan dengan berita-berita korupsi- hingga, konon, mantan pejabat Jawa Barat terseret juga ke KPK. Sudah enak kembali enek. Aku ke tempat wudhu. Kuambil butiran air suci untuk bersuci. Aku teringat sebuah sabda Nabi ” Berwudhulah, karena dengan wudhu itu berguguranlah dosa-dosamu “.

Lalu kupasang kaos kaki dan sepatu. Bersiap-siap untuk kembali ke kos. Karena tumpukan tugas mulai menggunung. Tanpa dikerjakan sedikit demi sedikit, mustahil sebuah tugas yang menggunung akan selesai. Itulah prinsipku, mulai dari yang terkecil.

Tepat pukul 8.00 Aku sampai di kos. Suara tembang Sunda terdengar olehku sehingga Aku teringat sebuah desa dimana Aku dilahirkan. Tembang itu berasal dari sebelah kamar kosku. Ada walimahan. Melaksanakan sunnah Rasul. Karena, siapa saja yang mencintai sunnahku, menikahlah. Tidak menikah, bukan umatku. Begitulah perkataan Rasul yang kudapat dari tausiah ustadku beberapa minggu lalu.

” Ayo ke warnet,” celetuk seorang sahabat dekatku. ” Kita nge-Blog, asyik lho, beberapa tulisanku banyak yang komentar,” lanjutnya lagi. ” Siap, ” kataku membalas. Sembari menunggu seorang sahabat yang lagi khusuk menabung Di Wc, kebetulan waktu Dhuha, Aku pun sejenak dalam dhuha. Meminta hidayah dari yang maha pemberi hidayah, agar Aku dan seorang sahabat tetap istiqomah berada dalam lingkarannya.
Continue Reading...

Sabtu, 27 Juni 2009

Perempuan dan Politik

Oleh Asri Meida Fitri

Perempuan dan politik menjadi wacana yang tidak boleh dipisahkan. Di Indonesia sendiri paling tidak ada dua persoalan perempuan dalam politik, yaitu perihal keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang public dan perihal belum adanya platform partai yang benar-benar secara konkrit membela kepentingan perempuan. Sehingga dipatoklah kuota 30% perempuan di parlemen sebagai bentuk accepting bagi perempuan untuk berkiprah seluas-luasnya dalam bidang politik. Dengan masuknya perempuan dalam ranah politik memberikan angin segar dan harapan baru bagi terciptanya perubahan politik yang arogan, korup dan patriarki. Tidak menutup kemungkinan keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan akan membawa masyarakat Indonesia pada perubahan system yang berkeadilan dan bersih dari korupsi.

Politik dianggap dunia yang kejam dan kotor, sehingga banyak perspektif bahwa politik tidak cocok bagi perempuan yang dominant menggunakan perasaannya dan berhati lembut. Padahal, sudah waktunya perspektif gender masuk ke dalam semua lini , termasuk dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Bila melihat realita sekarang, dimana perempuan telah diakui dan diterima dalam parlemen, muncul kembali pertanyaan, apakah masuknya perempuan di Senayan karena potensi dan kebutuhan terhadap pemikiran dari perempuan ataukah hanya dijadikan sebagai komplemen atau pelengkap saja seperti yang diungkapkan seorang tokoh feminis politik Mary O’Brien, perempuan hanya dijadikan sebagai alat oleh partai dengan alasan pembaharuan dunia( in the name of vision that transforms the world) atau memang untuk memenuhi kuota saja.Bila Dari nama-nama Caleg yang ada saat pemilihan caleg beberapa waktu lalu jumlah perempuan sudah memenuhi harapan. Apresiasi masyarakat terhadap caleg perempuan juga cukup besar dan banyak yang diperkirakan lolos ke Senayan.

Namun lagi-lagi muncul asumsi bahwa mereka hanya dijadikan magnet politik hingga akhirnya menjadi kaum mayoritas yang inferior dan terbungkam. Masyarakat menaruh harapan besar kepada perempuan, namun yang dibutuhkan adalah perempuan yang membawa kepentingan public, perempuan yang memang ingin concern terhadap perempuan, dan tentunya untuk itu diperlukan perempuan secara ideologis, yaitu perempuan yang memiliki kemampuan intelektual dan emosional serta mampu dan mau memperjuangkan hak-hak perempuan. Keinginan tersebut muncul karena melihat realita saat ini , bahwa hampir semua anggota Dewan merupakan orang-orang dengan intelektual tinggi, orang cerdas dan memahami keperluan rakyat secara teoritis. Namun sayangnya, kemampuan itu tidak dibarengi kemampuan emosional sehingga yang terjadi kurangnya kepekaan, yang akhirnya melahirkan anomaly atau penyimpangan termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang sempat dicap sebagai ciri bangsa Indonesia di mata dunia.

Demikian halnya dengan Presiden Perempuan yang sejak pemilu 2004 lalu menjadi perdebatan sengit dalam dunia perpolitikan. Respon keras sempat muncul dari Konges Umat Islam Indonesia (KUUI) pada tahun 1998 yang mengeluarkan fatwa, “Presiden Indonesia haruslah seorang pria muslim.” Namun yang berkembang di Indonesia, bahwa Presiden perempuan itu haram. Isu ini juga sempat mengundang komentar dari beberapa kalangan, salah satunya Amien Rais yang menyebutkan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin selama tidak ada laki-laki yang becus menempati posisi itu. Namun isu itu kini telah sedikit redam, walaupun masih ada yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan, namun dewasa ini permasalahan itu tidak lagi marak diperdebatkan. Justru yang ada sekarang adalah perbincangan siapa yang pantas dan kompeten menjadi Presiden selanjutnya setelah SBY tanpa memandang perempuan ataupun laki-laki.

