Sabtu, 25 Juli 2009

Vidio Kenang-Kenangan

Mohon, jika ada gambar atau foto yang tidak berkenan dengan hati Anda harap dimaklum.


Continue Reading...

Jumat, 24 Juli 2009

Sebelum Kujatuh

Oleh Frida Firdiani

Setiap hari kucari jawaban

Setiap langkah kutepis cobaan

Kubertahan dengan perkiraan

Karna kuyakin ini bukan masalah perasaan

Berawal dari sebuah kekaguman

Beranjak dengan ragam kebetulan

Tapi mengapa tafsir-tafsir itu semakin muncul dalam pikiran

Menghambatku dalam mengambil keputusan

Hari itu adalah hari yang indah untuk dilewati. Dengan aroma persahabatan yang merebak di sekujur tubuhku, kulewati perpustakaan hanya sekedar lewat, tanpa tersirat untuk meliriknya sekalipun. Mendadak ada suatu hal yang membuat langkahku terhenti. Seseorang yang kusegani muncul dikehangatan mentari. Setelah hal itu terjadi, berubah jumlah orang yang kusegani. Awalnya aku menyapa Syeikh Mesir. Beliau menuntunku dalam mengkaji pengetahuan baru. Dengan keterbatasan bahasa Arab yang kupunya, aku harus berjuang keras untuk memahami bahasanya. Mataku berubah lirikan tanpa komando. Ada seseorang bersama Syeikh yang memunculkan kalimat dalam pikiranku: “Dia bukan sembarang Mahasiswa,” just it. Akupun baru melihatnya dan tidak mengenalinya. Tapi pikiran tadi muncul begitu saja, tak tau di mana awalnya, kepedulian itu tertanam dalam pikiranku yang awam, seolah firasat baru dan tentu saja aku tak mau memikirkannya. Otakku terlalu berat untuk memikirkan yang mungkin saja membuat hidupku tersengat. Tersengat? Tentulah lelaki hebat itu tak salah. Karna yang berbahaya adalah kesetiaan yang muncul dalam relungku. Bila kesetiaan itu datang, pasti butuh waktu lama untuk mengusirnya, walau tiada ada jaminan bagiku untuk mendapatkannya.

Kegigihanku untuk mendapatkan kesimpulan: “Bahwa Aku Tak Mencintainya!” semakin terbaca. Tapi kekagumanku dengannya semakin tercerna. Tak banyak yang kutahu akan dirinya. Tapi semakin meledak keyakinanku akan kehadirannya. Entah berapa sobat yang kuterjunkan dalam hal ini. Meraka jawab: “Kekaguman itu hanya topeng untuk menutupi cintaku padanya. ”Dan semakin banyak peserta kuis yang kulibatkan untuk menjawab tanyaku, hatiku semakin gelisah. ”Mana mungkin aku mencintai seseorang yang tidak aku kenal!” bagiku “Love At The First Sight” itu hanya asap tebal yang mengombang-ambingkan penilaian seseorang. Its ok, coz hal itu tidak berlangsung lama. Api gelisah itu perlahan padam dan mampu menghangatkan suasana. Perlahan kehangatan itu semakin kurasa. Sebuah motivasi seolah membanjiri peredaran darahku. Tanpa target untuk mengenalinya, aku berusaha untuk menjelma menjadi sebaik-baik wanita. Entah dari mana persepsi itu muncul, aku seolah tau banyak tentangnya yang dimataku “BAIK.”

Tapi keadaannya menjadi lain ketika aku sering melihatnya. Penghuni kampus ini tentu saja bukan hanya aku. Itu artinya aku bisa mendapatinya di bagian kampus mana saja, dan berharap aku tak menemukannya di bagian tubuhku yang tak bisa dibohongi ini, yaitu hati. Pikiranku mulai bercabang. Mungkinkah kebetulan yang bertengger itu adalah rambu untuk mengenalinya. Aku pun tak ingin kehilangan kesempatan. Terkadang aku berubah seperti laron yang mendekati cahaya, seperti kutub magnet selatan yang mendekati utara. Aku berusaha untuk mendekati orang-orang yang mengenalinya. Kupikir, dengan tau banyak tentangnya penasaran itu akan selesai, dan hidupku akan seperti dulu, TANPA MEMIKIRKANNYA!!! Nyatanya aku malah mencintai caraku untuk tau jauh tentangnya. Entah berapa hati yang telah terusir, entah berapa jiwa yang kian tersiksa, tapi maaf saat ini aku tak ingin menjalin dengan yang lain, yang kuingin hanyalah informasi tentang DIA, karna firasatku seolah DOA.

