Minggu, 13 September 2009

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah


Sumber: http://www.muhammadiyah.or.id/

Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.

Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keha-rusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :

  1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
  2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
  3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
  4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
  5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
  6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
  7. Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan ke-syirik-an, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
  8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk

Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu, Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.

Gagasan pembinaan kader di lingkungan maha-siswa dalam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa "dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah" (Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.

Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum terlalu banyak. Dengan demikian, pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan melalui Nasyi'atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hal, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan, sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil. Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bisa diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.

Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari ka-langan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.

Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.

Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.

Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang "..... menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah."

Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) diseleng-garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muham-madiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).

Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.

Tiga bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 29 Syawal 1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan ‘Enam Pene-gasan IMM' oleh KHA. Badawi, yaitu :

  1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
  2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
  3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
  4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi maha-siswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
  5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah
  6. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta'ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat

Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muham-madiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).

Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
  2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
  3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
  4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
  5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan

Dengan berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.

Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11 - 13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hampir seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo. Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM', Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.



Continue Reading...

Kamis, 10 September 2009

IMM DALAM DIMENSI IDEOLOGIS

Tujuan IMM adalah :
“Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah (masyarakat Islam yang berkemajuan)”.

Visi IMM adalah:
“Visi intelektual IMM adalah popular intellectual ( intelektual populis/intelektual kerakyatan), yaitu kaum intelektual yang menjadikan kepentingan-kepentingan publik dan permasalahan ketidakadilan sosial-politik sebagai komitmen gerakannya”.

Misi IMM :
1. Membina para anggotanya menjadi kader persyarikatan Muhammadiyah, kader umat dan kader bangsa yang senantiasa setia terhadap keyakinan dan cita-citanya.
2. Membina para anggotanya untuk selalu tertib dalam ibadah, tekun dalam studi dan mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk melaksanakan ketaqwaannya dan pengabdiannya kepada Allah SWT.
3. Membantu para anggota khususnya dan mahasiswa pada umumnya dalam menyelesaikan kepentingannya.
4. Mempergiat, mengefektifkan dan menggembirakan dakwah Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar kepada masyarakat teristimewa masyarakat mahasiswa.
5. Segala usaha yang tidak menyalahi asas, gerakan dan tujuan organisasi dengan mengindahkan segala hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia.

Sengkala pendirian Ikatam Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 14 Maret 1964, ditandai dengan ditandatanganinya Enam Penegasan IMM olek Ketua PP Muhammadiyah saat itu, yaitu K. H. Ahmad Badawi. Keenam butir pernyataan tersebut memproklamirkan sekaligus menegaskan identitas IMM bahwa:
1. IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
2. Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
3. Fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
4. IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah Negara
5. Kerangka pikir kader ialah ilmu adalah amaliah, dan amal adalah ilmiah
6. Gerakan IMM bersifat lillahi ta’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.

Mars IMM

Ayolah ayo... ayo...
Derap derukan langkah
Dan kibar geleparkan panji-panji
Ikatan mahasiswa Muhammadiyah
Sejarah ummat telah menuntut bukti
Ingatlah ingat.. ingat.. ingat..
Niat tlah di ikrarkan
Kita lah cendekianwan berpribadi
Susila cakap taqwa kepada Tuhan
Pewaris tampuk pimpinan umat nanti
Immawan dan immawati siswa tauladan putra harapan
Penyambung hidup generasi
Umat Islam seribu jaman
Pendudukung cita-cita luhur negeri indah adil dan makmur
Continue Reading...

Rabu, 02 September 2009

Terbang Bersama Malaikat

Cerpen DASAM SYAMSUDIN

PENA IMM-Sinar matahari menabraki dedaunan dan bunga-bunga yang tumbuh di
halaman rumah. Sinarnya menembus setiap celah kecil antara dedaunan
dan bunga-bunga itu, meloloskan gelombang foton yang memancar dari
pijarnya. Sosoknya yang bulat raksasa terlihat pecah-pecah, terhalang
tetanaman bunga dengan dedaunanya yang bergoyang-goyang ditiup-tiup
angin. Di balik jendela kamar aku mengintip Charli—dia adikku—yang
sedang menunjuk-nujuk langit. Tubuh adikku yang baru berusia tiga
tahun, diam terpaku memperhatikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu
apa yang sedang dia tunjuk dan dia perhatikan. Tapi, dari balik
jendela aku mencoba menebak-nebak, mungkin dia sedang memperhatikan
sesuatu yang terbang. Tapi apa yang terbang itu? Itu yang aku pikir.
Aku mencoba menebak lagi, mungkin hewan yang kecil. Karena dari balik
jendela dan dengan jarak yang agak jauh, hewan kecil itu tidak bisa
aku lihat.

Melihat adikku yang bergerak-gerak, berjalan dengan bebas walau masih
tertatih-tatih, aku merasa iri. Hampir sebulan aku tidak merasakan
bagaimana rasanya berjalan dengan kaki sendiri. Kecelekaan motor yang
terjadi sebulan yang lalu membuat kedua kakiku patah. Aku terkadang
merasa bingung sendiri. Kenapa aku bisa jatuh dari motor. Padahal
waktu itu jalanan terasa aman, dan aku sendiri sudah sangat mahir
menyetir motor.

Waktu itu, kala langit senja berwarna merah akibat pancaran sinar
matahari yang sedang berjalan keperaduannya, aku sedang memacu motor
Ninja RR (baca: Ninja Double R)—pemberian ayahku sebagai hadiah Ulang
Tahunku yang kedua puluh tahun—dengan kecepatan normal. Tidak lambat
tidak juga cepat, setidaknya menurutku. Saat itu aku memperhatikan
langit senja yang betul-betul terlihat merah, merah di mana-mana,
pikirku, memperhatikan langit senja yang menurutku terkesan
menyeramkan. Langit seolah-olah menyala, berpijar bagaikan bara api
raksasa. Mungkin karena memandang langit yang seolah berpijar itu, aku
sampai tidak memperhatikan jalan, dan akhirnya motorku tak terkendali
sehingga menabrak sebatang pohon yang tumbuh liar di tepi jalan.

Sebetulnya, sebelum aku terjatuh dengan motorku. Di langit yang merah
itu, aku melihat sesosok, atau sebuah benda, ah, atau apalah, aku
tidak tahu. Yang pasti aku melihat sesuatu melesat di langit, semacam
kilat. Tapi itu bukan kilat, sebab sesuatu yang terbang itu besar dan
bentuknya seperti seorang manusia yang menyala karena pijar cahaya
dari dirinya, dan karena terbang itu pakainnya terlihat
merumbai-rumbai. Aneh! Sungguh! Sesosok yang terbang itu, yang tadinya
terbang lurus dari arah Timur ke arah Barat, tiba-tiba saja ia
berbelok, terbang ke arahku. Aku bisa melihatnya agak jelas saat dia
semakin mendekat. Itu seperti seorang manusia, tapi tubuhnya lembut
seolah terbuat dari cahaya. Sebab saat sosok itu terbang meluncur
menabraku, dia tidak bisa menyentuhku, dia menembus tubuhku.

Sebetulnya, lantaran sesosok yang terbang itu, aku sampai menabrak
pohon yang tumbuh liar di tepi jalan dengan keras. Tapi alasan aku
jatuh karena melihat sosok yang terbang tidak ku beritahukan pada
siapa pun, sebab orang-orang tidak akan ada yang percaya, termasuk ibu
dan ayah. Karena kecelekaan itu juga kakiku lumpuh, dan sekarang tidak
bisa digunakan untuk berjalan. Kata dokter, tidak lumpuh kakiku hanya
untuk sementara waktu, hanya sebentar, sekitar dua bulan lagi akan
sembuh total. Kuharap ucapan dokter benar, aku sudah bosan duduk terus
di kamar yang semakin hari serasa semakin pengap saja.
***

Ibu dan Charli masuk kamarku. Ibu menawari aku makan, tapi aku
menolaknya. Walau lapar, karena tidak berselera, aku memilih untuk
tidak makan. Aku lebih suka minum yang manis-manis. Setelah bosan
membujukku, ibu meninggalkan aku. Mudah-mudahan ibu tidak marah
menyikapi kelakukanku ini.

Sebelum menutup ibu pintu, aku memanggil Charli, memintanya untuk
menemaniku. Ibu pun membiarkan kami berdua di kamar ini. Ibu agak
mengernyitkan dahi, sebab tidak biasanya aku akrab dengan Charli.
Sepertinya Charli senang menemai aku. Tanpa banyak kata setelah aku
memanggilnya, ia langsung memanjat ke ranjangku, dan duduk di
sampingku sambil tersenyum-seyum. Baru kali ini aku merasa sayang pada
Charli, biasanya aku tidak pernah memperhatikannya, selalu cuek,
bahkan sering membuatnya menangis karena keasyikan bermainnya selalu
aku ganggu.

Aku bertanya pada Charli, tentang apa yang dia tunjuk-tunjuk saat
sedang bermain di halam rumah. Aku terhenyak setelah mendengar
jawabannya, walau dia mengatakannya dengan terbata-bata dan kurang
jelas sebab cedalnya.
“Aku melihat olang telbang…” kata Cahrli sambil merentangan tangannya
meniru burung yang mengepakan sayap.
“Terbang! Apa yang terbang, Charli?...” aku berkata sambil membetulkan
posisi duduk, dan memegang kedua pundak adikku, menatapnya serius.
“Olang pake baju walna putih telbang” Charli mengucapkannya masih
sambil mengepak-ngepakan tangan.
Aku banyak bertanya pada Charli, dan berusaha keras memahami
kata-katanya yang terbata dan cedal itu. Aku semakin terhenyak. Sebab
apa yang diucapkan Charli tidak mungkin bohong, “dia masih bersih”.
Kata orang-orang anak seusia itu selalu mengatakn hal yang sebenarnya
dari apa yang dilihatnya. Dan, yang tadi Charli lihat di halaman rumah
adalah sesosok yang sama-sama aku temui tempo hari. Yang gara-gara ia
terbang kearahku aku sampai menabrak pohon.

Charli turun dari ranjangku, dan berlari kecil sambil
mengepak-ngepakan tangannya meniru burung terbang meninggalkan aku
tanpa berkata apa-apa. Aku juga membiarkannya pergi dan tanpa
mengatakan apapun. Mungkin karena tidak percaya dengan apa yang
diucapkan Charli aku jadi mengacuhkannya. “tidak mungkin?!” pikirku
dalam hati. “Siapa atau apa dia?” ucapku dengan nada tertahan.

Pikiran tentang sesosok makhluk yang terbang itu membuat aku
penasaran. Aku mencoba mengingat-ingat sosok itu. Tempo hari aku
melihatnya tidak jelas, sebab laju luncur terbangnya begitu cepat.
Sulit untuk dikenali. Tapi aku yakin, yang terbang kearahku itu mirip
manusia, namun aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Wanita atau
laki-laki, aku tidak tahu. Wajahnya terlalu terang oleh cahaya yang
memancar, hanya terlihat silau-silau, putih dan samar. Aku pun mencoba
memeras pikiran untuk mengingat gerakan dan posisi makhluk yang
terbang itu. “mengapa dia berbelok kearahku? Mengapa ia menabraku?”…
Oh, Tuhan! Aku tahu. Dia bukan mau menabraku, tapi sosok yang terbang
itu mau menangkapku. Setidaknya memang seperti itu aku melihatnya. Aku
yakin, sebelum dia menyentuhku, dan sebelum aku memejamkan mata karena
takut, aku melihatnya merentangkan tangan seolah akan menangkap aku.
“Lalu untuk apa ia menangkap aku? Mau membawa aku, kah? aku semakin
penasaran, dan aku takut. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku
gemetar. Dan akhirnya aku memanggil ibu. “Ibu!!!...”
***

Di sampingku Charli sedang duduk sambil memijat-mijat tanganku. Aku
mengusap-ngusap kepalanya. Semakin hari aku merasa semakin
menyayanginya saja. Di tepi ranjang aku juga melihat ayah yang sedang
duduk, tertunduk dan, air mukanya menunjukan bahwa dia sedang
bersedih. Aku tidak bertanya apa-apa pada ayah, tidak juga menanyakan
kenapa dia sudah pulang dari kantor.
“Charli, mana ibu?...” Charli diam saja waktu aku bertanya, dia hanya
terus memijat-mijat lenganku yang sebetulnya tidak apa-apa, menurutku.
“Ibu di ruang tamu, sedang berbicara dengan dokter…”Ayah tidak
meneruskan kata-katanya, ia juga tidak melihat wajahku saat berbicara.
Dan aku juga tidak bertanya apa-apa lagi padanya.