Kontroversi akan selalu mencuat, bias gender akan selalu ada selama kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan tidak mau saling memahami satu sama lain. Satu hal yang perlu diketahui, bahwa pembedaan wilayah public dan privat pada perempuan hanya akan membuat perempuan tersisih dari dunia politik. Pembedaan ini memotong akses perempuan ke ruang public. Asumsi bahwa perempuan sulit untu masuk ke wilayah public hanya akan menimbulkan keterasingan perempuan. Harusnya, Negara melindungi aktivitas perempuan di dunia perpolitikan, sebuah langkah konkrit dari negeri tetangga, dengan melarang rapat hingga larut malam yang tidak efektif, tidak merokok di dalam ruangan, rapat, hingga ada kebijakan yang mengakomodir kebutuhan spesifik perempuan seperti ruang penitipan anak. Diharapkan, Negara dapat lebih ramah terhadap perempuan.

Karena Islam sendiri pun tidak pernah melarang perempuan untuk berkiprah. Hanya saja yang terjadi adalah pandangan subjektif dari pihak-pihak tertentu dalam menilai perempuan. Dalil atau Nash Alquran bukanlah tameng untuk membela kepentingan pribadi. Janganlah dalil tersebut diinterpretasikan secara parsial saja, sehingga yang ada perspektif yang berpihak dan melahirkan ketidakadilan gender.

Semoga pemerintahan selanjutnya dapat lebih toleran terhadap perempuan, dan membantu perjuangan dari para kaum perempuan dalam menjaga eksistensi dan pengakuan di depan public. Perempuan bukan hanya alat, bukan hanya magnet dalam politik, bukan hanya objek seksual dan pemuas nafsu laki-laki, tapi perempuan adalah makhluk yang memiliki derajat yang sama dengan laki-laki di hadapan Allah. Perempuan memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, perempuan memiliki kewajiban, perempuan bukan hanya makhluk lemah yang dapat ditindas, di diskriminasi, di marginalisasi ataupun dirampas kebebasannya dalam berekspresi dan berkarya. Agama bukat alat untuk mendeskreditkan perempuan, karena agama yang paling muliapun, Islam, sangat menghargai perempuan. Begitupun dalam ranah politik, biarkan perempuan menggunakan haknya untuk memilih tanpa harus ada intervensi dari suami, ayah, keluarga, ataupun para kiyai.

Sampai kapanpun perempuan dan laki-laki akan tetap berbeda tapi bukan untuk dibeda-bedakan. Perempuan boleh bebas tapi tidak bablas.
Wallahu a’lam
Continue Reading...

Minggu, 21 Juni 2009

Nurani Kebajikan

Oleh SUKRON ABDILAH

Ma­nusia men­jadi saksi atas dirinya sendiri, walau­pun ia mengemukakan
dalih-dalihnya (QS Al-Qiyâmah [75] : 14-15)

NURANI berasal dari kata nur, yang berarti cahaya. Jadi, nuraniyyun, ialah sesuatu yang bersifat cahaya. Menurut ahli tasawuf, manusia terdiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu. Akal untuk memecahkan masalah, hati untuk memahami realita, nurani adalah pandangan batin, syahwat penggerak tingkah laku atau motif, dan hawa nafsu ialah kekuatan membahayakan untuk menguji manusia.

Perangkat manusia tadi dipimpin hati, sehingga kalau hatinya baik, perilakunya juga baik. Sebaliknya, kalau hatinya buruk, perilakunya juga buruk. Makna nurani lebih dekat kepada hati, sehingga terkenal dengan istilah hati nurani. Sifatnya ruhaniah banget dan mengajak manusia agar berperilaku baik, membantunya mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia (nurani) bersemayam dalam diri semua orang. Nurani seseorang pada hakikatnya tidak pernah berbeda dengan nurani orang lain. Dengan kata lain, apa yang dirasa benar oleh nurani seseorang sebenarnya dirasa benar juga oleh orang lain asalkan berlaku kondisi dan situasi yang sama.

Allah Swt. berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang megotorinya” (QS Syams : 7-10). Nurani sebagai petunjuk jalan menuju kebenaran adalah ilham dari Allah. Melalui nurani, Allah membiarkan kita tahu sikap dan perilaku terbaik dan paling indah. Nurani menjadikan manusia mendapatkan petunjuk guna menempuh jalan yang benar dan lurus. Seseorang yang mau mendengar hati nurani-nya akan mencari jawaban dan menjelajahi apa yang terlihat di sekelilingnya untuk kebenaran. Seseorang yang telah mengembangkan kepekaan ini akan dengan mudah merasakan dirinya tinggal di sebuah dunia yang tercipta tanpa cacat (baca: bersyukur).

Armahedi Mahzar (1983: 33), mengatakan seorang individu selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan etika yang berlaku di masyarakat. Kesadaran terhadap dirinya adalah hasil dari proses “akali-qalbi-nurani” dalam mengurai apa yang terdapat dalam diri. Dengan akali atau intelektualita seseorang terus digunakan untuk berpikir tentang dirinya. Qalbi atau sensibilita diarahkan untuk terus merenungkan kepribadian yang ditunjukkan kepada lingkungan masyarakat. Sedangkan nurani atau moralita dijadikan upaya untuk memadukan akali dan qalbi dengan mengetengahkan prinsip-prinsip moral.

Berpadunya intelektualita, sensibilita dan moralita dalam kehidupanmu memang sangat penting dilakukan. Nu­rani sangat menentukan kadar keimanan dan akhlak manusia, karena dapat menangkal bisikan hati yang buruk (dzulmani). Ary Ginanjar Agustian misalnya, mengartikan nurani sebagai bisikan kebaikan universal dalam diri manusia untuk mengisi hidup dengan perilaku mulia. Menghormati nurani kita berarti terus-menerus menjalankan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika kita sedang berjalan di trotoar jalanan yang ramai dengan kendaraan, kemudian melihat nenek-nenek yang akan menyebrang. Muncullah bisikan dari hati untuk segera membantunya. Sederhananya, itulah yang disebut dengan nurani. Ada semacam niat untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan.