Sekarang adalah puncak kegalauanku. Semakin hari semakin kuyakin cinta itu tiada. Tapi rasa penasaran itu semakin menjelma. Ada apa ini? Kesalahan kian terukir, logika semakin tersingkir. Seharusnya aku menjadi pemikir, agar kehidupanku tak sampai terjungkir. Bila aku dihadapkan dengannya, bibirku seolah terkunci untuk menyapanya. Karna yang kutakuti adalah mengharapkannya. Aku masih ada PR untuk menyapanya, karna atas dasar kebetulan pula, aku telah bercengkrama dengannya dalam suasana nyata, bukan angan semata, dengan kata lain “saling mengenal.” Kudengar dia tengah menjalin dengan yang lain, hatiku sedikit goyah dengan alasan akses untuk semakin mengenalnya akan terlelang. Tapi sebuah lega muncul dengan mempesona, dengan dia bertunangan, artinya ada suatu pembendung jika aku mencintainya di suatu saat. Hatiku tercabik ketika mendengarnya: ”Insyaallah saya lulus tahun depan.” Sebuah semangat yang rupawan, tapi perlahan berubah menjadi ancaman. Aku takut merindukannya kelak. Kutakut rindu itu berubah menjadi sesuatu yang membuatku cemburu.

Cinta itu adalah perasaan yang agung, yang datangnya bukan karna terpaan keadaan atau paksaan karna kekaguman. Sejauh ini aku masih yakin bahwa semua ini hanya kebetulan. Aku hanya kagum padanya. Tapi keadaanku sedang tak mencinta yang lain, sehingga kekaguman ini kadang tak terorganisir pada tempatnya, dan terkesan kumencintainya. Sedikit pun aku tak pernah menyalahkan kehadirannya. Yang kusesali hanya penyikapan diri akan semua yang terjadi. Maafkan aku Tuhan, yang kadang goyah dengan terpaan kehidupan.
Continue Reading...

Menunggu Mood? Maaf, Bukan Prinsip Saya!

Oleh Cecep al-Sumatrani

Jangan menunggu mood. Kalimat itu yang sering saya ingat sampai sekarang semenjak saya membaca beberapa artikel yang berkenaan dengan motivasi menulis. Juga hasil beberapa diskusi bersama teman-teman satu komunitas kepenulisan. Memang benar adanya. Dan itu yang saya rasakan selama ini jika ingin memulai menulis.

Mood menulis, hilang sama sekali dalam benak saya. Dalam ketiadaan mood itulah saya manfaatkan untuk terus menulis. Dan menulis terus. Apapun jadinya, saya tak pernah berpikir ini jelek-bagus terlebih dahulu Mau panjang, atau pendek. Bagi saya itu tidak masalah. Yang masalah adalah jika saya tak menulis satu huruf pun. Apapun yang terlintas dalam pikiran, itu saya hantam. Saya tulis.

Saya menulis untuk detik ini, jujur, gak ada mood sama sekali. Awalnya,saya terus berpikir, mau menulis apa,ya? Dari pada berpikir lama dan lama mikir, saya akhirnya menulis apa yang sedang Anda baca ini. Sepertinya, ini yang akan saya tulis. Sebenarnya, sepulang dari kampus, saya melewati lorong-lorong jalan. Yang di kanan-kirinya komplek kos-kos mahasiswa.

Ketika asyik berjalan, saya melihat ada anak-anak sedang berkumpul dan bercengkerama sesama teman-teman sepermainannya. Dari obrolan mereka, saya hanya menangkap satu percakapan mereka. Atau saya sempat mendengar, ada ucapan yang diucapkan oleh salah satu dari mereka. Kalau tidak salah, berarti benar. Yang mengucapkan itu seorang lelaki. Kira-kira, jika ia sekolah, pantaran SD kelas 6.

Lelaki itu, sambil memanggil temannya pula.”Wey! Isuk tempo inbox,nya? Alus sia euy, aya mbah Surif!”. Itu kira-kira yang saya tangkap apa yang diucapkan ketika saya melewati sebuah lorong yang tak jauh dari kampus saya. Saya terus berjalan,meski kaki reot saya terasa ada yang berbunyi. Mungkin, ada yang lepas beberapa baut kaki. Sudah usang nampaknya. Perlu Anlene. He.