Aku merasa heran? Kenapa ayah dan adikku duduk bersamaku sore ini. dan
kenapa juga ada dokter dirumahku, siap yang sakit selain aku?
Mungkinkah itu dokter yang telah memeriksaku. Sungguh, hari ini terasa
membingungkan. Aku juga tidak tahu ini hari apa? Hal terakhir yang
bisa kuingat adalah aku memanggil ibu sebab merasa takut oleh bayangan
tentang sosok yang terbang, setelah itu aku tidak tahu apa-apa. Dan
hal itu terjadi rasanya baru hari kemarin. Ah, semua ini membuat aku
bingung. Dan aku juga enggan menanyakan pada orang-orang yang ada di
sekelilingku, tentang semua ini.
Ibu masuk kamarku. Lagi-lagi aneh? Ibu berjalan menuju ke arah aku
berbaring diranjang, dia menangis terisak-isak, airmatanya jatuh
satu-satu menetesi lantai yang berwarna putih. Lama-lama aku muak
dengan keadaan seperti ini. Seolah-olah ada sesuatu yang mereka
sembunyikan dariku. Aku memalingkan pandangan dari ibu yang sedang
mengusap-usap kepalaku, dan ia juga mencium keningku. Aku melihat
pemandangan di balik jendela, di sekitar tanaman bunga yang kemarin
Charli menunjuk-nunjuk langit di situ. Aku juga melihat langit. Langit
begitu biru, luas dan indah dengan awan gemawan yang menebar sekenanya
di pojok-pojok langit. Matahari yang dihimpit dua awan putih dan
bersih terlihat samara-samar. Aku terus menatap langit. Terus
memandangnya sampai-sampai antara pikiran dan penglihatanku mendapati
langit seakan-akan berubah menjadi kain berwarna biru dan tipis, yang
memungkinkan apa-apa yang ada di balik kain itu terlihat walau
samara-samar. Dan, aku memang merasakan di balik kain biru itu ada
sebuah singgasana yang sangat megah, lengkap dengan tetamanan yang
menghiasi, dan sungai-sungai yang menggurat-gurat kawasan singgasana
itu.

Air mata ibu menjatuhi keningku, membuat aku sedikit kaget, dan
memudarkan seluruh bayangan singgasana yang ada di balik langit dari
alam pikiranku. Aku memperhatikan seluruh keluarga, ayah, ibu dan
adikku. Aku mendapati air muka mereka menunjukan suatu kesedihan. Aku
memperhatikan mereka dalam-dalam dan baru kali ini aku merasa, aku
sangat menyayangi mereka, aku beruntung jadi bagian dari kehidupannya.
Airmata meleleh di pipiku, aku membiarkannya mengalir pelan, sebab
tenagaku sudah hilang, sekedar mengangkat tanganpun aku tak mampu.
Sekarang aku merasa sangat lemah, nyeri dan sesak. Nafasku
tersenggal-senggal, jantungku berdegup pelan seolah kehilangan
kekuatannya. Aku mau bertanya dan berkata-kata pada ayah dan ibuku,
tapi aku terlalu lemah, bibirku hanya bergetar-getar pelan, tanpa
mengeluarkan suara, semua kata seakan terkurung di dalam kerongkongan.
Tubuhku serasa semakin lemah, beberapa paku terasa menusuk-nusuk organ
tubuhku.

Charli yang duduk di sampingku tidak lagi memijat tanganku. Dia tengah
memperhatikan langit di balik jendela. Aku pun melihat apa yang sedang
dia lihat. Astaga! langit yang tadi biru, indah dengan paduan awan
putih dan matahari yang samara-samar ternyata telah berubah. Berubah
menjadi merah, merah di mana-mana. Langit seolah menyala-nyala
layaknya bara raksasa. Aku pernah melihat pemandangan seperti ini,
sebelum aku menabrak pohon yang tumbuh liar di tepi jalan saat
mengendarai motor pemberian ayah. Aku terhenyak menyaksikannya semua
ini, langit senja memang biasanya merah, tapi langit senja kali ini,
merah seperti arang yang masih berpijar, merah dan menyala. Aku
menebak-nebak akan mendapati sesosok yang terbang di kolong langit
yang seperti menyala, merah dan menyeramkan itu. Lama aku
memperhatikan langit yang semakin lama semakin merah, namun aku tidak
mendapati sosok yang terbang itu. Aku mengalihkan pandangan, tiba-tiba
aku rindu melihat wajah ayah, ibu dan adikku. Padahal hanya beberapa
detik aku tidak melihat wajahnya, tapi aku merindukannya.

Oh, Tuhan! Aku tidak bisa meliht wajah ayah, ibu dan Charli. Aku hanya
mendapati pemandangan putih, putih dimana-mana. Sesosok yang terbang
tengah berdiri di hadapanku. Cahaya yang memancar dari tubuhnya
menyembur kemana-mana, membuat kamarku sera terisi kabut-kabut putih,
dan hanya putih terlihat. Aku mencoba mengenali wajahnya. Cahaya yang
menyala-nyala membuat wajahnya tetap samar. Aku yakin, sosok yang
tengah melayang di hadapanku ini adalah Malaikat. Aku tahu itu, sebab
tiba-tiba saja aku mengenalnya, seolah-olah ada yang berbisik di
telingaku, mengenalkannya padaku, itu Malaikat.

Malaikat yang tengah melayang di hadapanku mendekatiku, dia tersenyum.
Aku bisa melihat wajahnya tersenyum walau samara-samar, dan aku merasa
sejuk melihat wajahnya yang terlihat indah. Memang aku tidak tahu
apakan dia tampan atau cantik, yang aku rasa dan saksikan wajah
Malaikat ini indah, bercahaya, berseri dan menyejukan. Dia semakin
mendekat. Setelah jarak antara aku dan dia sangat dekat. Malaikat itu
pun mengulurkan tangannya, membuka jemarinya yang terkepal. Aneh, aku
merasa uluran tanganMalaikat itu bukan untuk mengajak aku pergi,
apalagi memaksa aku untuk pergi mengikutinya. Aku merasa dia sedang
menyambutku. Menyambut seseorang yang lama meninggalkan tempat
asalnya. Oh, malaikat ini menyambutku dengan sangat sopan, sehingga
aku merasa bahwa aku harus menyambut hangat uluran tangan sang
Malaikat. Walau merasa takut, aku berusaha tersenyum dan tenang.
Sekarag aku berdampingan dengan Malaikat. Dan, Malaikat tubuhnya
lembut serasa kapas dan bersinar-sinar ini, membawaku terbang, terbang
ke suatu tempat yang sepertinya aku tahu apa dan di mana tempat itu.
Aku menundukan kepala untuk melihat ayah, ibu dan adikku. Mereka semua
sedang menangis sesenggukan. Ibu memeluk tubuhku yang terbaring dengan
mata yang terpejam, dan terkadang mengguncang-guncang tubuhku. Dan,
ayah memeluk adikku, mendekapnya erat, mereka berdua juga menangis.
Menyaksikan itu aku tidak merasa heran. Justru aku tenang. Aku terbang
bersama malaikat.
Aku tidak merasa sudah mati. Aku hanya merasa telah terbang bersama Malaikat.
Continue Reading...

Selasa, 01 September 2009

Terorisme Anak Muda

Oleh Reza Sukma Abdullah

Pena IMM-Kalau disebut-sebut jaringan teroris semacam Noordin M Top lebih senang merekrut anak muda, saya (agak) setuju. Kenapa? Karena sebagai anak muda, saya pernah mengalami setidaknya dua tindak terorisme atas nama agama. Hal tersebut saya alami ketika pertama kali mengenal Kota Bandung.

Saya, yang datang dari kota biasa –untuk tidak bilang dari lembur—menyesuaikan diri di kota baru ini dengan bergaul dengan teman sebaya. Karena, saya tak punya keluarga yang dekat atau teman lama. Mungkin hal tersebut yang membuat seorang senior mendekati saya seolah-olah mau mengenalkan dunia baru bagi saya. Itulah kiranya tindakan meresahkan atas nama ideologi yang saya alami pertama kali.

Lelaki itu cukup perhatian. Ia memberi petunjuk, seperti apa dunia kuliah, seperti apa hidup di Bandung, seperti apa bergaul dengan orang-orang di Bandung, dan banyak lagi. Akhirnya, ia pun nge-kos di dekat kos saya. Lama-lama ia banyak diskusi dengan saya, termasuk diskusi mengenai Islam.

Hal sama juga dilakukan seorang teman yang saya kenal pertama saat ujian masuk kampus ini. Setelah lulus, ia menawari saya mengikuti pengajian di daerah Cicaheum. Anehnya, ia wanti-wanti agar saya tidak mencurigai ajakannya. Katanya, pengajian itu cuma pengajian Al-Quran biasa. Tak perlu pakaian khas orang mengaji, tak perlu berpenampilan gaya ikhwan. Loh, karena ia bilang begitu malah saya jadi curiga!

Berbulan-bulan kedua teman itu banyak mengajak diskusi. Apalagi senior saya yang lebih intensif berkunjung ke kos, banyak bicara ini-itu. Hingga suatu saat, ia banyak berdiskusi masalah Islam. Karena latar belakang keilmuan saya mayoritas adalah sekolah umum, yang porsi keagamaan sangat minim dan pendidikan agama sepenuhnya jadi tanggung jawab ortu, saya tak banyak tahu soal-soal yang menjadi bahan diskusinya.

Singkatnya, kedua doktrin yang mereka tawarkan pada saya adalah konsep suatu masyarakat yang mereka sebut masyarakat Islam—iseng-iseng saya menerjemahkan ke dalam Bahasa Arab Jamaah Islamiyah—yaitu masyarakat yang berpegang pada hukum-hukum Allah. Denga menyitir surat Al-Maidah ayat [44], mereka menyebut bahwa saat ini, kita sedang dalam kuasa yang kafir yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah. Maka, saat itu saya masih kafir, lantas kedua ortu saya masih kafir, teman sekitar yang tidak masuk golongan ini juga kafir yang halal darah dan harta bendanya.

Walau sebagai remaja yang awam dalam hal tersebut, saya dapat meyakini tawaran mereka bukanlah kebenaran bagi saya. Saya menggugat konsep mereka dengan argumen-argumen semampu otak saya berpikir. Hingga satu kawan mundur teratur.

Namun, karena keingintahuan saya akan kemana akhir dari tawaran ini, saya sengaja mengikuti rangkaian cerita dakwah ini. Senior saya mengajak saya untuk memasuki dunia baru itu dengan proses baiat. Sebuah perjanjian mengikat yang jadi syarat wajib mengenal masyarakt Islam tersebut. Di malam hari, saya ikuti kemana kita akan melaksanakan ruwatan baiat itu.

Situasi makin kacau saat saya harus intensif mengikuti pengajian yang dilaksanakan di Bandung wilayah utara. Pengajian itu wajib hukumnya diikuti walau mengabaikan perkuliahan, waktu yang mepet ke shalat maghrib, dan meski kita lagi bokek. Parahnya, lambat laun kantong makin mengering akibat desakan untuk berinfak. Konon, makin lama infak akan semakin diwajibkan dan besarannya ditentukan. Saya makin muak dengan apa yang mereka yakini itu benar. Setelah tahu sedikit apa yang ada di dalamnya, saya rasa harus mulai lari dan menjauh dari komunitas ini, yang belakangan saya tahu komplotan ini ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Lari, namun sulit menghindar dari teror-teror yang mengusik saya di hari-hari pertama. Fisik, psikis, lewat handphone, email, bahkan mengejar langsung hingga ke kos!

Tindakan meresahkan atas nama ideologi yang kedua datang saat saya sudah cukup mikir. Saat saya masih kuliah di semester lima. Kondisi psikologis yang cukup rumit dijelaskan menyebabkan saya mengenal seorang teman yang nampak seperti juru selamat. Kata-katanya seperti motivasi yang berupa obat hingga saya dapat berdiri, bangkit dari keterpurukan.