Begitu juga dengan keagamaan seseorang. Ketika kita mendengar dari sang ustadz bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ada dua bisikan hati: benar atau tidak. Apabila mengikuti hati nurani kita, akan mengikuti bisikan hati yang baik dan positif dalam meyakini sifat-sifat-Nya itu. Kita, tidak akan menolak dan menafikan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Tuhan penguasa alam. Tetapi manusia diberikan kebebasan untuk memilih bisikan-bisikan hatinya dengan syarat bertanggung jawab atas pilihannya. Di dalam Al-Quran dijelaskan, Ma­nusia men­jadi saksi atas dirinya sendiri, walau­pun ia mengemukakan dalih-dalihnya (QS Al-Qiyâmah [75] : 14-15). Ketika kita tidak mendengarkan dan melaksanakan apa yang dibisikan nurani, itu sama saja dengan memasung hak nurani untuk memberikan arahan dalam hidup. Pemasungan nurani men­cabut totalitas kita sebagai manusia. Karena itu, agama Islam menegaskan siapa yang berbuat baik, kebaikan itu kem­bali kepada dirinya sendiri. Demikianlah agama memberikan kebebasan sekaligus meletakkan tanggung jawab kepada setiap individu.

Mengetahui apakah bisikan hati terkategori nurani adalah dengan mengetahui apakah bisikan hati itu baik dan bermanfaat untuk orang banyak ataukah tidak. Sebab, kalau bisikan hati cenderung kepada bisikan buruk dan jahat, itu dinamakan dengan dzulmani (kegelapan diri). Kalau seorang guru memberikan kunci jawaban ketika ujian tengah berlangsung apakah itu berdasarkan nurani ataukah dzulmani? Kalau seorang pejabat Negara memafaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, apakah itu didasari nurani ataukah dzulmani? Hanya orang yang memahamilah yang mampu melihat di balik setiap tindak-tanduk ada bisikan untuk melakukan kebajikan. Bukan untuk membuat orang di sekitar merasa tidak nyaman berada di sampingnya. Wallahua’lam

Penulis, Bergiat pada Institute for Religion and Future Analisys (Irfani) Bandung.

Continue Reading...

Resensi: Shalat Hajat

Judul : Shalat Hajat; Kunci Meraih Kesuksesan;
Penulis : Ghaida Halah Ikram;
Editor : Doel Wahab; Penerbit: Mizania, Bandung;
Cetakan : Pertama, Mei 2009;Tebal : 152 halaman

Ini adalah buku panduan beribadah bagi seorang muslim. Buku ini saya peroleh dari penerbit Mizania, hari Sabtu kemarin. Dengan kemasan bahasa yang sederhana saya menjadi nikmat membaca bagian-bagian dari buku ini. Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. KH. Miftah Faridh, buku ini menyajikan bahasan seputar shalat hajat sebagai energi, ruh, spirit, power untuk bangkit, maju, menjadi tangguh dan sukses.

Saya menyoroti kaitan shalat dengan kesuksesan seseorang. Ternyata, seperti dikatakan Haidar Bagir, bahwa dalam shalat ada semacam pelatihan diri untuk selalu disiplin dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Shalat hajat adalah salah satu dari ibadah sunah yang tidak terikat waktu. Dalam bahasa lain, ketika kita memiliki kebutuhan, menunaikan shalat bisa menjadi perantara menggapai kebutuhan tersebut. Bagi seorang karyawan, misalnya, Shalat ini akan berefek positif terhadap kinerjanya selama menjalankan tugas dari atasan. Hebatnya lagi, seperti disitir Ghaida Halah Ikram, shalat hajat dapat membangkitkan energi positif dari dalam diri. Energi inilah yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat menggapai kesuksesan di dunia, maupun di akhirat.
Continue Reading...

Sajak: Puisi Frida Firdiani

jeritanku parau tanpa kendali

jeritanku parau tanpa kendali
hati ini tak mengijinkanku untuk pergi
haruskan aku berlari tanpa arti
kini senyuman itu tiada abadi

adakah alasan agar aku tak harus bertanya
agar gundahku tak lagi menerpa
kini keabadianku hilang bersama senja
meski cintamu tiada henti sepanjang masa

arahku seolah terhapus
harapanku perlahan terputus
sebelah hati kini telah pupus
dan kisah itu seolah padang tandus

kau bertanya alasan aku semakin tak tahan
suatu bukti bahwa kau tidak berperasaan
waktumu habis termakan sangkaan
dan kenangan itu adalah kebinasaan

perlahan luka ini ku nikmati
karna padam tak berarti mati
ku coba susun kepingan hati
agar kesakitanku lekas pergi

Continue Reading...

Kamis, 18 Juni 2009

Merindukan Gadis Bercadar

Cerpen Dasam Syamsudin

Rerumputan halaman BALATKOP berombak melengkung-lengkung dibelai angina sore. Kehangatan matahari tidak lagi mengalahkan suhu dingin yang mulai turun bersama hamburan kabut yang mulai muncul samara-samar. Udara Lembang-Bandung menyemburkan angin pegunungan mengusap-ngusap tubuh, menarik-narik dedaunan yang bergelayutan di pepohonan, dan mengotori jendela BALATKOP—Bala Pelatihan Koperasi—dengan debu yang beterbangan.

Di halaman ini, sekumpulan mahasiswa berjaket Merah Tua berkumpul. Sorak-sorai keceriaan memecahkan kesepian dan kebosaan setelah beberapa jam menyimak materi-materi yang disajikan Panitia DAM (Darul Arqam Madia) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tingkat Propinsi. Para peserta yang datang dari berbagai daerah di propinsi, serempak memakai jaket Merah Tua bagaikan warna darah, berdiri, melingkar dan bergerak-gerak mengikuti instruktur yang mencontohkan game. Instruktur dan Panitia DAM hanya menonton, kadang-kadang bertepuk tangan saat peserta terkesan menghibur, atau bersorak “Huuu….hhh”, dan tertawa cekikikan jika memang ada peserta yang melucu. Biasanya jika tiba giliran Cepi, peserta dari IMM cabang Kota Bandung, nyaris semua peserta dan panitia akan menggelagarkan tawanya.