Bukan hanya berjalan yang saya lanjutkan, tetapi pikiran saya semakin liar semenjak apa yang telah saya dengar barusan. Apa pasal? Bukan pasal 28 ayat 1 dan 2. Bukan sama sekali. Tapi ada yang membuat saya iri dari obrolan anak-anak kecil tadi. Kok,iri? Boleh,ya iri? Bagi saya pribadi, iri untuk memotivasi sangat diperbolehkan. Bahkan, jika ada yang melarang pun, saya coba pikir-pikir dulu, mengikutinya, atau saya mengkaji terlebih dahulu.

Saking liarnya pikiran saya, sampai ke sana apa yang saya tulis. Yang membuat saya seperti itu, dan membuat saya menulis, adalah anak-anak tadi. Sekali lagi, anak-anak itu yang salah. Hingga, anak-anak itu jadi korban tulisan saya. Mudah-mudahan mereka tidak tahu, ternyata, percakapan mereka ada yang menyadap. Sepertinya, anak-anak itu kurang pengamanan. Mereka, di areanya tidak menggunakan CCTV. Jika mereka memakai, tak mungkin saya capek-capek menuliskannya. Beruntung lah saya, karena dari mereka saya tahu dunia anak-anak, serta apa yang mereka pikirkan dan inginkan. Begitukah Anda?
Tak banyak sebenarnya apa yang ingin saya tulis berkenaan dengan percakapan anak-anak tadi. Eh,sekedar berbagi info dengan Anda. Apakah Anda tahu, bagaimana saya menulis tulisan ini? Saya kira Anda belum tahu, karena memang belum saya beri tahu. Saya menulis tulisan ini, menurut saya sangat enjoy. Seenjoy Anda membaca tulisan ini. Saya menulis, sambil ditemani Hock Guan Rose Cream Biscuits dan lagu-lagu yang sedang booming saat ini. Misalnya, Tak Gendong-nya mbah Surif, KCB-nya Melly, Muhasabah Cinta, dan sesekali mengenang bintang pop dunia yang baru saja dimakamkan. Dimakamkannya pun, katanya, tanpa otak. Atau lagu-lagu yang dikira bisa menyejukkan hati. Apakah lagu-lagu Jacko menyejukkan hati? Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung siapa kita.

Dengan cara seperti itu, yang tadinya menulis itu sebuah beban, kini beban itu berubah menjadi ringan. Bahkan mengasyikkan. Ini pun tidak bisa dinikmati bagi kita yang belum mencoba. Hindari,kata-kata, bahwa menulis itu sulit jika belum menceburkan dalam kubangan menulis. Itu yang saya rasakan. Bila saya merasa bingung apalagi yang ingin saya tulis, saya berhenti sejenak. Sejenak saja. Kalau bisa hindari terlalu lama. Waktu sejenak itu, saya manfaatkan untuk menikmati Rose cream Biscuits. Dua-tiga potong Biscuits tak tersisa. Setelah itu, saya pun tidak tahu, secara ajaib, kata-kata yang ingin saya tulis muncul kembali. Ya, bisa jadi semacam ilham lah. Insyaallah bila kita mencobanya, ia akan mengalir.

Semakin asyik menulis semakin sulit bagi saya mengakhiri tulisan ini. Anda pun semakin sulit memalingkan mata Anda untuk berpindah dari membaca tulisan saya. Dan, sebenarnya, saya pun turut berterimakasih kepada Anda atas bersedianya Anda membaca tulisan saya. Jika kita plasback kepada obrolan anak-anak di muka, ternyata anak-anak lebih peka terhadap perkembangan zaman. Terutama dalam dunia musik. Mereka pasti sangat hafal lagu mbah Surip. Juga mungkin lagu yang lain. Bagaimana tidak hafal, hampir setiap hari, kita, yang mempunyai pesawat televisi pasti akan disuguhi acara musik. Ada Dahsyat, Dering, Inboxs, dan nama yang lain yang menyuguhkan acara live musik.