Di tengah gundah, konflik batin selama ini atas beragam pencarian, seorang teman banyak bicara mengenai hakikat Tuhan dan kebahagian hidup. Semula saya pikir ia pandai berfilsafat hingga saya tertarik untuk belajar padanya. Suatu saat, ia menawari saya mengikuti suatu pengajian yang saya lupa namanya, di Bandung wilayah kota. Katanya, di pengajian itu kita akan mendapat pencerahan spiritual dan mengetahui hakikat kebahagiaan.

Saya yang merasa sangat bodoh saat itu begitu takluk di depannya. Rasanya, saya tak ingat bahwa apa yang ia katakan bukan selalu berarti benar. Jujur, saat itu saya begitu tunduk dalam kata-katanya. Saat saya menulis ini, saya bisa menggugat. Tapi, saat itu saya begitu terbuai dengan ucapan-ucapannya yang banyak menyitir ayat Al-Quran. Bahkan ia menafikan hadits Rasul.

Suatu saat, saya diminta untuk meneguhkan diri menjadi pengikut perguruannya. Perguruannya ada di wilayah Jatinangor. Doktrin yang paling melekat pada diri saya saat itu, bahwa penyebab semua masalah yang saya hadapi adalah karena keraguan saya pada Allah. Keraguan itu berupa penghambaan saya pada makhluk, seperti orangtua, teman baik, bahkan mungkin kekasih. Dan, untuk menebus kesalahan itu, maka saya perlu banyak uang infak sesuai dengan dosa besar yang saya lakukan itu.

Saat itu pula, saya berusaha mendapatkan uang agar bisa mencerahkan diri dan membebaskan jiwa dari mahadosa yang saya perbuat. Akhirnya, terjadi proses pembaiatan dan ada perjanjian hitam di atas putih. Saya akan melaksanakan seluruh persyaratan sesuai tertulis di atas surat yang bermaterai itu. Gilanya, saya rasa saya melakukan itu semua di luar kendali, di luar kesadaran saya! Hingga, saya kembali dan merasa betul bahwa hal tersebut adalah kebohongan besar.

Demikian, dua kisah kebodohan seorang anak muda yang diperalat oleh teror-teror atas nama agama. Saya malah merasa, kedua “aliran” tersebut lebih layak disebut penistaan terhadap Islam dan penyimpangan pada ajaran-ajarannya. Namun, saya tak mau terjebak pada bahaya laten khawarij, mudah mengkafirkan dan menyalahkan keyakinan sesama manusia. Hanya saja, saya merasa kedua paham itu meresahkan dan merugikan setidaknya bagi saya pribadi. Bagi Anda, silakan menjadi refleksi bersama.

Continue Reading...

S2 Pendidikan Akhirat; Ada Beasiswa

Oleh Cecep Hasanuddin el-Sumatrani


Saya adalah orang yang suka dengan tantangan dan petualangan. Pernah suatu kali saya terpegok oleh salah satu teman saya, namanya Armagedon. Terkejut yang saya rasakan. Ada juga perasaan malu muncul. Tapi itu semua saya tepis jauh-jauh. Dan sampai sekarang pun, saya masih tetap konsisten dengan hobi saya. Berpetualang.

Entah mengapa, perjalanan hidup saya terasa santai dan ibarat air mengalir. Mulai sejak dari SD sampai sekarang. Hidup saya seperti itu saja. Sulit digambarkan. Saking sulitnya, tak kuasa menceritakannya. Kok bisa begitu,ya? Wah..saya pun akhirnya mengaku, bahwa saya memang sedang menulis apa yang terlintas dalam benak saya malam ini. Tentunya sambil dibarengi lagu dari grup band asal Bandung;Changcuter;I love you bibeh.

Jika diceritakan kisah perjalanan hidup saya, mungkin tak cukup waktu untuk diceritakan. Butuh waktu yang konsen dan full 24 jam. Masyaallah memang. Bahkan astagfirullah. Bisa juga innalillah. Begitulah. Bisa jadi bagi yang mendengarnya akan merasa bosan dan muak. Tapi, bagi saya itu merupakan nilai plus yang semestinya diapresiasi oleh siapa saja yang menghormati sebuah karya.

Taka ada lagi kata untuk berubah selain kita mengucapkan teruslah berkarya. Karena hidup tanpa karya bagaikan seekor burung tanpa sayap. Tak bisa terbang. Kering. Atau kata yang pas buat kita yang tidak sama sekali berkarya adalah tak ada semangat dalam hidupnya.

Hidup memang sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh kita yang masih menghirup udara kebebasan. Bagi yang sudah di alam kubur, baginya tak ada tantangan sebagaimana di dunia. Tantangan di alam kubur paling banter menjawab pertanyaan Malaikat. Bagi yang kurang tepat dalam menjawab, ia gagal menuju pintu kebahagiaan. Dan beruntunglah bagi mereka yang cekatan menjawab. Ia akan merasa gembira, dan Tuhan pun ikut mengapresiasi atas jerih payahnya selama ini. Akhirnya, Tuhan juga memberikan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya setelah menyelesaikan pendidikan di dunia pana selama bertahun-tahun. Ada yang 70 tahun, 65 tahun, 50 tahun, 40 tahun, 30, 20, 19, dan bahkan ada yang 5 menit saja.

Jika lulus dan lolos pada sarjana dunia pana, maka berhak bagi Tuhan memberikan beasiswa untuk magister, atau dalam dunia akademiknya sering disebut S2. Ingat! Ini fasilitas Tuhan yang sangat gratis. Insyaallah tanpa tes TOEFL atau pun TOAFEL. Syaratnya tidak sesusah syarat-syarat mendaftar menjadi PNS. Ribet. Berbelit. Harus ini harus itu. Kalau beasiswa untuk pendidikan akherat, cukup menjawab beberapa pertanyaan dari Tuhan yang diamanatkan kepada malaikat Rakib-Atid. Beberapa pertanyaan itu akan diajukan kepada kita, nanti, di alam kubur.

Pertanyaannya sangat mudah. Tidak jauh dari kita dan Tuhan. Saya pun sangat yakin, beberapa pertanyaan dan jawabannya sudah bocor. Pertanyaan serta jawaban sudah ada dalam benak kita saat ini. Bahkan, saya berhusnudzon, seandainya saya ajukan satu pertanyaan saja kepada Anda sekarang ini, pasti, Anda dengan sangat lancar menjawabnya. Bisa jadi, jawaban Anda sangat berbobot dan kaya teori.

Juga perlu diketahui bersama, bahwa nanti, di alam kubur itu, tidak ada sama sekali pertanyaan eksak. Atau yang berhubungan dengan algoritma, akar pangkat, metalurgi, geologi, dan istilah-istilah yang membuat otak kita berkeringat. Tidak sama sekali. Jadi jangan merasa bingung tepat atau tidak jawaban kita nanti. Agar tepat sasaran jawaban kita, kita pun sesungguhnya sangat paham apa yang mesti kita persiapkan sejak saat ini sampai hari yang tidak ditentukan.

Dengan demikian, dengan waktu yang tidak ditentukan tersebut, maka ada banyak kesempatan untuk kita mempersiapkan segalanya. Bisa kursus di lembaga pendidikan ternama, mungkin, atau berusaha belajar secara otodidak. Karena tidak sedikit, para pendahulu kita, semisal ustad Aristoteles yang sampai saat ini, nama dan sumbangan ilmunya sangat dikenang. Dia bisa seperti itu karena belajar otodidak. Mendatangi kebeberapa guru yang ahli dibidangnya.

Bisa jadi, di dunia ini tak ada yang tidak mungkin. Kecuali memakan kepala sendiri. Orang yang belajar otodidak dengan sungguh-sungguh mendalami disiplin ilmu tertentu, mereka bahkan bisa mengalahkan orang yang belajar pada pendidikan formal. Baik itu dari segi intelektual, maupun segi yang lain. Bagaimanakah dengan kita? Akan lebih bijak jika jawaban itu disimpan sementara dalam memori kita. Karena bila dijawab sekarang, bisa jadi akan mengganggu apa yang sedang Anda baca sekarang.

Untuk S2 pendidikan akhirat, memang semua orang pasti sangat mengharapkannya. Apalagi, itu kan beasiswa.. Tuhan yang akan langsung mengurus seluruh administrasinya. Tuhan akan dengan tulus melayani semuanya. Belum lagi ditambah dengan plus-plusnya. Pokoknya sangat memuaskan. Kita akan diberikan, tentunya dengan gratis pula. Bebas mau berapa saja. Kita tinggal atur hati kita, mau satu, lima, atau terserah kita. Ya, kita akan dipersiapkan Bidadari-bidadari cantik. Cantiknya tak ada yang menandingi sebagaimana di dunia.

Selanjutnya, selamat mempersiapkan S2 untuk pendidikan akhirat.. Kesempatan itu terbuka untuk siapa saja. Dari golongan mana saja. Yang mengaku Muhammadiyah kah? NU kah? Persis kah? HTI kah? Jama’ah Tablig kah? NII kah? LDDI kah? Atau pun Ahmadiyah kah? Yang jelas, yang masih mengaku islam, yang masih salat dalam lima waktu sehari-semalam. Mereka pantas untuk mendapatkan beasiswa. Manusia tidak berhak menentukan siapa yang mendapatkan itu. Hanya Tuhan lah semua yang memutuskan. Sekali lagi, kita hanya berusaha ke arah itu.


Continue Reading...

Sabtu, 25 Juli 2009

Vidio Kenang-Kenangan

Mohon, jika ada gambar atau foto yang tidak berkenan dengan hati Anda harap dimaklum.


Continue Reading...

Jumat, 24 Juli 2009

Sebelum Kujatuh

Oleh Frida Firdiani

Setiap hari kucari jawaban

Setiap langkah kutepis cobaan

Kubertahan dengan perkiraan

Karna kuyakin ini bukan masalah perasaan

Berawal dari sebuah kekaguman

Beranjak dengan ragam kebetulan

Tapi mengapa tafsir-tafsir itu semakin muncul dalam pikiran

Menghambatku dalam mengambil keputusan

Hari itu adalah hari yang indah untuk dilewati. Dengan aroma persahabatan yang merebak di sekujur tubuhku, kulewati perpustakaan hanya sekedar lewat, tanpa tersirat untuk meliriknya sekalipun. Mendadak ada suatu hal yang membuat langkahku terhenti. Seseorang yang kusegani muncul dikehangatan mentari. Setelah hal itu terjadi, berubah jumlah orang yang kusegani. Awalnya aku menyapa Syeikh Mesir. Beliau menuntunku dalam mengkaji pengetahuan baru. Dengan keterbatasan bahasa Arab yang kupunya, aku harus berjuang keras untuk memahami bahasanya. Mataku berubah lirikan tanpa komando. Ada seseorang bersama Syeikh yang memunculkan kalimat dalam pikiranku: “Dia bukan sembarang Mahasiswa,” just it. Akupun baru melihatnya dan tidak mengenalinya. Tapi pikiran tadi muncul begitu saja, tak tau di mana awalnya, kepedulian itu tertanam dalam pikiranku yang awam, seolah firasat baru dan tentu saja aku tak mau memikirkannya. Otakku terlalu berat untuk memikirkan yang mungkin saja membuat hidupku tersengat. Tersengat? Tentulah lelaki hebat itu tak salah. Karna yang berbahaya adalah kesetiaan yang muncul dalam relungku. Bila kesetiaan itu datang, pasti butuh waktu lama untuk mengusirnya, walau tiada ada jaminan bagiku untuk mendapatkannya.