“Sam di panggil Kang Rizki” Rovi menyahut.
“Sebentar dulu, lagi asik” aku menjawab malas.
“Eh… cepat, katanya. Di suruh ngisi galon” sambut Rovi, memaksa.

Aku tidak bisa menolak jika kang Rizki, ketua DPD IMM Jabar menyuruhku, di samping aku Panitia bagian Konsumsi, ya, sekedar menghormati yang lebih dewasa, atau lebih terhormat jika melihat jabatannya. Aku mau saja melakukan perintahnya. Huh!

Aku mengayun langkah dengan cepat, berusaha memburu waktu agar bisa melihat simulasi lagi. Setelah naik ke atas jok motor sambil memeluk galon. Rovi menancap gas motor dengan kaku, motor melaju. Di sepanjang jalan aku menyaksikan pemandangan Lembang yang begitu indah. Gunung-gemunung yang menjulang, menancap di bumi dan warnanya hijau pucat. Di tepi jalan pepohonan berderet teratur dan bersih, cabang-cabangnya yang beranting laksana jemari yang terbuka dari kepalannya hendak meraup langit. Pesawahan bersusun bagaikan tangga, begitu pula kebun-kebun. Yang sangat menarik di Lembang, kita bisa menjumpai berbagai tanaman hias di sisi jalannya berderet memamerkan keindahannya masing-masing. Aku begitu kagum dengan pemandangan ini. Bagi Rovi pemandangan ini tidak begitu aneh, setidaknya tidak mengagetkan, sebab ia sudah menyaksikan sebelumnya. Lagi pula ia datang duluan, sedangkan aku baru datang tadi pagi. Dan, acara sudah di mulai kemarin pagi, dan penutupan akan dilaksanakan lusa, Hari Mingu.
***

Ba’da maghrib seluruh panitia dan instruktur berkumpul di ruang rapat, memusyawarahkan persiapan out bond yang akan di lakukan esok hari pukul 08.00. Di sela-sela musyawarah, seseorang mengucapkan salam di depan pintu. Suaranya seperti gadis dan terlantun lembut. Semua agak heran.

“Assalamu’alaikum?...”

Semua mata memandang arah datangnya suara, sesaat keadaan menjadi sunyi, konsenterasi teralihkan, pembicara pun diabaikan. Sebetulnya mahasiswi ini tida aneh dan biasa-biasa saja. Namun, ia jelas berbeda dari mahasiswi lain yang ada di sini. Ia pake cadar. Untuk beberapa orang, gadis ini tidak asing, mereka mengenalnya. Bagi yang lain masih asing, termasuk aku, belum mengenalnya. Nyaris semua memperhatikan dan beruasaha mengenali wajahnya yang tertutup cadar. Gadis bercadar pun duduk diantara kami. Ia panitia juga.

“Panitia dari Komisariat STIEM-Bandung” Seseorang berbisik tertahan.

Aku mengernyitkan dahi, menajamkan tatapan pada wajahnya. Hanya matanya yang bisa di lihat, selain itu tertutup rapat kain hitam yang melindunginya. Oh, lihatlah! Aku mulai menyukai memperhatikannya. Tatapan mata gadis ini begitu lembut. kedua matanya indah dengan bola mata hitam bersih bercahaya, bulu matanya indah, alisnya melengkung tipis di atasnya. Dan, guratan hidungnya lurus, walau sebagiannya tertutup cadar, aku yakin hidungnya mancung. Aku begitu penasaran dengan kecantikan yang disembunyikannya. Ia memilih menutup tubuhnya, dan berusaha memancarkan aura keimanannya. Sungguh, kecantikan yang luar biasa. Aku bisa merasakan inner beauty yang memancar dari dalam jiwanya, tidak mesti mengetahui kecantikan luarnya. Daya tariknya sangat magis, setidaknya untuk aku yang dari tadi memperhatikannya. Ah, siapakah gadis ini? Duduknya begitu anggun, sopan dan berpendidikan. Kepalanya tertunduk lembut, terlihat malu-malu. Satu hal lagi, gadis ini putih bercahaya. Untuk sementara aku menyimpulkan ia cantik.

Bidadari malam bersembunyi di balik awan. Kapas raksasa tempat persembunyian sang rembulan terlihat pucat, sela-selanya ditembus cahaya rembulan menyentuh genteng-genteng BALATKOP. Angin malam semakin dingin, kabut pegunungan berkumpul menebalkan diri, BALATKOP pun samara-samar diselimutinya. Keheningan mulai merayapi waktu, hanya suara binatang malam memekakan suasana. Ricuh panitia dan instruktur pudar bersama matanya yang terpejam. BALATKOP semakin dingin. Aku masih terjaga.

Di depan ruangan panitia, di atas kursi menghadap pegunungan yang di selimuti kabut samar-samar, aku duduk memeprhatikan bulan yang mulai muncul dari balik awan. Mungkinkah aku insomnia atau terlalu banyak tidur siang? Ah, persetan dengan semua itu. Aku hanya merasa aneh. Aneh dengan pikiranku yang kembali membawa jiwa menyaksikan gadis bercadar tadi. Siapa dia, dan dari mana? Megapa ia ikut-ikutan seperti aku, datang terlambat?. Dan, ini yang penting. Sudahkah ia punya pacar? Oh… mengapa gadis ini mengganggu malamku sampai aku harus terjaga. Aura kecantikan batinnya—sudah kukatakan, sangat magis—menyihir diriku harus memikirkannya malam ini. Malam semakin dingin. Gila?! Aku merindukannya.
***

“A.. bangun! Shalat subuh dulu” seseorang membangunkan.
“Bentar lagi, aku baru tidur”
“Gak bisa di tunda, A.., shalat dulu, gak baik shalat kesiangan”
Pandanganku masih berkunang saat mata mulai terbuka. Sesosok hitam samar-samar berdiri di depanku.
“Ah, kamu. Ganggu aja!” aku sedikit marah
“Maaf, A…”

Astaga. Suara ini aku mengenalnya. Yang kemarin mengucapkan salam. Ia gadis bercadar itu. Terlambat, ia sepertinya tersinggung. Langkahnya begitu cepat diayun mnggalkan kursi yang aku duduki, juga, ku tiduri. Tidak sempat aku minta maaf padanya.