Saya pun tidak tahu, mengapa anak-anak di zaman saya, mereka kurang menyukai lagu-lagu yang pantas buat mereka. Atau cocoknya, lagu itu buat remaja-dewasa. Tapi anak-anak menyukainya. Itu kira-kira apa yang terlintas dalam benak saya ketika melewati kerumunan anak-anak di komplek kos. Saya juga, pada akhirnya memuji anak-anak itu karena mereka, ternyata lebih tahu apa saja yang sedang hangat di televisi. Saya hanya berdo’a, mudah-mudahan keingintahuan anak-anak itu tidak sebatas acara musik saja. Tapi lebih dari itu yang sekiranya mendukung prestasi akademik di sekolahnya. Perkembangan berita dunia, berita pendidikan, atau bahkan, anak-anak tahu tidak bahwa kita telah melaksanakan pilpres.

Saya tidak menganggap ini sebuah tulisan serius. Begitupun dengan Anda. Ini hanya semacam ekpresi saya ketika saya tidak sedang mood menulis. Namanya juga sedang tidak mood, maka isinya pun tak jauh dari yang saya rasakan. Atau ini hanya sebuah goresan tak bermakna bagi Anda. Tapi bagi saya, ini sebuah anugrah yang tak terkira. Karena saya bisa menulis bebas tanpa terikat oleh apapun. Saya pun yakin, Anda lebih berkompeten dalam dunia yang sedang saya geluti ini. Dalam tulisan ini pun saya membuat kesalahan, saya tidak akan memohon maaf, sebab rasanya lebih berguna bila saya mohon Anda memperbaikinya.
Continue Reading...

My first Dream

Oleh Hasan al-Sumatrani

Tiba-tiba saya bertemu dengan salah satu teman saya. Dia teman satu kuliah. Namanya Ihsan. Perawakannya tinggi kurus serta memakai Kacamata. Teman-teman satu kelasnya sering menyebut si-HTI. Karena memang, Ihsan seorang aktivis Hizbul Attahrir Indonesia, wilayah Bandung. Ia juga aktif di organisasi yang ada di kampus. LSPI kalau tidak salah. Lebih panjangnya, Lembaga Studi politik Islam. Organisasi itu, ideologinya lebih dekat dengan HTI. Yang saya tahu, saya sering membaca selebaran LSPI yang sering ditempel di mading kampus. Isinya, memang tidak jauh dari ajakan pada penegakan syariat islam di Indonesia. Dan sering pula, dalam tulisan-tulisannya, menyebut bahwa, pendidikan kita, pendidikan Indonesia, disebut sebagai, atau menganut sistem kapitalisme. Saya pun sedikit tahu, bahwa mereka, para aktivis HTI itu, terutama dalam pemilu, mereka pasti tidak memilih. Alias golput.

Saya dalam tulisan kali ini bukan hendak menceritakan tentang HTI-nya, tapi saya ingin menceritakan sedikit mimpi tidur saya. Tentunya hanya yang saya ingat saja. Yang tidak teringat, tidak akan saya tulis. Karena kata Ernest Hemingway, beliau seorang cerpenis dunia yang beberapa kali mendapat hadiah Nobel. Tentunya karena karya yang menyelimutinya. Katanya, jika ingin pandai dalam menulis fiksi, maka tulislah mimpi-mimpi kita yang kita alami ketika tidur. Mimpi ketika tidur, adalah dunia imajinasi. Mimpi itu terkadang aneh, tidak nyambung bahkan sering menemukan-menemukan keganjilan.. Itu uniknya mimpi. Jika bisa menuliskannya setiap hari apa yang kita alami ketika mimpi, maka setengah berhasil kita bisa berimajinasi. Untuk selanjutnya, kita menjadi penulis fiksi sejati.

Nah, malam tadi, saya sempat bermimpi. Mimpinya agak aneh. Yang ada dalam mimpi itu, ya dia, Ihsan. Waktu itu, kira-kira agak sore. Langit terlihat berawan hitam dan ditemani rintik hujan. Saya pun agak sedikit basah kuyup. Tepatnya di jalan Manisi, dekat tanjakan kantor kecamatan Cibiru. Saya melihat, tiba-tiba jalan Manisi yang tadinya beraspal hitam, kini menjadi seperti sungai. Awalnya, airnya tidak begitu deras, Biasa saja. Namun, selang beberapa menit, saya sambil ketakutan dan terkejut. Air sungai itu meluap. Persis seperti banjir di Baleendah. Sedangkan di pinggir sungai yang sedang meluap itu, Ihsan dan seorang perempuan sedang asyik bercengkrama. Posisinya, perempuan itu duduk sambil tangannya memegang kakinya. Sedang Ihsan berdiri. Perempuan itu berjilbab. Rambutnya agak sedikit terlihat. Warna jilbabnya kecoklatan. Lusuh. Ihsan memakai baju koko kehitam-hitaman, pake tas hitam pula. Tak lupa, bertengger kacamata khasnya. Dillihat dari samping, mirip seperti artis yang menyanyikan lagu”Terima Kasih Cinta”. Afgan.