Kegigihanku untuk mendapatkan kesimpulan: “Bahwa Aku Tak Mencintainya!” semakin terbaca. Tapi kekagumanku dengannya semakin tercerna. Tak banyak yang kutahu akan dirinya. Tapi semakin meledak keyakinanku akan kehadirannya. Entah berapa sobat yang kuterjunkan dalam hal ini. Meraka jawab: “Kekaguman itu hanya topeng untuk menutupi cintaku padanya. ”Dan semakin banyak peserta kuis yang kulibatkan untuk menjawab tanyaku, hatiku semakin gelisah. ”Mana mungkin aku mencintai seseorang yang tidak aku kenal!” bagiku “Love At The First Sight” itu hanya asap tebal yang mengombang-ambingkan penilaian seseorang. Its ok, coz hal itu tidak berlangsung lama. Api gelisah itu perlahan padam dan mampu menghangatkan suasana. Perlahan kehangatan itu semakin kurasa. Sebuah motivasi seolah membanjiri peredaran darahku. Tanpa target untuk mengenalinya, aku berusaha untuk menjelma menjadi sebaik-baik wanita. Entah dari mana persepsi itu muncul, aku seolah tau banyak tentangnya yang dimataku “BAIK.”

Tapi keadaannya menjadi lain ketika aku sering melihatnya. Penghuni kampus ini tentu saja bukan hanya aku. Itu artinya aku bisa mendapatinya di bagian kampus mana saja, dan berharap aku tak menemukannya di bagian tubuhku yang tak bisa dibohongi ini, yaitu hati. Pikiranku mulai bercabang. Mungkinkah kebetulan yang bertengger itu adalah rambu untuk mengenalinya. Aku pun tak ingin kehilangan kesempatan. Terkadang aku berubah seperti laron yang mendekati cahaya, seperti kutub magnet selatan yang mendekati utara. Aku berusaha untuk mendekati orang-orang yang mengenalinya. Kupikir, dengan tau banyak tentangnya penasaran itu akan selesai, dan hidupku akan seperti dulu, TANPA MEMIKIRKANNYA!!! Nyatanya aku malah mencintai caraku untuk tau jauh tentangnya. Entah berapa hati yang telah terusir, entah berapa jiwa yang kian tersiksa, tapi maaf saat ini aku tak ingin menjalin dengan yang lain, yang kuingin hanyalah informasi tentang DIA, karna firasatku seolah DOA.

Sekarang adalah puncak kegalauanku. Semakin hari semakin kuyakin cinta itu tiada. Tapi rasa penasaran itu semakin menjelma. Ada apa ini? Kesalahan kian terukir, logika semakin tersingkir. Seharusnya aku menjadi pemikir, agar kehidupanku tak sampai terjungkir. Bila aku dihadapkan dengannya, bibirku seolah terkunci untuk menyapanya. Karna yang kutakuti adalah mengharapkannya. Aku masih ada PR untuk menyapanya, karna atas dasar kebetulan pula, aku telah bercengkrama dengannya dalam suasana nyata, bukan angan semata, dengan kata lain “saling mengenal.” Kudengar dia tengah menjalin dengan yang lain, hatiku sedikit goyah dengan alasan akses untuk semakin mengenalnya akan terlelang. Tapi sebuah lega muncul dengan mempesona, dengan dia bertunangan, artinya ada suatu pembendung jika aku mencintainya di suatu saat. Hatiku tercabik ketika mendengarnya: ”Insyaallah saya lulus tahun depan.” Sebuah semangat yang rupawan, tapi perlahan berubah menjadi ancaman. Aku takut merindukannya kelak. Kutakut rindu itu berubah menjadi sesuatu yang membuatku cemburu.

Cinta itu adalah perasaan yang agung, yang datangnya bukan karna terpaan keadaan atau paksaan karna kekaguman. Sejauh ini aku masih yakin bahwa semua ini hanya kebetulan. Aku hanya kagum padanya. Tapi keadaanku sedang tak mencinta yang lain, sehingga kekaguman ini kadang tak terorganisir pada tempatnya, dan terkesan kumencintainya. Sedikit pun aku tak pernah menyalahkan kehadirannya. Yang kusesali hanya penyikapan diri akan semua yang terjadi. Maafkan aku Tuhan, yang kadang goyah dengan terpaan kehidupan.
Continue Reading...

Menunggu Mood? Maaf, Bukan Prinsip Saya!

Oleh Cecep al-Sumatrani

Jangan menunggu mood. Kalimat itu yang sering saya ingat sampai sekarang semenjak saya membaca beberapa artikel yang berkenaan dengan motivasi menulis. Juga hasil beberapa diskusi bersama teman-teman satu komunitas kepenulisan. Memang benar adanya. Dan itu yang saya rasakan selama ini jika ingin memulai menulis.

Mood menulis, hilang sama sekali dalam benak saya. Dalam ketiadaan mood itulah saya manfaatkan untuk terus menulis. Dan menulis terus. Apapun jadinya, saya tak pernah berpikir ini jelek-bagus terlebih dahulu Mau panjang, atau pendek. Bagi saya itu tidak masalah. Yang masalah adalah jika saya tak menulis satu huruf pun. Apapun yang terlintas dalam pikiran, itu saya hantam. Saya tulis.

Saya menulis untuk detik ini, jujur, gak ada mood sama sekali. Awalnya,saya terus berpikir, mau menulis apa,ya? Dari pada berpikir lama dan lama mikir, saya akhirnya menulis apa yang sedang Anda baca ini. Sepertinya, ini yang akan saya tulis. Sebenarnya, sepulang dari kampus, saya melewati lorong-lorong jalan. Yang di kanan-kirinya komplek kos-kos mahasiswa.

Ketika asyik berjalan, saya melihat ada anak-anak sedang berkumpul dan bercengkerama sesama teman-teman sepermainannya. Dari obrolan mereka, saya hanya menangkap satu percakapan mereka. Atau saya sempat mendengar, ada ucapan yang diucapkan oleh salah satu dari mereka. Kalau tidak salah, berarti benar. Yang mengucapkan itu seorang lelaki. Kira-kira, jika ia sekolah, pantaran SD kelas 6.

Lelaki itu, sambil memanggil temannya pula.”Wey! Isuk tempo inbox,nya? Alus sia euy, aya mbah Surif!”. Itu kira-kira yang saya tangkap apa yang diucapkan ketika saya melewati sebuah lorong yang tak jauh dari kampus saya. Saya terus berjalan,meski kaki reot saya terasa ada yang berbunyi. Mungkin, ada yang lepas beberapa baut kaki. Sudah usang nampaknya. Perlu Anlene. He.

Bukan hanya berjalan yang saya lanjutkan, tetapi pikiran saya semakin liar semenjak apa yang telah saya dengar barusan. Apa pasal? Bukan pasal 28 ayat 1 dan 2. Bukan sama sekali. Tapi ada yang membuat saya iri dari obrolan anak-anak kecil tadi. Kok,iri? Boleh,ya iri? Bagi saya pribadi, iri untuk memotivasi sangat diperbolehkan. Bahkan, jika ada yang melarang pun, saya coba pikir-pikir dulu, mengikutinya, atau saya mengkaji terlebih dahulu.

Saking liarnya pikiran saya, sampai ke sana apa yang saya tulis. Yang membuat saya seperti itu, dan membuat saya menulis, adalah anak-anak tadi. Sekali lagi, anak-anak itu yang salah. Hingga, anak-anak itu jadi korban tulisan saya. Mudah-mudahan mereka tidak tahu, ternyata, percakapan mereka ada yang menyadap. Sepertinya, anak-anak itu kurang pengamanan. Mereka, di areanya tidak menggunakan CCTV. Jika mereka memakai, tak mungkin saya capek-capek menuliskannya. Beruntung lah saya, karena dari mereka saya tahu dunia anak-anak, serta apa yang mereka pikirkan dan inginkan. Begitukah Anda?
Tak banyak sebenarnya apa yang ingin saya tulis berkenaan dengan percakapan anak-anak tadi. Eh,sekedar berbagi info dengan Anda. Apakah Anda tahu, bagaimana saya menulis tulisan ini? Saya kira Anda belum tahu, karena memang belum saya beri tahu. Saya menulis tulisan ini, menurut saya sangat enjoy. Seenjoy Anda membaca tulisan ini. Saya menulis, sambil ditemani Hock Guan Rose Cream Biscuits dan lagu-lagu yang sedang booming saat ini. Misalnya, Tak Gendong-nya mbah Surif, KCB-nya Melly, Muhasabah Cinta, dan sesekali mengenang bintang pop dunia yang baru saja dimakamkan. Dimakamkannya pun, katanya, tanpa otak. Atau lagu-lagu yang dikira bisa menyejukkan hati. Apakah lagu-lagu Jacko menyejukkan hati? Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung siapa kita.

Dengan cara seperti itu, yang tadinya menulis itu sebuah beban, kini beban itu berubah menjadi ringan. Bahkan mengasyikkan. Ini pun tidak bisa dinikmati bagi kita yang belum mencoba. Hindari,kata-kata, bahwa menulis itu sulit jika belum menceburkan dalam kubangan menulis. Itu yang saya rasakan. Bila saya merasa bingung apalagi yang ingin saya tulis, saya berhenti sejenak. Sejenak saja. Kalau bisa hindari terlalu lama. Waktu sejenak itu, saya manfaatkan untuk menikmati Rose cream Biscuits. Dua-tiga potong Biscuits tak tersisa. Setelah itu, saya pun tidak tahu, secara ajaib, kata-kata yang ingin saya tulis muncul kembali. Ya, bisa jadi semacam ilham lah. Insyaallah bila kita mencobanya, ia akan mengalir.

Semakin asyik menulis semakin sulit bagi saya mengakhiri tulisan ini. Anda pun semakin sulit memalingkan mata Anda untuk berpindah dari membaca tulisan saya. Dan, sebenarnya, saya pun turut berterimakasih kepada Anda atas bersedianya Anda membaca tulisan saya. Jika kita plasback kepada obrolan anak-anak di muka, ternyata anak-anak lebih peka terhadap perkembangan zaman. Terutama dalam dunia musik. Mereka pasti sangat hafal lagu mbah Surip. Juga mungkin lagu yang lain. Bagaimana tidak hafal, hampir setiap hari, kita, yang mempunyai pesawat televisi pasti akan disuguhi acara musik. Ada Dahsyat, Dering, Inboxs, dan nama yang lain yang menyuguhkan acara live musik.

Saya pun tidak tahu, mengapa anak-anak di zaman saya, mereka kurang menyukai lagu-lagu yang pantas buat mereka. Atau cocoknya, lagu itu buat remaja-dewasa. Tapi anak-anak menyukainya. Itu kira-kira apa yang terlintas dalam benak saya ketika melewati kerumunan anak-anak di komplek kos. Saya juga, pada akhirnya memuji anak-anak itu karena mereka, ternyata lebih tahu apa saja yang sedang hangat di televisi. Saya hanya berdo’a, mudah-mudahan keingintahuan anak-anak itu tidak sebatas acara musik saja. Tapi lebih dari itu yang sekiranya mendukung prestasi akademik di sekolahnya. Perkembangan berita dunia, berita pendidikan, atau bahkan, anak-anak tahu tidak bahwa kita telah melaksanakan pilpres.

Saya tidak menganggap ini sebuah tulisan serius. Begitupun dengan Anda. Ini hanya semacam ekpresi saya ketika saya tidak sedang mood menulis. Namanya juga sedang tidak mood, maka isinya pun tak jauh dari yang saya rasakan. Atau ini hanya sebuah goresan tak bermakna bagi Anda. Tapi bagi saya, ini sebuah anugrah yang tak terkira. Karena saya bisa menulis bebas tanpa terikat oleh apapun. Saya pun yakin, Anda lebih berkompeten dalam dunia yang sedang saya geluti ini. Dalam tulisan ini pun saya membuat kesalahan, saya tidak akan memohon maaf, sebab rasanya lebih berguna bila saya mohon Anda memperbaikinya.
Continue Reading...

My first Dream

Oleh Hasan al-Sumatrani

Tiba-tiba saya bertemu dengan salah satu teman saya. Dia teman satu kuliah. Namanya Ihsan. Perawakannya tinggi kurus serta memakai Kacamata. Teman-teman satu kelasnya sering menyebut si-HTI. Karena memang, Ihsan seorang aktivis Hizbul Attahrir Indonesia, wilayah Bandung. Ia juga aktif di organisasi yang ada di kampus. LSPI kalau tidak salah. Lebih panjangnya, Lembaga Studi politik Islam. Organisasi itu, ideologinya lebih dekat dengan HTI. Yang saya tahu, saya sering membaca selebaran LSPI yang sering ditempel di mading kampus. Isinya, memang tidak jauh dari ajakan pada penegakan syariat islam di Indonesia. Dan sering pula, dalam tulisan-tulisannya, menyebut bahwa, pendidikan kita, pendidikan Indonesia, disebut sebagai, atau menganut sistem kapitalisme. Saya pun sedikit tahu, bahwa mereka, para aktivis HTI itu, terutama dalam pemilu, mereka pasti tidak memilih. Alias golput.