“Kenapa aku gak kontrol begini?” Nada penyesalanku dengan suara tertahan.

Setelah shalat, aku bangkit untuk berjalan-jalan menghilangkan ngantuk yang kembali menyerang. Sambil berjalan aku mengutuki diri sendiri. Mengapa mengucapkan kata kasar pada gadis itu? Ah, betapa bodohnya. Di gerbang BALATKOP aku menyandarkan tubuhku, jalan raya ku pandang. Dingin masih terasa.

Angin seakan menusuk tubuhku dari belakang, aku menggigil dan membalikan badan hendak kembali ke ruang panitia. Masya Allah! Tubuhku membeku, nafasku tersenggal-senggal hampir meledak, jantungku berdegup kencang, bahkan sarafku terasa ikut membeku. Tidak mungkin, itu halusinasi atau fatamorgana, oh tidak! Gadis bercadar hitam mendekatiku. Tidak bisa dipercaya, tidak masuk akal. Mau apa dia?

Aku mengumpulkan keberanian, mengatur nafas dan mulai menyusun kata. Doa terlantun di dalam hati, mohon keberanian. Dia semakin mendekat. Dua langkah di depanku, langkahnya terhenti. Lidahku yang beku, ku paksa bergetar mengeluarkan kata.

“mmm….emmmm… anu… maaf” aku gagap.
“Maaf? untuk apa?” ia menjawab sopan.
“itu… yang tadi… anu… yang itu… pagi tadi saat kamu bangunin”
“Oh… gak apa-apa. A… biasa aja”
“ emmm… emmmm…” Mulutku enggan bicara.
“Permisi, A… “
“Permisi?...” hatiku berbisik penasaran. Permisi? Apa artinya ia mau pergi. Bukan sengaja menemuiku. Oh, bodohnya aku. Ia mau pergi. Tidak! Tidak! Sebelumnya aku harus tahu, setidaknya namanya saja. Ia mulai melewatiku. Tubuhku masih membeku. Dadaku akan berdentum keras.

“Tunggu…” lidahku lancar
“apa lagi?” Ia agak kaget dan membalikan tubuhnya.
“Siapa Namamu?...”
“Vera… Vera Khoerunissa. Mari… A, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”

Jantungku berhenti berdetak, aneh semuanya seakan berhenti. Angin ikut membeku, pohon-pohon jadi patung, orang-orang di BALATKOP semuanya berhenti diam terpaku seolah arca, matahari sinarnya tumpul oleh dinginyna suhu Lembang, burung berjatuhan, awan menjadi lukisan tak berjalan, langit mendung, petir menyambar-nyambar, gunung seperti berdenyut akan meledak. Semua, semua kehidupan seperti berhenti. Saat angkot Ledeng-Cicaheum yang ditumpangi Vera si gadis bercadar pergi meninggalkan acara DAM IMM. Secara pribadi, ia meninggalkanku. Aku bersedih, alam ikut menjerit.

Sejak pertemuan di acara itu, sekitar tiga bulan yang lalu. Aneh! Aku terus merindukan gadis itu sampai sekarang. Vera Khoerunissa, aku tidak yakin mencintaimu atau tidak. Namun aku yakin satu hal, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Ingatkah kau padaku, Vera?
Continue Reading...

Cerita Cinta udin

Cerpen DASAM SYAMSUDIN

Orang gila, pikir Jumril, saat menyimak mulut Udin terus nyerocos membicarakan Veta, gadis pujaan hatinya. Teman-teman Udin terpaksa harus mendengar ceritanya, tidak ada celah untuk lari meninggalkan Udin bercerita, mereka semua di dalam angkot. Udin dan Teman-temannya dalam perjalanan pulang, menuju Kampus UIN SGD Bandung. Mereka anggota organisasi kampus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat UIN SGD Bandung.

Sambil memperhatikan kota Bandung yang diselimuti kegelapan malam, dan kerlap-kerlip cahaya yang disemburkan berbagai lampu yang tergantung di rumah-rumah dan bangunan. Udin terus menceritakan kebahagiannya bertemu Veta saat menghadiri Musyawarah Cabang IMM Kota Bandung. Sembari menjulurkan tangan kirinya melalui celah jendela angkot yang tidak berkaca, seolah akan meraup angin malam, Udin berkata, “Aku tadi senang banget bertemu Veta. Dia memperhatikan kehadiranku. Veta menyuruhku memikul satu kardus akua gelas. Oh, senangnya…”

Ketika mendengar Udin bercerita, orang-orang di dalam angkot ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang hanya mengembangkan senyum, ada yang terus mengomentari cerita Udin dengan cacian, biasanya Jumril, ada juga yang tidak peduli dengan cerita Udin, biasanya Riko dan Intan. Mereka berdua sibuk pacaran. Oh, iya, ada juga yang tidak tahu sama sekali cerita Udin, dia Rovi. Di pojok angkot Rovi duduk bersandar ke dinding angkot. Sambil ngorok.

Angkot terus melaju menembus angin malam, menyelusup menabraki kabut-kabut yang beterbangan di depan bempernya. Gedung-gedung tinggi di tepi jalan raya Soeakarno Hatta seakan bergarak meninggalkan angkot yang ditumpangi Udin dan teman-temannya kala roda angkot terus berputar melaju. Udin menunjuk-nunjuk baligo besar yang berisi slogan, “AQUA, MINUMAN KELUARGA INDONESIA”. Udin terus memperhatikan baligo itu, senyummerekah dari bibir seksinya, lalu sabda keluar dari mulutnya. Jumril tahu apa yang akan diceritakan Udin. Cerita yang menjenuhkan, pikir Jumril.