Waktu itu, tangan Ihsan melambai tanda menyuruh si perempuan yang ada disampingnya untuk beranjak dari sana. Mengingat, karena mereka sedang berada di pinggir sungai dan airnya semakin tidak menentu. Beberapa menit lagi meluap..Meluber.”Cepat pindah dari sana!” Ujar Ihsan sambil sedikit riweuh. Mendengar panggilan dan ajakan itu, perempuan tadi hanya terdiam dan berujar.”Aku mau tetap di sini saja, tinggalkan aku segera!”.

Ihsan hanya melongo mendengar jawaban seorang perempuan yang tak jelas siapa sebenarnya dia. Selang beberapa detik, kontan saja, air yang tadinya tenang, kini berubah wujud menjadi beringas dan membabi buta ke sekitar rumah penduduk. Setelah itu, tak tahu lagi. Tiba-tiba, berubah ke latar yang berbeda. Di jalan yang tadinya penuh dengan air melimpah, kini, air itu entah kemana. Di jalan beraspal itu hanya meninggalkan tetesan-tetesan air saja ditemani sebuah mobil Truk warna kuning. Lalu, di kanan-kirinya ada sawah yang belum ditanami padi.

Selanjutnya, saya hanya melihat bayangan hitam. Begitulah kira-kira apa yang saya alami ketika berada di alam mimpi kemarin malam. Banyak sekali yang saya lihat dalam mimpi itu, tapi, apalah daya, saya sangat lupa. Benar-benar lupa. Mimpi yang aneh....

My Second Dream

Entah suara dari mana, tiba-tiba saja ada yang berkata,”Nanti, bila SBY menang jadi presiden, yang akan jadi menteri Komunikasi Informasi adalah saudara Rizal Mallarangeng”. Secara spontan juga, ternyata ada yang menimpali kalimat di atas. Yang menimpali atau menjawab itu datang dari salah seorang fungsionaris PKS. Entah siapa namanya. Dari perawakannya, agak gendut, berjenggot agak keputihan, dan sambil senyum. Bertengger di kepalanya peci warna. Tak begitu jelas apa warnanya. Dilihat dari umur, kira-kira 45 tahunan.

Bayangan Rizal pun ada di sekitar itu. Dia tak menampakkan senyum sama sekali. Yang ada hanya memperlihatkan wajah kesinisan. Tak tahu lah. Di tengah kesinisan yang menyelimuti Bung Rizal, fungsionaris PKS tadi langsung mengeluarkan argumen ketidaksetujuan saudara Rizal diangkat menjadi menteri Komunikasi jika SBY jadi presiden. Kata si PKS itu,”Wah..saya tidak setuju bila saudara Rizal diangkat jadi menteri Komunikasi, berbahaya. Liat saja trace recordnya ketika masa-masa kampanye. Banyak sekali ungkapan-ungkapan atau pernyataan beliau yang mengundang kontroversi masyarakat”. Kilah fungsionaris PKS itu.

Setelah kalimat yang begitu panjang diucapkan oleh orang PKS itu rampung, untuk selanjutnya, bayangan Menkominfo yang sekarang pun muncul. Ya, Muhammad Nuh. Dengan senyum khasnya, beliau(M.Nuh) yang juga mantan Rektor ITS(bila tak salah) itu, hanya terdiam dan sedikit menyunggingkan wajah ikhlas.. Memang seperti itu lah keadaannya. Tak ada yang ditambah atau dikurang. Yang ada hanya lupa, apa lagi yang akan diceritakan.

O, iya. Kejadian ini terjadi di dekat jalan OTISTA. Tepatnya pas sekali dekat simpang mau ke masjid Agung Bandung. Tak jelas, siang atau malam kejadiannya. Jam berapa pun, tak diketahui. Yang jelas, tidak sedang hujan.