Saya dalam tulisan kali ini bukan hendak menceritakan tentang HTI-nya, tapi saya ingin menceritakan sedikit mimpi tidur saya. Tentunya hanya yang saya ingat saja. Yang tidak teringat, tidak akan saya tulis. Karena kata Ernest Hemingway, beliau seorang cerpenis dunia yang beberapa kali mendapat hadiah Nobel. Tentunya karena karya yang menyelimutinya. Katanya, jika ingin pandai dalam menulis fiksi, maka tulislah mimpi-mimpi kita yang kita alami ketika tidur. Mimpi ketika tidur, adalah dunia imajinasi. Mimpi itu terkadang aneh, tidak nyambung bahkan sering menemukan-menemukan keganjilan.. Itu uniknya mimpi. Jika bisa menuliskannya setiap hari apa yang kita alami ketika mimpi, maka setengah berhasil kita bisa berimajinasi. Untuk selanjutnya, kita menjadi penulis fiksi sejati.

Nah, malam tadi, saya sempat bermimpi. Mimpinya agak aneh. Yang ada dalam mimpi itu, ya dia, Ihsan. Waktu itu, kira-kira agak sore. Langit terlihat berawan hitam dan ditemani rintik hujan. Saya pun agak sedikit basah kuyup. Tepatnya di jalan Manisi, dekat tanjakan kantor kecamatan Cibiru. Saya melihat, tiba-tiba jalan Manisi yang tadinya beraspal hitam, kini menjadi seperti sungai. Awalnya, airnya tidak begitu deras, Biasa saja. Namun, selang beberapa menit, saya sambil ketakutan dan terkejut. Air sungai itu meluap. Persis seperti banjir di Baleendah. Sedangkan di pinggir sungai yang sedang meluap itu, Ihsan dan seorang perempuan sedang asyik bercengkrama. Posisinya, perempuan itu duduk sambil tangannya memegang kakinya. Sedang Ihsan berdiri. Perempuan itu berjilbab. Rambutnya agak sedikit terlihat. Warna jilbabnya kecoklatan. Lusuh. Ihsan memakai baju koko kehitam-hitaman, pake tas hitam pula. Tak lupa, bertengger kacamata khasnya. Dillihat dari samping, mirip seperti artis yang menyanyikan lagu”Terima Kasih Cinta”. Afgan.

Waktu itu, tangan Ihsan melambai tanda menyuruh si perempuan yang ada disampingnya untuk beranjak dari sana. Mengingat, karena mereka sedang berada di pinggir sungai dan airnya semakin tidak menentu. Beberapa menit lagi meluap..Meluber.”Cepat pindah dari sana!” Ujar Ihsan sambil sedikit riweuh. Mendengar panggilan dan ajakan itu, perempuan tadi hanya terdiam dan berujar.”Aku mau tetap di sini saja, tinggalkan aku segera!”.

Ihsan hanya melongo mendengar jawaban seorang perempuan yang tak jelas siapa sebenarnya dia. Selang beberapa detik, kontan saja, air yang tadinya tenang, kini berubah wujud menjadi beringas dan membabi buta ke sekitar rumah penduduk. Setelah itu, tak tahu lagi. Tiba-tiba, berubah ke latar yang berbeda. Di jalan yang tadinya penuh dengan air melimpah, kini, air itu entah kemana. Di jalan beraspal itu hanya meninggalkan tetesan-tetesan air saja ditemani sebuah mobil Truk warna kuning. Lalu, di kanan-kirinya ada sawah yang belum ditanami padi.

Selanjutnya, saya hanya melihat bayangan hitam. Begitulah kira-kira apa yang saya alami ketika berada di alam mimpi kemarin malam. Banyak sekali yang saya lihat dalam mimpi itu, tapi, apalah daya, saya sangat lupa. Benar-benar lupa. Mimpi yang aneh....

My Second Dream

Entah suara dari mana, tiba-tiba saja ada yang berkata,”Nanti, bila SBY menang jadi presiden, yang akan jadi menteri Komunikasi Informasi adalah saudara Rizal Mallarangeng”. Secara spontan juga, ternyata ada yang menimpali kalimat di atas. Yang menimpali atau menjawab itu datang dari salah seorang fungsionaris PKS. Entah siapa namanya. Dari perawakannya, agak gendut, berjenggot agak keputihan, dan sambil senyum. Bertengger di kepalanya peci warna. Tak begitu jelas apa warnanya. Dilihat dari umur, kira-kira 45 tahunan.

Bayangan Rizal pun ada di sekitar itu. Dia tak menampakkan senyum sama sekali. Yang ada hanya memperlihatkan wajah kesinisan. Tak tahu lah. Di tengah kesinisan yang menyelimuti Bung Rizal, fungsionaris PKS tadi langsung mengeluarkan argumen ketidaksetujuan saudara Rizal diangkat menjadi menteri Komunikasi jika SBY jadi presiden. Kata si PKS itu,”Wah..saya tidak setuju bila saudara Rizal diangkat jadi menteri Komunikasi, berbahaya. Liat saja trace recordnya ketika masa-masa kampanye. Banyak sekali ungkapan-ungkapan atau pernyataan beliau yang mengundang kontroversi masyarakat”. Kilah fungsionaris PKS itu.

Setelah kalimat yang begitu panjang diucapkan oleh orang PKS itu rampung, untuk selanjutnya, bayangan Menkominfo yang sekarang pun muncul. Ya, Muhammad Nuh. Dengan senyum khasnya, beliau(M.Nuh) yang juga mantan Rektor ITS(bila tak salah) itu, hanya terdiam dan sedikit menyunggingkan wajah ikhlas.. Memang seperti itu lah keadaannya. Tak ada yang ditambah atau dikurang. Yang ada hanya lupa, apa lagi yang akan diceritakan.

O, iya. Kejadian ini terjadi di dekat jalan OTISTA. Tepatnya pas sekali dekat simpang mau ke masjid Agung Bandung. Tak jelas, siang atau malam kejadiannya. Jam berapa pun, tak diketahui. Yang jelas, tidak sedang hujan.

Ya, masih ingat. Fungsionaris PKS tadi melanjutkan ocehannya. Dengan mengatakan,”Dari pada saudara Rizal yang menjadi menteri Komunikasi-Informasi, mendingan kamu saja,Cep!, Rizal itu orangnya gak bener, gak bisa menjaga lisan. Sama seperti kakaknya!”. Dari kejauhan, tampak si Cep senyum-senyum terkejut. Mungkin karena ada tawaran menjadi menteri. Dan, orang-orang yang ada di sekitar kejadian itu, mereka hanya tertawa.

Tak ada lagi kelanjutan cerita di atas. Yang muncul selanjutnya adalah wajah seorang laki-laki. Laki-laki itu diketahui bernama, wah, panjang sekali namanya. Seandainya saja yang muncul itu bukan teman lama, sungguh tak sudi untuk menuliskannya. Apalagi, namanya terlalu panjang. Bisa-bisa nafas tersenggal bila menyebutnya. Yosso Widiantoro Eko Saputro. Disingkat YWES. Ampun,ya...Allah. Singkatannya saja udah panjang. Yang jelas dia bukan orang Padang, Rejang, Prancis, Arab, Bengkulu. Apalagi Sunda. Sangat jauh. Jauh sekali. Ibarat antara Langit dan Bumi. Entah lah, orang mana dia. Ujung hurufnya”O” semua.

YWES itu teman ketika di Mts Raudhatul Ulum, Sakatiga, OKI, Sumsel. Malah pernah sekamar pula. Setelah tamat dari Raudhatul Ulum, ia tak melanjutkan di sana. Alasannya, ingin menghirup udara kebebasan. Ingin bebas pacaran. Pokonya sebebas namanya yang panjang itu. Kemudian, tak sengaja, bertemu juga di MAN Model. Eh..sempat sekelas pula. Ternyata dunia ini sungguh sempit. Dia lagi, dia lagi. Tapi, tak ada kebosanan bila bertemu dengannya. Ada saja celotehan dan humor yang keluar dari mulutnya. Bila mendengar guyonannya, susah sekali menutup mulut ini. Inginnya tertawa. Mungkin saja itu bagian dari pengusir kepenatan.

Ketika di MAN Model, Eh, MAN Model itu ada di Bengkulu. Di kota lho. Sekolah Favorit warga kota Bengkulu dan warga dari luar Bengkulu. Tepatnya, di jalan Cimanuk. Wah, nama jalannya mirip daerah yang ada di Jawa Barat. Warga Cimanuk, tahu gak, ya arti Cimanuk itu sendiri? Jangan-jangan...udah tahu...he..Ya, ketika di MAN, tepatnya kelas tiga, ada informasi bahwa ada pendaftaran formasi CPNS untuk Pengadilan Negeri Bengkulu. Berbekal info itu, Yosso dan juga teman-teman lain akhirnya mencoba mendaftar untuk jadi PNS.

Persyaratan pun dipersiapkan. Mulai dari foto, ijazah terakhir, Kartu Kuning, SKCK, Kartu Keluarga, dan lain-lain yang dianggap perlu.. Ijazah terakhir?? Dia kan belum lulus dari MAN Model? UAS saja belum. Lulus atau tidaknya pun belum diketahui. Apalagi, waktu itu, standar nilai harus 3,00. Kurang dari itu, terpaksa harus ada pendalaman materi lagi. Tapi ternyata, dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendaftar di Pengadilan Negeri Bengkulu, minimal berijazah SMP,SMA atau yang sederajat.

Dengan memberanikan diri, Yosso, tentunya berkat dukungan orang tua dan teman-teman sekelas, akhirnya memakai ijazah Mts Raudhatul Ulum. Setelah semua persyaratan mencapai sedikit 100%, berangkatlah ia bersama teman-teman yang lain yang juga ikut mendaftar. Dag-dig-dug jantung mereka berdetak. Keringat pun ikut membanjiri tubuh-tubuh mereka. Sesekali mengusap dahi. Tapi, air asin itu tak kunjung berhenti. Terus mengalir. Hawa Bengkulu memang panas. Tak beda jauh dengan karakter orangnya. Keras suaranya. Lembut hatinya.

Jika tak salah, hari itu, Senin tahun 2006. YWES serta rekan-rekan lain mulai mengikuti tes tertulis di sebuah gedung besar. Gedung terbesar di provinsi Bengkulu. Mungkin. Balai Buntar namanya. Gedung itu dekat sekali dengan sekolah MAN Model. Cukup 7 menit dengan marathon. Wah, di dalam gedung itu bertumpuk ribuan orang yang sedang mencari peruntungan menjadi PNS. Dari berbagai daerah. Bukan hanya dari Bengkulu. Tapi dari luar Bengkulu. Dari berbagai suku, ras, mungkin etnis. Ada yang tampan, sedikit tampan, kurang tampan, cukup tampan, boleh lah tampan, mirip-mirip tampan, dan juga tak ada sebutan “tampan” sama sekali.

Ada yang cantik, seperti cantik, kelihatan cantik, gak ah gak cantik, ayu, manis, hitam-manis, hitam-hitam. Ah, pokoknya warna-warni. Ih....Untung saja, saudara Yosso dan teman yang lain termasuk”mirip-mirip tampan”. Sehingga, banyak dari sebagian peserta yang lain mendekatinya. Tujuannya, tidak lain hanya untuk sekedar bertanya dan meminta.”Nanti, kalau sudah mulai mengerjakan soal, jangan lupa,ya kasih tahu kami,”. Ujar mereka yang mendekati YWES.