“Eh, kalian tadi lihat aku, kan?Saat aku dan Veta menyajikan air mineral dalam gelas plastik bermerk Al-Ma’soem. Romantis, ya? Bayangkan saja, aku yang megang bakinya dan Veta membagikan airnya pada peserta Musycab. Kalian tahu? Veta yang menyuruhku megang bakinya. Veta… Veta… kau ini, suka sama aku tapi masih malu mengatakannya. Dasar wanita!” mendengar ocehan Udin, semua orang di dalam angkot tidak ada yang merespon, mereka hanya menggelengkan kepala. Makusdnya, mereka bosan dengan ocehan Udin. Hanya supir angkot yang menanggapi cerita Udin, sambil lihat Udin di cermin depan, supir angkot itu berkata,

“Bocah Gendeng” Fuih… asap mengepul dari mulut supir angkot itu.

“Udah! Din, ocehan loe itu garing…” Jumril ngomentari Udin.

“Betul” orang-orang di dalam angkot mendukung Jumril.

Udin tidak mempedulikan tanggapan teman-temannya. Dia terus memperhatikan permukaan aspal jalan raya yang seakan-akan mengalir bagaikan sungai. Sambil tersenyum Udin membalas atanggapan teman-temannya. “Dasar! Anak-anak Jomblo…”
Mendengar ucapan Udin, supir angkot melihat wajah Udin di cermin depan. Sepertinya supir angkot itu bujangan tua.
***

Kipas angin berputar-putar payah, seolah lelah mengipasi immawan—anggota IMM berjenis kelamin pria—yang merebahkan tubuhnya di bawah kipas angin di atas karpet hitam dan kucel yang menghampar. Nyaris semua immawan merasa letih dan ngantuk. Mungkin karena jauhnya perjalanan atau karena jauhnya mengantar teman-teman immawati—anggota IMM berjenis kelamin wanita—kekostannya masing-masing. Semua orang di dalam Sekretariat IMM melepas kelelahannya dan berusaha mengatus nafasnya kembali, menormalkan degup jantungnya. Nah, berbeda dengan Udin, dia tidak melakukan sepertia apa yang dilakukan temannya. Udin duduk bersandar ke dinding sambil memperhatikan kipas yang berputar-putar di atap. Jemarinya sangat terampil memutar-mutar sebatang rokok Djarum Super yang disulut. Setelah semua asap rokok disemburkan keruangan berkipas angin itu, Udin kembali bercerita tentang pertemuannya dengan Veta.

“Friends, kalian tahu, tidak? Veta itu… “

Belum sempat Udin menyelesaikan pembicaraannya. Jumril melempar wajah Udin dengan sebongkah bantal. Bongkahan bantal itu disusul desingan lemparan puluhan benda-benda keras lain. Udin dilempari oleh teman-temannya dengan sepatu, sandal, bantal, guling, kasur, dan tape recorder. Semua benda itu menghujam wajah Udin. Udin pun pingsan. Bongkahan benjol bermunculan di wajahnya. Sehingga tampak bukit-bukit benjol di wajah Udin. Udin tubuhnya tumbang terkulai tak berdaya, lidahnya menjulur keluar, kipas angin terus meniupinya.
“Sekali-kali mulut si Udin itu harus dibungkam” kata Cepi.
***

Rumput hijau menghampar di kolong langit bagaikan karpet yang membentang luas tak berujung. Awan gemawan berduyun-duyun menyatu padu membentuk dekorasi yang menarik dengan benjolan-benjolannya yang lembut laksana kapas. Semilir angin laut menyapu kabut-kabut di udara mencerahkan langit yang biru bercahaya. Dedaunan yang bergelayutan di pepohonan cemara saling beradu di tarik-tarik angin, gemuruhnya bagaikan suara sorak sorai tepuk tangan dari ribuan penonton sepak bola di stadium Jalak Harupat Bandung. Gemericik aliran sungai membentuk gelombang kecil, memantulkan sinar matahari yang bersinar bagaikan batu permata Jabarjud, deburan kecil airnya yang membentur bebatuan bagaikan bunyi degup jantung kehidupan. Beburung yang beterbangan dan yang bertengger di atas pepohonan pun menjerit-jeritkan kicauannya mengharmoniskan nyanyian alam yang indah. Di antara harmonisasi perpaduan alam yang sempurna itu, ada dua insan yang tertawa ria. Mereka berlari-lari saling mengejar, menari-nari dengan kaki telanjangnya, dan berteriak-teriak tentang kebahagiaan. Dua insan itu adalah Udin dan Veta.

Udin berlari-lari kecil mengejar Veta, menangkapnya, lalu memeluknya erat dan berputar-putar, sampai-sampai pandangan mereka menganggap bahwa alam sedang berputar menari-nari mengelilinginya. Udin berputar terlalu kencang sampai genggaman tangan yang memeluk erat tubuh Veta terlepas, mereka pun berguling-guling. Tawa bahagia kehidupan telah mengingat mereka. Udin kembali mengejar Veta, kali ini Veta terbang, tanganya direntangkan seakan hendak meraup angin. Udin di bawah tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak bisa terbang. Veta terbang semakin jauh. Pandangan Udin mulai berkunang, samar-samar ia melihat lambaian tangan Veta seperti seseorang yang akan pergi jauh. Udin hanya bisa menatap Veta yang terbang semakin jauh, sampai akhirnya tidak ada lagi sosok gadis pujaan hatinya itu. Udin kebingungan, kakinya dikayuh, ia lari-lari kecil tak tentu arah, pandangannya terus mengitari langit dari Selatan sampai Utara. Namun Veta tidak kembali lagi, Udin mulai khawatir. Ia pun menjerit-jerit berteriak menyebut nama Veta.

“Veeee…..ttttaaaaaaa…….!!!!!!!”

“BYUR!!!!....” Seember air menghantam wajah Udin.