Ya, masih ingat. Fungsionaris PKS tadi melanjutkan ocehannya. Dengan mengatakan,”Dari pada saudara Rizal yang menjadi menteri Komunikasi-Informasi, mendingan kamu saja,Cep!, Rizal itu orangnya gak bener, gak bisa menjaga lisan. Sama seperti kakaknya!”. Dari kejauhan, tampak si Cep senyum-senyum terkejut. Mungkin karena ada tawaran menjadi menteri. Dan, orang-orang yang ada di sekitar kejadian itu, mereka hanya tertawa.

Tak ada lagi kelanjutan cerita di atas. Yang muncul selanjutnya adalah wajah seorang laki-laki. Laki-laki itu diketahui bernama, wah, panjang sekali namanya. Seandainya saja yang muncul itu bukan teman lama, sungguh tak sudi untuk menuliskannya. Apalagi, namanya terlalu panjang. Bisa-bisa nafas tersenggal bila menyebutnya. Yosso Widiantoro Eko Saputro. Disingkat YWES. Ampun,ya...Allah. Singkatannya saja udah panjang. Yang jelas dia bukan orang Padang, Rejang, Prancis, Arab, Bengkulu. Apalagi Sunda. Sangat jauh. Jauh sekali. Ibarat antara Langit dan Bumi. Entah lah, orang mana dia. Ujung hurufnya”O” semua.

YWES itu teman ketika di Mts Raudhatul Ulum, Sakatiga, OKI, Sumsel. Malah pernah sekamar pula. Setelah tamat dari Raudhatul Ulum, ia tak melanjutkan di sana. Alasannya, ingin menghirup udara kebebasan. Ingin bebas pacaran. Pokonya sebebas namanya yang panjang itu. Kemudian, tak sengaja, bertemu juga di MAN Model. Eh..sempat sekelas pula. Ternyata dunia ini sungguh sempit. Dia lagi, dia lagi. Tapi, tak ada kebosanan bila bertemu dengannya. Ada saja celotehan dan humor yang keluar dari mulutnya. Bila mendengar guyonannya, susah sekali menutup mulut ini. Inginnya tertawa. Mungkin saja itu bagian dari pengusir kepenatan.

Ketika di MAN Model, Eh, MAN Model itu ada di Bengkulu. Di kota lho. Sekolah Favorit warga kota Bengkulu dan warga dari luar Bengkulu. Tepatnya, di jalan Cimanuk. Wah, nama jalannya mirip daerah yang ada di Jawa Barat. Warga Cimanuk, tahu gak, ya arti Cimanuk itu sendiri? Jangan-jangan...udah tahu...he..Ya, ketika di MAN, tepatnya kelas tiga, ada informasi bahwa ada pendaftaran formasi CPNS untuk Pengadilan Negeri Bengkulu. Berbekal info itu, Yosso dan juga teman-teman lain akhirnya mencoba mendaftar untuk jadi PNS.

Persyaratan pun dipersiapkan. Mulai dari foto, ijazah terakhir, Kartu Kuning, SKCK, Kartu Keluarga, dan lain-lain yang dianggap perlu.. Ijazah terakhir?? Dia kan belum lulus dari MAN Model? UAS saja belum. Lulus atau tidaknya pun belum diketahui. Apalagi, waktu itu, standar nilai harus 3,00. Kurang dari itu, terpaksa harus ada pendalaman materi lagi. Tapi ternyata, dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendaftar di Pengadilan Negeri Bengkulu, minimal berijazah SMP,SMA atau yang sederajat.

Dengan memberanikan diri, Yosso, tentunya berkat dukungan orang tua dan teman-teman sekelas, akhirnya memakai ijazah Mts Raudhatul Ulum. Setelah semua persyaratan mencapai sedikit 100%, berangkatlah ia bersama teman-teman yang lain yang juga ikut mendaftar. Dag-dig-dug jantung mereka berdetak. Keringat pun ikut membanjiri tubuh-tubuh mereka. Sesekali mengusap dahi. Tapi, air asin itu tak kunjung berhenti. Terus mengalir. Hawa Bengkulu memang panas. Tak beda jauh dengan karakter orangnya. Keras suaranya. Lembut hatinya.

Jika tak salah, hari itu, Senin tahun 2006. YWES serta rekan-rekan lain mulai mengikuti tes tertulis di sebuah gedung besar. Gedung terbesar di provinsi Bengkulu. Mungkin. Balai Buntar namanya. Gedung itu dekat sekali dengan sekolah MAN Model. Cukup 7 menit dengan marathon. Wah, di dalam gedung itu bertumpuk ribuan orang yang sedang mencari peruntungan menjadi PNS. Dari berbagai daerah. Bukan hanya dari Bengkulu. Tapi dari luar Bengkulu. Dari berbagai suku, ras, mungkin etnis. Ada yang tampan, sedikit tampan, kurang tampan, cukup tampan, boleh lah tampan, mirip-mirip tampan, dan juga tak ada sebutan “tampan” sama sekali.