Kira-kira sebulan kemudian, pengumuman hasil tes PNS di Pengadilan Negeri Bengkulu pun diumumkan melalui koran kebanggan masyarakat Bengkulu. Ya, melalui harian”Rakyat-Bengkulu”. Di sana terpampang nama-nama yang lulus, berikut nomor ujiannya. Kontan saja, ketika YWES baru saja kering dari berdzikirnya, karena memang lima menit yang lalu sudah salat Dhuha di masjid sekolah. Biasa, ritual yang rutin dilakukan oleh anak-anak MAN Model, terutama kelas 3 bila mendekati UAN. Pak ustad itu (YWES) pun terkejut dengan kabar yang diberitahu oleh salah satu teman..Hasan.”Yos, namo kau ado di koran”RB”. Tapi idak tahu, lulus apo idak, kau tengok ajo di ruang BP”. Ujar Hasan yang kentara sekali bahasa Bengkulunya.

Antara percaya tidak percaya, kini menyelimuti pikiran Yosso. Terus berkecamuk. Hatinya pun tak menentu. Tangannya ikut bergetar. Bicaranya tak lagi jelas.. Gugup yang ada. Ketika ingin memasang sepatu saja, di pintu masjid, eh...lupa, masjid MAN Model tak berpintu dan tak berjendela. Hampir saja salah masuk. Sepatu kiri dimasukkan ke kaki kanan, dan sepatu kanan, dimasukkan ke kaki kiri. Wah, busyet dah.”Ayo, san, antar ambo ke ruang BP. Malu ambo sendiri,”. Begitu kata YWES kepada Hasan. Nampak juga sedikit logat Jawanya.

“Eh, Yosso, selamat,ya, kamu lulus. Beruntung kamu, teman-teman yang lain belum berkesempatan lulus, mungkin nanti lah.” Kata ibu guru bahasa Indonesia itu.”Itu na, tengok di koran tu, cocok dak kek namo kau dan nomor ujiannyo” Ibu itu menambahkan. Dengan sedikit agak malu-malu dan disertai senyum merekah, akhirnya, Yosso pun buka mulut. “Ya, Bu, makasih,” Sambil koran yang di atas Meja itu dilahapnya. Setelah mencocokkan, menimbang, mencermati dan seterusnya, selanjutnya, Yosso dinyatakan LULUS! Kegembiraan pun kembali menyeruak dalam hati pribadi YWES. Ternyata, berguna juga ijazah pesantren. Kirain tak berguna. Makasih Tuhan, makasih Raudhatul Ulum, makasih orang tua, makasih guru-guru MAN Model, dan juga tak lupa, makasih teman-teman semua. Terutama sekali,makasih kepada pihak Pengadilan Negeri Bengkulu yang telah sempat meluluskannya. Karena memang, dari 400 orang yang mendaftar di PN Bengkulu, hanya diterima 10 orang. Termasuk yang mempunyai nama terpanjang di MAN itu.

Semuanya kembali menghitam. Tak terlihat. Kabur entah kemana. Rizal Mallarangeng, fungsionaris PKS, M.Nuh, jalan OTISTA, Yosso widiantoro Eko Saputro, serta MAN Model. Semuanya ter-delet oleh suara-suara mengaji di sekitar kos. Beberapa menit kemudian, sayup kumandang adzan masuk telinga kanan, dan keluar lagi melalui telinga kiri. Tapi, bangun juga.
Continue Reading...

Selasa, 30 Juni 2009

Saya Pun Tak Tahu Judulnya

Oleh : Hasan el-Sumatrani

Saya sedang dilanda malas untuk berbuat sesuatu. Apalagi menulis. Entah apa yang terjadi pada saya saat ini. Kenapa jiwa ini terasa hampa dan sepi untuk melakukan apa saja. Termasuk menuangkan ide. Tak ada semangat sedikit pun yang saya rasakan sekarang. Yang ada, pikiran terus melayang, itu pun sangat bebas, entah kemana. Hidup ini terasa sendiri. Tak ada apa-apa, kecuali saya seorang diri. Di tengah kesendirian dan kehampaan hidup, saya mencoba menghidupkan komputer. Setelah hidup, beginilah akhirnya. Rasa kekesalan pada hidup, saya tumpahkan begitu saja pada komputer ini.

Saya malas berpikir untuk menulis apa. Otak saya tidak mau terkekang oleh pikiran-pikiran bagaimana menulis berbobot. Yang ada di dalam otak saya hanyalah ingin menulis apapun. Meski saat ini, saya sedang mengidap suatu penyakit yang berbahaya. Sangat berbahaya jika tidak diobati. Malas yang sedang saya idap sekarang. Penyakit yang membuat orang semua di dunia ini mati. Ya keduanya akan mati perlahan. Baik itu fisik atau rohani.

Untuk selanjutnya, saya pun kembali bingung dengan apa yang akan saya tulis berikutnya. Apa lagi, ya? Hai..ide datang lah padaku! Tak muncul-muncul. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Mematikan komputerkah? Atau terus menulis? Batin saya mengatakan,”Lanjutkan menulisnya!!” Apa yang akan saya tulis? Aduh…saya telah kehabisan amunisi. Tapi biarlah, saya akan gunakan amunisai yang tersisa. Beginilah keadaan saya ketika dilanda malas. Malas sangat membuat saya menjadi malas untuk berbuat sesuatu. Kecuali, komputer ini saya lakukan dengan tidak semena-mena. Saya mencoba memperkosanya, hingga lahirlah deretan anak-anak saya. Meski lahir dengan prematur. Itu sangat lah wajar, karena saya melakukannya bukan dengan jalan halal. Dengan pemaksaan. Biasanya, jika yang namanya pemaksaan, akan merasa sakit dari kedua pihak.

Meskipun saya merasa sakit ketika memperkosa, tapi saya semakin asyik melakukannya. Terkadang lelah, lemas ,juga menghampiri saya saat itu. Keringat pun tak luput dari muka saya. Ketika mencapai puncak, semangat saya menurun, bahkan tak keluar sedikit pun. Susah memang, namanya juga memaksa. Memaksa untuk segera keluar. Jika tak seperti ini, kapan saya akan mengeluarkan. Biasanya, setelah saya melakukan hajat saya, saya merasa senang dan tak ada lagi beban. Anehnya, saya tak pernah memikirkan akibat yang telah saya lakukan. Apakah berakibat buruk atau sebaliknya. Tak pernah sama sekali. Buat saya, memikirkan apa yang telah saya perbuat adalah semakin membuat saya malas berbuat sesuatu.Bisa jadi, saya pun akan kehilangan semangat. Yang lebih parah, saya bisa saja bunuh diri.

Sekali lagi saya tegaskan. Saya tak pernah menyesal dengan apa yang telah saya lakukan. Memperkosa sekalipun. Sebagai informasi, bahwa saya sudah memperkosa berkali-kali. Tempatnya pun bervariasi. Di antara tempat yang sering saya gunakan sebagai pelampiasan nafsu saya adalah; Masjid Iqomah, Perpustakaan, Kos, Sekre, Rumah, dan tempat-tempat sepi yang jarang dilalui banyak orang. Hari ini pun saya kembali melakukan pemerkosaan. Entah keberapa kalinya. Tak terhitung. Mungkin ini yang disebut sebagai “ketagihan”. Tapi saya merasa belum puas dengan apa yang saya lakukan. Yang saya lakukan selama ini hanya sebatas memasukkan, tanpa mengeluarkan. Saya ingin sekali sampai penetrasi. Tapi, nampaknya belum sampai di situ. Mungkin saya harus lebih agresif, dan terus memasukkan.

Terkadang saya pun kurang untuk bersabar. Padahal, sekian banyak buku tentang teknik memperkosa telah habis saya baca. Bahkan saya hafal. Namun, hasilnya masih belum signifikan. Harus apa saya? Haruskah saya berhenti memperkosa?

“Tiada yang lain”. Tiba-tiba, secara mengejutkan, saya teringat kata itu. Kata itu adalah sepotong larik lagu dari”Tirai”. Tirai adalah nama sebuah Band religi besutan salah satu aktivis IMM komisariat UIN Bandung. Sungguh, dengan kata itu, saya kemudian langsung terinspirasi untuk melanjutkan sebuah misi suci. Misi suci itu tiada lain adalah melanjutkan apa yang selama ini saya lakukan. Memperkosa. Sampai menyebabkan hamil.

Saya pun tidak tahu lagi apa yang akan saya tulis selanjutnya. Mungkinkah saya telah puas? Sudah sampaikah saya penetrasi? Entah lah. Apapun yang akan melintas di otak saya, saya akan langsung menuliskannya. Sekali lagi. Tentang hal apapun. Dan sepulgar apapun. Pokoknya, bebas. Seperti kebebasan seekor Burung yang baru lepas dari kandang buatan manusia. Juga sebebas berpikir mas Ulil Absar Abdala. Begitulah saya menulis untuk saat ini, dan saat-saat selanjutnya. Do’akan saja.

Saya memperkosa dengan cara saya. Mau dari arah mana saja. Itu pun terserah saya. Bebas. Saya ingin kebebasan. Karena saya yang melakukan. Karena saya yang merasakan. Adapun Anda, sebagai pembaca, tak ada tugas sama sekali. Selain membaca dari awal tulisan saya sampai akhir. Mengenai penilaian baik-buruk, kurang ini-itu, sebaiknya begini-begitu, dan hal lain yang mengganjal Anda. Itu semua hanya boleh disampaikan ketika saya bertemu Anda langsung. Dan bukan di dunia cyiber. Bagi saya, berkomunikasi di dunia maya bukanlah jalan satu-satunya. Apalagi seperti sekarang, mendekati bulan tua.

Kok, jadi kesana, ya..? O iya kan bebas. Sebebas air mengalir. Jika ada kelokan, air yang berpuluh-puluh kubik itu pun ikut berbelok. Air tak pernah membantah. Kecuali sang Maha pembantah akan membantahnya. Juga sebebas Imam Samudra cs menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama ayat-ayat mengenai jihad. Sebenarnya tak ada sama sekali hubungannya Imam samudra dengan tulisan saya. Tidak sama sekali. Tapi karena yang melintas dalam otak saya Imam samudra, apa boleh buat. Saya harus menuliskannya. Minimal, keluarga Imam Samudra merasa senang dengan Ia ditulis oleh saya. Meskipun, katanya, Imam samudra sudah terkena Timah panas-nya tim Brimob. Terlepas, Ia masuk Surga atau Neraka saya kurang tahu. Bukan kurang tahu, tapi memang saya tidak tahu. Itu urusan Tuhan saya, dan mungkin juga Tuhan Anda. Atau lagi-lagi, mungkin Anda tidak punya Tuhan?

Aduh, ternyata tak sulit menulis bebas. Mau jadi apa tulisan saya, itu terserah. Artikel, esei, cerpen, curhat, memoar, biografi, refleksi.. Sekali lagi saya tidak tahu. Yang jelas, tulisan saya ini bukan Puisi. Bila saja ada yang mengatakan tulisan saya ini sebuah puisi atau kumpulan puisi, maka orang itu wajib hukumnya bertemu dengan saya. Kita silaturahmi. Dan, berujung dengan saling tukar nomor Hp, juga saling memberikan masukan tentang tulisan saya.

Sudah saya katakan sebelumnya, bahwa saya ini sedang menulis bebas. Boleh dikatakan, saya ini menulis dengan tidak taat pada aturan menulis. Atau sebutan yang lebih exstrim buat saya sekarang adalah saya sedang melakukan pelanggaran kelas berat dalam dunia tulis-menulis. Itu hanya sebuah kemungkinan dari saya yang tidak tahu aturan menulis. Tapi, kata”enjoy” adalah pas buat saya. Saya juga belum tahu, apakah ada orang yang sama dengan saya. Mereka menulis bebas seperti saya. Saya kira ada. Jika tidak ada, tak mungkin para penulis hebat itu kini melanglang buana di jagat ini. Karena menulis bebaslah, mereka mendapat kebebasan.

Saking bebasnya, mereka sangat terkenal. Namanya harum di seantero dunia. Ya, terkenal dengan tulisan bebasnya. Terkenal dengan karyanya. Mereka juga sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Karyanya juga dinilai membebaskan umat menusia dari berbagai keterpurukan. Karyanya menggugah jiwa serta pikiran pembaca. Karya seperti inilah yang mungkin sangat diharapkan oleh umat dunia.