Udin kaget, jantungnya hampir copot. Di depannya berdiri sesosok laki-laki yang agak gemuk sedang tertawa terbahak-bahak sambil memegang ember merah yang masih meneteskan air. Dia Jumril. Di belakang Jumril beberapa temannya sedang tertawa terpingkal-pingkal.
“Kaum mimpi buruk, Din? Sudah pukul enam pagi. Kau belum shalat subuh”
Udin menghela nafas panjang. Lalu menatap keempat sahabatnya dengan tatapan benci dan penuh dendam. Tapi iajuga tidak begitu meperdulikan mereka.
Setelah shalat subuh, Udin meminjam handphone pada Ibeng. Ideng orang yang lumayan baik, ia pun memberinya. Dengan ekspresi wajah yang masih penuh kekagetan dan penuh kekesalan pada sahabat-sahabatnya, Udin mencet-mencet tombol HP dengan cermat. Beberapa detik kemudian suara seorang gadis berbisik di telinga Udin.

“Siapa ini?....”

“Udin”

“Ada apa, Din?”

“Gak ada… Cuma mau naya kabar kamu aja?...”

“Kabar?...”

“Iya…”

“Aku baik-baik aja, al-hamdulillah. Emangnya ada apa?”

“Gak ada apa-apa. Udah dulu ya, assalamu’alaikum…”

“wa’alaikumsalam”

Setelah memberikan HP pada Ibeng. Udin merebahkan dirinya di atas kasur tipis dan lusuh lalau menyelimuti dirinya. Sembari merekahkan senyumnya ia berkata pelan, “Oh, Veta….
Continue Reading...

Rabu, 17 Juni 2009

Mengungkap Rahasia Peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad

Oleh : Reza Sukma Nugraha




Adalah sebuah pohon bernama cangkuang yang telah mengilhami nama sebuah desa di utara Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa dengan kondisi geografis khas dataran tinggi ini adalah salah satu dari sekian banyak objek wisata di Tatar Parahyangan. Setidaknya, terdapat tiga objek yang memesona para wisatawan untuk berkunjung ke desa ini. Candi Cangkuang, makam Embah Dalem Arif Muhammad, dan rumah adat Kampung Pulo.

Setiap wisatawan memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda saat berwisata di Cangkuang. Para peziarah melakukan wisata religi, dengan berziarah ke makam-makam keramat yang terdapat di Kampung Pulo. Umat Hindu tentu ingin mengunjungi candi Cangkuang dan patung Dewa Syiwa yang terletak di dalamnya. Ada pula wisatawan yang lebih senang mengunjungi rumah adat di Kampung Pulo. Mereka mengamati keenam rumah dengan arsitektur khas ini dengan pendekatan yang berbeda. Bahkan ada pula yang hanya ingin menikmati pemandangan sekitar Situ Cangkuang dan berkeliling pulau dengan sebuah rakit yang disebut getek.

Bagi para filolog, Cangkuang menarik karena menyimpan manuskrip yang ditulis oleh Embah Dalem Arif Muhammad yang dipercaya penduduk sekitar sebagai penyebar agama Islam di Tanah Garut. Seluruh manuskrip yang tersimpan di museum Cangkuang ini sering dijadikan objek penelitian para peneliti maupun para akademisi. Manuskrip tersebut berupa naskah khutbah Jumat terbuat dari kulit kambing, naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia, Al-Quran dan kitab lainnya yang terbuat dari kayu saih.

Embah Dalem Arif Muhammad, Sang Panglima Mataram

Konon, penduduk Cangkuang masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Sebagian lainnya beragama Hindu. Hingga datanglah Arif Muhammad yang secara perlahan mengajarkan Islam di desa tersebut. Menurut Zaki Munawwar, pengelola sekaligus juru bicara museum Cangkuang, Arif Muhammad adalah panglima perang dari kerajaan Mataram. Ia diutus Sultan Agung untuk mengusir VOC di Batavia pada 1645. Kemudian Arif Muhammad berangkat menuju Batavia untuk menyerang VOC. Sayangnya, Arif Muhammad beserta pasukannya berhasil ditekuk mundur.

Kegagalan Arif Muhammad membuatnya malu untuk kembali ke Mataram. Selain itu, ia takut Sultan Agung akan membunuhnya apabila ia tahu Arif Muhammad kembali dengan membawa kegagalan. Oleh karena itu, Arif Muhammad memutuskan untuk mengasingkan diri. Garut, dipilihnya sebagai tujuan. Selain itu, ia berniat menyebarkan agama Islam di daerah Parahyangan Timur. Awalnya, ia berdakwah di daerah Tambak Baya.

Beberapa waktu kemudian, Arif Muhammad berpindah ke tempat lain. Adiknya kemudian meneruskan dakwahnya di Tambak Baya. Sedangkan Arif Muhammad berdiam di sebuah kampung di desa Cangkuang. Kini di desa tersebut terdapat danau kecil atau situ. Kampung tempat tinggal Arif Muhammad terpisah dan membentuk pulau. Lantas, kampung tersebut dinamai Kampung Pulo.

Arif Muhammad menikah dan memiliki tujuh orang anak, enam perempuan dan satu laki-laki. Namun hingga saat ini, belum diketahui istri dan silsilah keturunan Arif Muhammad. Cerita yang berkembang saat ini hanya disampaikan dari mulut ke mulut. Penduduk sekitar menjuluki Arif Muhammad dengan nama Embah Dalem Arif Muhammad.

Kampung Pulo dan Kearifan Lokal yang Terjaga

Salah satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan di Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal ketujuh anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara. Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang berhadapan dengan halaman luas yang membelah deretan rumah tersebut. Setiap rumah memiliki ruangan yang sama: serambi, satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.

Kini, ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai anak laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah keturunan Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.

Keunikan lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Setiap rumah hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga. Artinya, apabila ada anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka ia harus segera meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua minggu. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal.

Hingga saat ini (April 2009), Kang Zaki—sapaan akrab Zaki Munawwar—mengatakan, jumlah penduduk Kampung Pulo mencapai 22 orang. Sebelas laki-laki dan perempuan. Mereka bermatapencaharian petani dan pencari ikan. Setelah Kampung Pulo menjadi objek wisata, 95% perempuan penduduk Kampung Pulo menjadi pedagang. Tidak terdapat lapisan-lapisan masyarakat dalam struktur sosial di Kampung Pulo. Hanya saja, ada satu orang yang dipercaya penduduknya untuk menjadi kuncen atau juru kunci. Tugas juru kunci adalah menyambung lidah para peziarah dan roh-roh keramat. Pak Atang adalah kuncen Kampung Pulo saat ini.