Ada yang cantik, seperti cantik, kelihatan cantik, gak ah gak cantik, ayu, manis, hitam-manis, hitam-hitam. Ah, pokoknya warna-warni. Ih....Untung saja, saudara Yosso dan teman yang lain termasuk”mirip-mirip tampan”. Sehingga, banyak dari sebagian peserta yang lain mendekatinya. Tujuannya, tidak lain hanya untuk sekedar bertanya dan meminta.”Nanti, kalau sudah mulai mengerjakan soal, jangan lupa,ya kasih tahu kami,”. Ujar mereka yang mendekati YWES.

Kira-kira sebulan kemudian, pengumuman hasil tes PNS di Pengadilan Negeri Bengkulu pun diumumkan melalui koran kebanggan masyarakat Bengkulu. Ya, melalui harian”Rakyat-Bengkulu”. Di sana terpampang nama-nama yang lulus, berikut nomor ujiannya. Kontan saja, ketika YWES baru saja kering dari berdzikirnya, karena memang lima menit yang lalu sudah salat Dhuha di masjid sekolah. Biasa, ritual yang rutin dilakukan oleh anak-anak MAN Model, terutama kelas 3 bila mendekati UAN. Pak ustad itu (YWES) pun terkejut dengan kabar yang diberitahu oleh salah satu teman..Hasan.”Yos, namo kau ado di koran”RB”. Tapi idak tahu, lulus apo idak, kau tengok ajo di ruang BP”. Ujar Hasan yang kentara sekali bahasa Bengkulunya.

Antara percaya tidak percaya, kini menyelimuti pikiran Yosso. Terus berkecamuk. Hatinya pun tak menentu. Tangannya ikut bergetar. Bicaranya tak lagi jelas.. Gugup yang ada. Ketika ingin memasang sepatu saja, di pintu masjid, eh...lupa, masjid MAN Model tak berpintu dan tak berjendela. Hampir saja salah masuk. Sepatu kiri dimasukkan ke kaki kanan, dan sepatu kanan, dimasukkan ke kaki kiri. Wah, busyet dah.”Ayo, san, antar ambo ke ruang BP. Malu ambo sendiri,”. Begitu kata YWES kepada Hasan. Nampak juga sedikit logat Jawanya.

“Eh, Yosso, selamat,ya, kamu lulus. Beruntung kamu, teman-teman yang lain belum berkesempatan lulus, mungkin nanti lah.” Kata ibu guru bahasa Indonesia itu.”Itu na, tengok di koran tu, cocok dak kek namo kau dan nomor ujiannyo” Ibu itu menambahkan. Dengan sedikit agak malu-malu dan disertai senyum merekah, akhirnya, Yosso pun buka mulut. “Ya, Bu, makasih,” Sambil koran yang di atas Meja itu dilahapnya. Setelah mencocokkan, menimbang, mencermati dan seterusnya, selanjutnya, Yosso dinyatakan LULUS! Kegembiraan pun kembali menyeruak dalam hati pribadi YWES. Ternyata, berguna juga ijazah pesantren. Kirain tak berguna. Makasih Tuhan, makasih Raudhatul Ulum, makasih orang tua, makasih guru-guru MAN Model, dan juga tak lupa, makasih teman-teman semua. Terutama sekali,makasih kepada pihak Pengadilan Negeri Bengkulu yang telah sempat meluluskannya. Karena memang, dari 400 orang yang mendaftar di PN Bengkulu, hanya diterima 10 orang. Termasuk yang mempunyai nama terpanjang di MAN itu.

Semuanya kembali menghitam. Tak terlihat. Kabur entah kemana. Rizal Mallarangeng, fungsionaris PKS, M.Nuh, jalan OTISTA, Yosso widiantoro Eko Saputro, serta MAN Model. Semuanya ter-delet oleh suara-suara mengaji di sekitar kos. Beberapa menit kemudian, sayup kumandang adzan masuk telinga kanan, dan keluar lagi melalui telinga kiri. Tapi, bangun juga.
Continue Reading...
 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template