Jangan salahkan saya, saya mohon sekali lagi. Saya hanya mencoba menuliskan apa yang terlintas di dalam otak saya. Apa adanya. Mungkin, untuk saat ini, itulah kira-kira isi otak saya. Hanya sedikit. Sebenarnya masih banyak, tak terhitung. Tapi, mereka masih bersembunyi, masih enggan keluar. Mungkin juga masih segan dan malu. Suatu saat, saya percaya, mereka akan keluar semuanya. Semoga.
Continue Reading...

Lelaki Itu

Cerpen Reza Sukma Nugraha

Aku mengaguminya. Sewaktu shubuh, ia menjadi imam. Lantunan Fatihah beserta potongan ayat-ayat Ilahiah terdengar begitu meluluhkan hati yang mendengarkannya. Setiap yang mendengakannya? Aku tak tahu, yang jelas itu yang kurasa.
Setelah itu, ia membalikkan badan kepada para jamaah. Sekilas pandangku tertuju pada mata teduhnya, namun lekas kualihkan kedua indera penglihatanku ini. Kita semua duduk, mendengarkan tausiahnya dengan seksama.

Aku mengaguminya. Kalimat mayor yang selalu terbesit dalam hati sejak ia menjadi imam, kala itu.

♥♥♥

Aku memulai kuliah. Akhirnya Masa Orientasi Mahasiswa baru yang digelar Himpunan Mahasiswa selama sepekan lalu berakhir sudah. Aku senang. Tak ada lagi caci maki para senior. Tak ada lagi hukuman sportif, edukatif, atau rekreatif lagi. Sepekan lamanya, aku tak membantu ibu membuat kue dagangan. Sekarang aku kembali membantunya.

Namun, mungkin aku tak kan memasang telinga untuk mendengar dendang firman Allah dilantunkannya. Suara jernih yang selalu tersimpan dalam memori. Selaras dengan teduh parasnya yang bercahaya.

Masya Allah! Aku kembali terlena.

Mulanya kusimpan hal ini dalam hati. Terkunci rapat. Tak kan ada seorang pun yang akan kubagi cerita indah ini. Namun ku terlanjur bercerita pada Lili, teman baikku. Kurasa ia berhak tahu. Bahkan, sekarang kusadari ia wajib tahu hal ini. Karena sesungguhnya ku tak mau terlena dengan cerita penuh kemasyhuran dan kesenangan batin ini. Apa ini? Mengapa ku begini?
Aku mengaguminya. Kuulang kalimat itu pada Lili.

“Itulah pandangan pertama,” Lili berkata pendek. Kita duduk di pelataran mesjid kampus. Kumenengadah. Langit begitu cerah, batinku. Secerah hatiku. Namun sebetulnya aku gundah!
Ya. Memang Lili benar. Itu akibat pandangan pertamaku. Pandangan pertama memang diakui orang sebagai sesuatu yang menggoda, sarat keindahan dan ketakjuban akan yang dipandang.
Segera kutepis. Senyumku tiba-tiba datar. Memang benar pandangan pertama itu begitu menggoda, melenakan bahkan. Dan, kuakui itu adalah bagianku, hakku, milikku, atau mungkin rezekiku. Sepert yang dikatakan Rasulullah pada sahabat Ali bin Abi Thalib. Namun beliau mengatakan, bahwa pandangan berikutnya justru mencelakakan. Persisnya perkataan beliau, seperti pernah diungkapkan ustadzah Fatimah sewaktu ta’lim.

“Wahai Ali, jangan engkau susul pandangan pertamamu dengan pandangan yang lain, sebab pandangan pertama menjadi bagianmu sedangkan pandagan kedua dan seterusnya justru mencelakaknmu.”

Ahh…

“Nay,” Lili memecahkan fikiranku. Astaghfirullah, aku telah mengabaikan Lili yang semenjak tadi duduk di sebelahku.

“Sebaiknya kamu bilang aja sama dia terus terang.”

Aku memerhatikan ucapan Lili. Aku terdiam. Aku bukanlah orang yang pandai mengomentari ucapan orang. Jadi aku hanya diam. Sesekali aku hanya memberikan senyum pada Lili. Ingin sekali kubertanya, meminta pendapat lain, mengomentari pendapatnya, atau apa saja agar perbincangan ini tidak kaku, kosong, atau dingin, bahkan hambar tanpa interaksi yang hidup. Namun sekali lagi aku tak bisa. Mungkin Lili pun memahami watakku.

“Aku mengagumimu,” kalimat terpendek yang kukatakan waktu itu. Namun kukatakan dengan berjuta ton pemberat di bibir ini. Bahkan keringat tak sadar basah di berbnagai anggota badan. Namun setumpuk beban di dada baru saja musnah.

Di pelataran rumah Allah yang megah ini, kududuk bersebelahan dengan Lili. Sekira beberapa sentimeter, mungkin satu meter, duduk sesosok yang selalu buat malamku semakin berbintang, pagiku bersinar hangat, yang selalu merasuk menjadi buluh perindu dalam hari-hariku.
Ia hanya tersenyum, ketika sekilas kupandang. Hanya sekedar melihat ekspresinya, ketika begitu lancang seorang wanita yang semestinya begitu menjaga hatinya dari ucapan-ucapan yang semestinya tak ia ucapkan. Aku tak peduli.

Begitu panjang proses untuk akhirnya kuberkata seperti itu. Lagipula aku hanya berkata bahwa kumengaguminya. Apa ku salah?

“Tidak!” tepis Ridwan kala itu. Salah seorang teman baikku juga. Ia terlanjur tahu –entah dari mana—dan kuberanikan meminta pendapatnya. Ia dikenal dengan pendapat-pendapatnya yang brilian, cara fikirnya yang sistematis, tentunya dengan “wejangan-wejangan” yang bijak disertai solusi yang jitu. Walau ku harus maklumi, pendapatnya terlalu “gaul” dan mungkin kurang sesuai denganku. Ya, karena dia.... Ups, aku tak mau jadi ghibah.

“Bahkan lebih dari itu, lebih dari bilang sekedar kagum, kamu berhak, Nayla! Sekarang ini cewek nggak harus jaim tuk sekedar menyatakan maksud hati. Kalau terus kita diam, kapan si cowok tahu kalo kita suka sama dia. Nanti yang ada, kita sengsara.” Aku hanya tersenyum, menyimak pendapatnya. “Udah, sekarang beraniin aja bilang, aku yakin dia bukan tipe cowok yang akan menilai kamu yang enggak-enggak. Percaya deh!”

Kita memang satu jurusan, bahkan sekelas. Bisa jadi Ridwan lebih mengetahuinya daripada aku, karena mereka sama-sama lelaki. Sedang aku, hanya gadis pemalu yang tidak perlu mencari tahu tentang kesehariannya, seperti wanita lain yang sedang berburu idamannya, bahkan terkadang wanita itu harus mengorek-orek kesana-kemari tentang kehidupan pribadi idolanya dari teman atau kerabatnya..

♥♥♥

Sebuah SMS. Kubaca,

Maaf, tadi tidak sempat jawab.

Kubalas,

Tidak apa-apa. Malam begini, gi ngapain?

Baru selesai pengajian. Kamu sendiri, gi ngapain?

Lagi bantu ibu buat kue.

Ku balas tanpa pertanyaan. Aku bingung.

Nay, sebetulnya aku juga mengagumimu. Aku menyukaimu.

Sebuah senyum melebar di wajahku. Namun aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kuucapkan.

Aku memang mengatakan apa yang selalu mengganjal di ulu hati. Aku mengaguminya. Itu saja. Aku tak mengaharapkan jawaban, karena sebetulnya ku tak bertanya. Tapi ia berkata hal yang sama. Aku juga mengagumimu, kemudian, aku menyukaimu. Aku tak percaya apa yang ia ucapkan. Apa maksudnya? Apa ini…

Ya. Ini cinta. Yang semua orang punya. Perasaan dalam hati manusia yang telah lahir semenjak manusia lahir. Yang menurut Kahlil Gibran, keindahan sejati. Yang selalu dijadikan tema dalam setiap film, lagu, dan novel. Yang membuat dua insan bergandengan tangan, berduaan, bermesraan, walau tanpa ada ikatan yang syah…

Tiba-tiba saja aku bergidik.

Tapi ia bilang suka?

Apa ia memang memiliki perasaan cinta padaku?

Aku sendiri tak memahami diriku. Apa rasa kagumku hanya sebuah kiasan belaka. Padahal aku sendiri terjerumus pandangan yang membuat dampak seperti ini.

Aku tahu cinta itu kewajaran. Itu fitrah manusia. Kembali teringat perkataan ustadzah Fatimah, “Tak mungkin seseorang menghindar dari rasa cinta, kecuali orang itu keras hatinya, kurang waras alias gila.” Berarti aku memang merasakan cinta dan tak mungkin menghindar dari cinta.

♥♥♥

“Ly, aku nyesel dah bilang terus terang,” aku tiba-tiba mengadu pada Lili, siang itu.

“Kenapa nyesel?”

“Aku malu, masa wanita berani-beraninya…”

Lili memotong ucapanku, “Nay, daripada kamu terus-terusan dibebani perasaan, kan?”

“Nggak, pokoknya aku harus meluruskannya.”

“Meluruskan apa, Nay?” kata Lili sembari merapikan kerudungnya.

“Aku harus bilang, bahwa aku hanya mengaguminya, gak lebih,” kataku tenang.

“Kamu jangan bohongi perasaanmu, Nay!” kembali Lili menatapku tajam. Kuterdiam. Aku tak tahu harus bicara apa lagi.

Sebelumnya aku tunjukan sms darinya pada Lili. Memang semalam aku merenungkannya. Aku tak mau terus-terusan dirundung rasa yang begitu menggebu.

Tiba-tiba saja, malam itu, kuingin menepis rasa manis yang bersemayam di hati saat ini. Ku harus menghijab hati. Lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi Cinta.

“Sudahlah, jalani saja!” Tiba-tiba Lili membubarkan lamunanku. Seperti biasa, ku hanya diam dan tersenyum. Senyum yang menyembunyikan rumitnya permasalahan batin ini.

Ridwan muncul di depan kita. Ia mendekati kita. Awalnya ku malu melanjutkan pembicaraan dengan Lili. Namun tak ada salahnya Ridwan ikut berpartisipasi dalam kegelisahanku, ya, untuk dapat pemecahannya. Mudah-mudahan. Kita bertiga berdiskusi seperti merundingkan suatu perkara yang teramat penting. Padahal kurasa ini bukanlah hal yang penting. Sangat tidak penting, bahkan!

♥♥♥

“Ya, aku lumayan pusing juga sih,” ucp Ridwan saat mendengar keluhanku. Ia menghela nafas panjang. “Takutnya, pendapatku gak sesuai yang kamu inginkan. Aku gak bisa ngasih solusi yang gimana gitu…”

Aku mengerti apa yang ia ucapkan. Ia mungkin canggung denganku. Ia mungkin takut kalau solusinya –lagi-lagi—gak terlalu religius. Padahal kan tidak semestinya begitu. Toh aku ini wanita biasa-biasa saja, sama seperti teman yang lain. Hanya saja, sebutan sebagian teman, yakni “akhwat,” kadang membuatku malu karena membuat mereka, apalagi laki-laki –seperti Ridwan—menjadi terlihat canggung.

“Nay, yang saya tahu cinta itu rahmat dari Allah. Maka beruntung Nay bisa merasakannya.”
Aku dan Lili hanya diam memerhatikan Ridwan. Sebetulnya aku ingin tertawa geli , apakah Ridwan menyadari ucapannya begitu “dalam” dan islami.

“Nay mungkin lebih tahu ayat-ayat Al-Quran mengenai ini, seperti Ali Imron 14 atau At-Taubah 24, dan yang lainnya.”

Kulihat Lili tersenyum. Pasti yang ia rasakan sama denganku, terpukau mendengar Ridwan berbicara dalil, walau hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya. Padahal kuyakin, ia hafal bunyinya.

“Jadi mengingat rasa cinta itu datang dan diciptakan oleh Allah, mengapa harus kita sia-siakan, harus kita tepis, atau bahkan kita bunuh? Yang harus kita lakukan sekarang hanyalah membangun cinta itu dengan iman. Karena iman yang akan mengingatkan kita, bila ada yang terlarang akan kita lakukan!”

Hening sejenak. Tak satupun diantara kita yang berbicara.