Masyarakat Kampung Pulo tidak diikat oleh hukum tertulis. Mereka hanya mengenal pamali sebagai istilah melanggar pantangan. Pantangan di Kampung Pulo harus dipatuhi penduduk itu sendiri maupun para wisatawan yang datang.

Pertama. Tidak boleh berziarah pada hari Rabu. Hal ini disebabkan pada hari Rabu, Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu, kecuali untuk belajar ilmu agama dan mengaji. Oleh karena itu, saat ini wisatawan tidak diperkenankan berziarah pada hari Rabu. Batas waktu hari Rabu, menurut kepercayaan penduduk Kampung Pulo, adalah ba’da Ashar di hari Selasa hingga ba’da Ashar di hari Rabu. Hal tersebut didasari perhitungan waktu dalam Islam.

Kedua. Tidak boleh membuat rumah beratap jure. Atap rumah harus tetap dibiarkan memanjang. Lalu dilarang menggunakan gong besar yang terbuat dari perunggu di setiap acara. Kedua larangan tersebut disebabkan cerita pada masa lalu. Konon, saat acara khitan anak laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad, anak tersebut diarak menggunakan tandu berbentuk rumah-rumahan beratap jure. Pada acara tersebut juga terdapat gong besar yang terbuat dari perunggu yang digunakan untuk hiburan. Tiba-tiba sebuah angin topan memorakporandakan acara tersebut. Anak laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad pun jatuh dan meninggal seketika.

Ketiga. Di Kampung Pulo dilarang memelihara binatang ternak berkaki empat, seperti: kambing, kerbau, dan sapi. Menurut Kang Zaki, terdapat dua dugaan. Pertama, karena binatang ternak dikhawatirkan mengotori lingkungan setempat dan makam-makam keramat. Kedua, pada awalnya masyarakat masih memeluk agama Hindu. Sedangkan pemeluk Hindu memuja sapi. Dikhawatirkan pula, masyarakat sulit melepas kepercayaan itu.

Selain ketiga pantangan di atas, masih banyak hukum adat yang masih dijunjung tinggi penduduk setempat. Meskipun arus modernisasi lambat laun memengaruhi perilaku masyarakat Kampung Pulo, mereka tetap memegang teguh seluruh pantangan yang berlaku tersebut. Arus modernisasi itu sendiri, salah satunya akibat dari dijadikannya Kampung Pulo sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi orang luar daerah.

Manuskrip Karya Embah Dalem Arif Muhammad

Embah Dalem Arif Muhammad, sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah Parahyangan Timur memperkaya khazanah kebudayaan dengan seluruh tulisannya. Tulisannya tersebar di berbagai daerah di Garut, seperti Leles dan Kadungora. Umumnya, pemilik naskah mengklaim masih keturunan Embah Dalem Arif Muhammad.

Saat peresmian Candi Cangkuang pada tahun 1976, dengan ditandai selesainya pemugaran candi (1974-1976), pemerintah melalui instansi terkait berinisiatif mengumpulkan seluruh aset budaya berupa karya-karya Embah Dalem Arif Muhammad dan menghimpunnya dalam museum yang dibangun berhadapan dengan candi dan makam Embah Dalem Arif Muhammad. Kebanyakan masyarakat saat itu bersedia memberikan naskah tersebut agar lebih terawat dan terjaga.

Masyarakat Kampung Pulo mengaku memberikan naskah tersebut secara cuma-cuma, tidak seperti orang diluar Kampung Pulo yang mereka duga harus diberi kompensasi berupa materi terlebih dahulu.

Namun, ada pula pemilik naskah yang enggan memberikan naskah tersebut pada meseum. Hal tersebut biasanya dikarenakan kandungan mistik yang dipercaya memberikan efek magis tertentu bagi pemilik naskah.

Manuskrip yang tersimpan di museum Cangkuang di antaranya: khutbah Jumat yang terbuat dari kulit kambing, kitab fiqih, khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia, Al-Quran yang ketiganya terbuat dari kayu saih.

Kang Zaki menambahkan, ada dua kemungkinan untuk tempat penulisan naskah-naskah tersebut. Pertama, seluruh naskah ditulis Embah Dalem Arif Muhammad saat berdakwah di Cangkuang. Kedua, bisa jadi naskah tersebut ditulis sejak Embah Dalem Arif Muhammad masih di Mataram. Hal tersebut dikarenakan naskah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, bukan Sunda.

Al-Quran Abad XVII M

Salah satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x 33 cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak memiliki penomoran halaman.

Al-Quran yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua warna tinta, yaitu hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut Jiji Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat buah manggis.

Namun Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz. Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12 kuras dan memiliki 143 halaman.

Naskah berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya penuh lubang kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya tidak terbaca. Hal tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang, termasuk Al-Quran ini, masih belum dirawat secara intensif.

Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.


Penelitian dan Harapan Pengelola

Museum Cangkuang banyak dikunjungi para peneliti naskah. Mulai mahasiswa yang melakukan penelitian sederhana hingga filolog yang concern terhadap manuskrip peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad. Namun hingga saat ini, pengelola museum mengaku belum dilakukan penelitian secara mendalam sehingga pengelola pun kesulitan menjelaskan kandungan isi naskah pada pengunjung.

Rupanya, harapan tersebut akan segera terwujud dengan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dedi Supriyadi, filolog sekaligus dosen Sastra Arab berjanji, tim akan menerjemahkan naskah tersebut untuk mempermudah proses sosialisasi naskah dan kandungannya. Hal tersebut juga penting dilakukan untuk mengungkap rahasia lain dari manuskrip peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad tersebut. Misalnya, tim peneliti telah mengungkapkan bahwa naskah yang sebelumnya disebut naskah khutbah Jumat ternyata belakangan diketahui adalah khutbah Idul Fitri. Hebatnya, naskah tersebut merupakan naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia!
Continue Reading...
 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template