Cerpen Reza Sukma Nugraha
Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu suatu saat. Retoris.
Berapa tetes air mata yang kau buang dan kau perlihatkan padaku. Ragamu jantan. Namun hatimu sungguh betina. Nyalimu nol, sahabatku. Selalu kau ukir kesedihan pada dirimu. Dan selalu saja telingaku yang menyambut.
Berapa detik terbuang hanya untuk merintih. Meraung dalam gulita. Memaki-makiku dengan sinisme, bahkan sadisme. Tubuhku bosan kau pukuli. Di satu tangan, kau berpangku. Namun tangan lain kau ikat dan kau belenggu.
Suatu purnama, matamu basah. Dadaku yang telanjang basah pula. Kau susut ingusmu dan tentu air matamu. Tiba-tiba saja kau berbisik lembut, “Maafkan aku.” Suaramu lembut, wahai sahabat lelakiku.
***
Siapa bilang lelaki tak boleh menangis? Tanyamu di bawah gerhana bulan total.
Kali ini orang bertakbir pada Allah. Saling bersahutan. Gema suramu jatuh di kedua teliungaku. Kaukucurkan air mata kepedihan. Sehingga kau tanyakan, Tuhan dimana?
Kau tak sadar, Dia memandang, betapa kautak karuan. Rambutmu kusut karenasemilir angin malam itu. Malam gerhana bulan total. Tuhan dimana? Tanyamu sambil menengadah. Kutampar wajahmu yang manis. Kaumenunduk dan beristigfar. Menarik lengan kananku dan kauusap air matamu dengannya.
Tuhan itu dimana-mana, sahabat sejati. Ketika terasa tak ada, kauberkoar-koar bertanya dimana Dia? SEdang saat Nampak jelas Tuhan di atas pelupuk matamu, kau terkadang pura-pura tak tahu. Kau buta.
Lalu kau tidur terlentang. Matamu tak urung menutup. Biar mataku saja yang menutup. Namun kaubalas menamparku. Hingga mataku melotot hamper terlepas. Setetes, jatuh tepat di atas kelopak mataku saat kuterpejam. Kepalamu sepuluh sentimeter di atas kepalaku. Ludahi saja, aku! Daripada kulihat engkau menangis.
***
Apa lelaki boleh menangis? Tanyamu saat sayup-sayup azan Subuh memanggil.
Aku diam saja tak peduli. Lalu kaumenangis, kau ambil sebuah kertas. Diperlihatkannya padaku. Sebuah silet kau bungkus dengan kertas kuning itu. Dilipat apik.
Katakan padaku, sahabat setiaku.
Tak usah pergi membawa amarah. Setan akan terbahak-bahak. Padahal kau kan penakut. Jangankan setan, pada kucing pun kau menjerit. Jadi kembalilah. Buka bajumu. Kusiram dengan air dari sumur keikhlasan. Biar wajahmu yang semakin hari kian menggelap, kubasuh lembut dan perlahan. Duduklah, kuceboki dan kugosok gerahammu.
Namun kau malah lari. Lari dariku. Lari dari kenyataan. Kau pengecut.. Berarti kaubukan seorang yang shaleh. Doa-doa yang kauumbar tak berbuah hasil. Kasihan. Sepertinya Tuhan tak sayang.
Berhenti! Teriakku. Kausengaja pamerkan siletmu. “Biar kusayat-sayat nadiku,” ujarmu sambil melelehakn air mata. Bodoh, sahabat. “Kau tak punya hati,” tuduhmu. Padahal kupunya hati, kalau tak ada hati, apa yang akan menetralkan racun di tubuhku?
Dan, kupunya kalbu. Karenanya, kumasih bias ungkapkan kelebihan dan kekuranganmu. Tak usah bertanya, dimana kalbu itu. Karena itu ibarat kaumenanyaklan Tuhan yang dulu selalu kau tanyakan. Pulanglah dan buang silet itu.
Biar aku yang menyayat nadimu dengan tanganku sendiri. Agar namapk pancaran darahmu. Merah dan memuncrat. Akan kusedot darahmu, dan kucium pipimu sebelum darah itu habis. Lalu ucapkanlah laa ilaaha illallah. Lama-lama ucapkan Allah saja. Aku khawatir nafasmu terhenti ketika kau baru berrkata sampai laa ilaaha yang artinya Tuhan tak ada.
Akhirnya kaukembali berandar padaku.
Kupapah dirimu. Kurebahkan badanmu yang tegap dan kulitnya bersih sawo matang. Kau menangis lagi! “Sudahlah,” saranku seadanya. Tangismu malah menjadi-jadi, wahai lelaki.
***
Apakah kuboleh menangis? Tanyamu menjelang waktu Subuh berikutnya.
Kita hentikan saur kita. Aku kan lanjutkan ibadah sunatku. Sedang kaubatalkan saja! Kau bantingkan gelas. Sehingga gelasku tinggal lima buah. Serpihan-serpihannya biarlah berserakan. Apabila kau menginjaknya, kau akan mennagis.
Meredam emosi, kau taburkan dulu bedak ke punggungku yang gatal. Kau malah membentak. Kau bukan babu, katamu. Ya sudah, kuminta bantuan tangan lain. Kau malah mencubit pahaku hingga membiru.
Olala, apa yang kau inginkan?
Lebih baik kita salat berjamaah. Lalu kita pandangi gemintang. Kita hitung satu-satunya. Sampai kau pusing, lau terkantuk. Angin shubuh ini menggetar romaku. Mengelus kulitmu yang halus.
Jangan dulu mengatupkan mata, sahabat tercinta. Kita terus intip sahara yang bertabur gugusan cahaya. Karena sebentyar lagi, fajar terbit. Dan, venus akan lewat sekejap. Ya, bintang kejora itu akan melintas sesaat.
***
Kau benar-benar menangis. Tanpa meminta izinku terlebih dahulu.
Kala surya di sepenggal kepala. Ketika ubun-ubun benar-benar mendidih akibat polahmu. Kautertunduk terpaku-paku. Kau tak berani menatapku. Dan air mata benar-beanar meleleh dan membanjiri pipimu yang berisi. Matamu memerah. Aura jantanmupudar, atau tampak jelas?
Dari hidungmu memancar darah sehgar. Tangamu mengusapnya hingga memerah tanganmu pekat. Bau anyir. Kau beranjak, berdiri, berlari menuju wastafel. Dan, kaumuntahkan merah itu. Tangismu menjadi-jadi. Kuusap lukamu. Kusdapu dengan selembar sapu tangan merah. Itu pemberian darimu.
Tubuhmu semakin bergetar. Kupeluk kau. Dadamu begitu menggetarkan dadaku. Lukailah aku, sahabatku. Basahilah Bajuku dengan tangismu. Kubutuh embusan nafasmu yang selalu kautiupkan di telingaku. Pada ruhku. Berikan siletmu padaku.
Tadi sebelum kau lunglai, kau katakan padaku, “Hatiku lebih menangis.”
Tegal Laka-laka : Superpositive Traveling (Bag. 2)
8 tahun yang lalu
1 komentar:
baca cerpen lelaki yang manis, jadi ingat seseorang. kalau gak salah namanya Dasam Syamsudin. dia manis!
Posting Komentar