“Tapi aku gak begitu, kamu salah duga,” aku terpaksa bicara.

“Salah duga bagaimana?” Tanya Ridwan serius.

“Aku sebetulnya ngaak…,” aku ragu mengucapkannya.

“Gak cinta?” Sambung Ridwan cepat. “Sudahlah, Nay. Kamu jangan memungkiri hati kamu sendiri..”

Aku kembali terdiam. Lili pun begitu.

“Rasa kagum itu hanya di mulut saja. Ketika kamu bicara berdua, eh bertiga, dengannya, kamu gugup. Di kelas bertanya atau menyapa, malu. Nay, kamu kan tahu, menurut imam Syafi’i, kalau perkataaan yang runtut menjadi kacau dan rahasia tersembunyi menjadi mencuat, itulah cinta!”
Lagi-lagi ku tak menduga dengan pendapat Ridwan. Anak gaul yang juga anak band ini begitu bijak bahkan bernuansa islami sekali. Bila ku berani, inginku acungkan dua jempol untuknya.

“Tapi kan gak ada konsep pacaran dalam Islam?” Aku bingung harus bilang apa lagi.

Kutanyakan hal ini saja. Entah apa yang akan Ridwan katakan.

“Aku gak nyuruh kamu pacaran, kok. Tadi aku udah bilang, kalau cinta dilandasi iman, maka yang terlarang akan urung dilakukan, termasuk pacaran. Cinta yang begitu indah akan ternoda bila tidak dilandasi hal itu.”

Pebincangan ini seperti milikku dengan Ridwan saja. Kulirik Lili yang dari tadi tak bergeming menatap Ridwan. Apa Lili masih terpana melihat Ridwan yang sungguh di luar dugaan.
“Jadi, gimana? Aku gak ngerti maksud kamu..”

“Pacaranlah! Buat sebuah kemesraan percintaan. Tumpahkan rasa kagum itu padanya. Sandarkan hati dalam ketenangan iwa bersamanya, tentunya dalam sebuah ikatan yang halal!”
Aku terperanjat.. Ikatan halal? Maksudnya, aku harus…

“Ah, yang jelas aku gak mungkin ngelakuin itu. Wan, aku ingin melupakannya!”

“Kenapa tak mungkin?” Kita bukan lagi anak SMP atau SMA. Menikah itu mungkin-mungkin saja. Tapi ya… kalau kamu tetap ingin melupakannya, tak ada cara lain. Jangan curhat padaku, tapi curhatlah pada Yang Maha Mendengar. Serahkan semuanya pada Maha Pemberi Cinta.
Dalam shalat malam, teruslah meminta petunujuk dari-Nya agar kamu dapat segera menyelesaikan hal ini.”

Sebuah tepuk tangan. Lili yang dari tadi diam menghentak tepuk tangan.

“Uhhh… pak Ustadz, keren banget tausiahnya!” pujinya pada Ridwan. Ridan tersenyum geer.
Aku diam, diam, dan diam. Namun sebetulnya kumerenungkan kata-kata Ridwan. Apakah sudah buntu jalan dari manusia sehingga ku harus mengembalikan semuanya pada Allah.
“Nay, sudah hampir Ashar, kita ke mesjid sekarang!” Lili melirik jam, ia mengajakku ke mesjid sekarang. Kita berdiri bergegas.

“Oh ya, Nay. Kalau kamu ngerasa belum mampu. Tenang saja! Kamu tahu kan bagaimana firman Allah dalam An-Nur 33?”

Aku tersenyum mengangguk. Lili menepuk bahu Ridwan. “Uhh… aku semakin terharu,” ucapnya sambil tertawa.

Aku segera pergi ke mesjid bersama Lili. Tak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada Ridwan..

♥♥♥

Malam ini sulit mata terpejam. Kumerenungkan semua ucapan teman-teman, Lili dan Ridwan.
Aku mengaguminya. Selalu terbesit dalam angan, kalimat itu. Apa jalan terbaik dari semua ini adalah apa yang diucapkan Ridwan tadi?

Menikah. Aku bukan tak mau. Mustahil, bila aku tak mau. Aku tetap akan menjalankan apa yang dilakukan Rasulullah sebagai sunnahnya. Karena ku tak bisa menjadi Rabiah Al-Adawiyah, yang begitu cinta pada Sang Khaliq, sehingga menolak lamaran Abdul Wahid bin Zaid, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi, sampai yang terkenal, Hasan Basri.

Tetapi permasalahnnya, apakah lelaki itu mau?

Teringat ucapan Lili sehabis Ashar tadi.

“Ia santri. Ia begitu sholeh dan tawadhu. Ia juga pintar. Yang jelas ia pantas bagimu. Apa yang kamu mau, pasti ia mau. Apa yang kamu tak mau, ia pun pasti tak mau.”

Ahhh. Mengapa kegundahanku melebar hingga berujung pada menikah. Namun ku harus memerhatikan ucapan terakhir Ridwan bahwa ku harus menyerahkan semua pada Sang Maha Pemilik Cinta, Pemberi Rahmat dan Fitrah.

Segarnya tetesan air suci membasahi semua anggota wudhu. Kuambil mukena, dan kuhamparkan tempatku bersujud tuk mengahadap Keindahan Tiada Tara. Akan kupanjatkan beribu puji kepada-Nya, karena hanya Dia yang patut dipuji.

Dan kepada lelaki itu, aku mengaguminya. Hanya mengaguminya.

Continue Reading...

Lelaki yang Menangis

Cerpen Reza Sukma Nugraha

Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu suatu saat. Retoris.

Berapa tetes air mata yang kau buang dan kau perlihatkan padaku. Ragamu jantan. Namun hatimu sungguh betina. Nyalimu nol, sahabatku. Selalu kau ukir kesedihan pada dirimu. Dan selalu saja telingaku yang menyambut.

Berapa detik terbuang hanya untuk merintih. Meraung dalam gulita. Memaki-makiku dengan sinisme, bahkan sadisme. Tubuhku bosan kau pukuli. Di satu tangan, kau berpangku. Namun tangan lain kau ikat dan kau belenggu.

Suatu purnama, matamu basah. Dadaku yang telanjang basah pula. Kau susut ingusmu dan tentu air matamu. Tiba-tiba saja kau berbisik lembut, “Maafkan aku.” Suaramu lembut, wahai sahabat lelakiku.

***

Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu di bawah gerhana bulan total.

Kali ini orang bertakbir pada Allah. Saling bersahutan. Gema suramu jatuh di kedua teliungaku. Kaukucurkan air mata kepedihan. Sehingga kau tanyakan, Tuhan dimana?

Kau tak sadar, Dia memandang, betapa kautak karuan. Rambutmu kusut karenasemilir angin malam itu. Malam gerhana bulan total. Tuhan dimana? Tanyamu sambil menengadah. Kutampar wajahmu yang manis. Kaumenunduk dan beristigfar. Menarik lengan kananku dan kauusap air matamu dengannya.

Tuhan itu dimana-mana, sahabat sejati. Ketika terasa tak ada, kauberkoar-koar bertanya dimana Dia? SEdang saat Nampak jelas Tuhan di atas pelupuk matamu, kau terkadang pura-pura tak tahu. Kau buta.

Lalu kau tidur terlentang. Matamu tak urung menutup. Biar mataku saja yang menutup. Namun kaubalas menamparku. Hingga mataku melotot hamper terlepas. Setetes, jatuh tepat di atas kelopak mataku saat kuterpejam. Kepalamu sepuluh sentimeter di atas kepalaku. Ludahi saja, aku! Daripada kulihat engkau menangis.

***

Apa lelaki boleh menangis? Tanyamu saat sayup-sayup azan Subuh memanggil.

Aku diam saja tak peduli. Lalu kaumenangis, kau ambil sebuah kertas. Diperlihatkannya padaku. Sebuah silet kau bungkus dengan kertas kuning itu. Dilipat apik.

Katakan padaku, sahabat setiaku.

Tak usah pergi membawa amarah. Setan akan terbahak-bahak. Padahal kau kan penakut. Jangankan setan, pada kucing pun kau menjerit. Jadi kembalilah. Buka bajumu. Kusiram dengan air dari sumur keikhlasan. Biar wajahmu yang semakin hari kian menggelap, kubasuh lembut dan perlahan. Duduklah, kuceboki dan kugosok gerahammu.

Namun kau malah lari. Lari dariku. Lari dari kenyataan. Kau pengecut.. Berarti kaubukan seorang yang shaleh. Doa-doa yang kauumbar tak berbuah hasil. Kasihan. Sepertinya Tuhan tak sayang.

Berhenti! Teriakku. Kausengaja pamerkan siletmu. “Biar kusayat-sayat nadiku,” ujarmu sambil melelehakn air mata. Bodoh, sahabat. “Kau tak punya hati,” tuduhmu. Padahal kupunya hati, kalau tak ada hati, apa yang akan menetralkan racun di tubuhku?

Dan, kupunya kalbu. Karenanya, kumasih bias ungkapkan kelebihan dan kekuranganmu. Tak usah bertanya, dimana kalbu itu. Karena itu ibarat kaumenanyaklan Tuhan yang dulu selalu kau tanyakan. Pulanglah dan buang silet itu.

Biar aku yang menyayat nadimu dengan tanganku sendiri. Agar namapk pancaran darahmu. Merah dan memuncrat. Akan kusedot darahmu, dan kucium pipimu sebelum darah itu habis. Lalu ucapkanlah laa ilaaha illallah. Lama-lama ucapkan Allah saja. Aku khawatir nafasmu terhenti ketika kau baru berrkata sampai laa ilaaha yang artinya Tuhan tak ada.

Akhirnya kaukembali berandar padaku.

Kupapah dirimu. Kurebahkan badanmu yang tegap dan kulitnya bersih sawo matang. Kau menangis lagi! “Sudahlah,” saranku seadanya. Tangismu malah menjadi-jadi, wahai lelaki.

***

Apakah kuboleh menangis? Tanyamu menjelang waktu Subuh berikutnya.

Kita hentikan saur kita. Aku kan lanjutkan ibadah sunatku. Sedang kaubatalkan saja! Kau bantingkan gelas. Sehingga gelasku tinggal lima buah. Serpihan-serpihannya biarlah berserakan. Apabila kau menginjaknya, kau akan mennagis.

Meredam emosi, kau taburkan dulu bedak ke punggungku yang gatal. Kau malah membentak. Kau bukan babu, katamu. Ya sudah, kuminta bantuan tangan lain. Kau malah mencubit pahaku hingga membiru.

Olala, apa yang kau inginkan?

Lebih baik kita salat berjamaah. Lalu kita pandangi gemintang. Kita hitung satu-satunya. Sampai kau pusing, lau terkantuk. Angin shubuh ini menggetar romaku. Mengelus kulitmu yang halus.

Jangan dulu mengatupkan mata, sahabat tercinta. Kita terus intip sahara yang bertabur gugusan cahaya. Karena sebentyar lagi, fajar terbit. Dan, venus akan lewat sekejap. Ya, bintang kejora itu akan melintas sesaat.

***

Kau benar-benar menangis. Tanpa meminta izinku terlebih dahulu.

Kala surya di sepenggal kepala. Ketika ubun-ubun benar-benar mendidih akibat polahmu. Kautertunduk terpaku-paku. Kau tak berani menatapku. Dan air mata benar-beanar meleleh dan membanjiri pipimu yang berisi. Matamu memerah. Aura jantanmupudar, atau tampak jelas?

Dari hidungmu memancar darah sehgar. Tangamu mengusapnya hingga memerah tanganmu pekat. Bau anyir. Kau beranjak, berdiri, berlari menuju wastafel. Dan, kaumuntahkan merah itu. Tangismu menjadi-jadi. Kuusap lukamu. Kusdapu dengan selembar sapu tangan merah. Itu pemberian darimu.

Tubuhmu semakin bergetar. Kupeluk kau. Dadamu begitu menggetarkan dadaku. Lukailah aku, sahabatku. Basahilah Bajuku dengan tangismu. Kubutuh embusan nafasmu yang selalu kautiupkan di telingaku. Pada ruhku. Berikan siletmu padaku.

Tadi sebelum kau lunglai, kau katakan padaku, “Hatiku lebih menangis.”
Continue Reading...
 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template