Rabu, 17 Juni 2009

Mengungkap Rahasia Peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad

Oleh : Reza Sukma Nugraha




Adalah sebuah pohon bernama cangkuang yang telah mengilhami nama sebuah desa di utara Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa dengan kondisi geografis khas dataran tinggi ini adalah salah satu dari sekian banyak objek wisata di Tatar Parahyangan. Setidaknya, terdapat tiga objek yang memesona para wisatawan untuk berkunjung ke desa ini. Candi Cangkuang, makam Embah Dalem Arif Muhammad, dan rumah adat Kampung Pulo.

Setiap wisatawan memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda saat berwisata di Cangkuang. Para peziarah melakukan wisata religi, dengan berziarah ke makam-makam keramat yang terdapat di Kampung Pulo. Umat Hindu tentu ingin mengunjungi candi Cangkuang dan patung Dewa Syiwa yang terletak di dalamnya. Ada pula wisatawan yang lebih senang mengunjungi rumah adat di Kampung Pulo. Mereka mengamati keenam rumah dengan arsitektur khas ini dengan pendekatan yang berbeda. Bahkan ada pula yang hanya ingin menikmati pemandangan sekitar Situ Cangkuang dan berkeliling pulau dengan sebuah rakit yang disebut getek.

Bagi para filolog, Cangkuang menarik karena menyimpan manuskrip yang ditulis oleh Embah Dalem Arif Muhammad yang dipercaya penduduk sekitar sebagai penyebar agama Islam di Tanah Garut. Seluruh manuskrip yang tersimpan di museum Cangkuang ini sering dijadikan objek penelitian para peneliti maupun para akademisi. Manuskrip tersebut berupa naskah khutbah Jumat terbuat dari kulit kambing, naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia, Al-Quran dan kitab lainnya yang terbuat dari kayu saih.

Embah Dalem Arif Muhammad, Sang Panglima Mataram

Konon, penduduk Cangkuang masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Sebagian lainnya beragama Hindu. Hingga datanglah Arif Muhammad yang secara perlahan mengajarkan Islam di desa tersebut. Menurut Zaki Munawwar, pengelola sekaligus juru bicara museum Cangkuang, Arif Muhammad adalah panglima perang dari kerajaan Mataram. Ia diutus Sultan Agung untuk mengusir VOC di Batavia pada 1645. Kemudian Arif Muhammad berangkat menuju Batavia untuk menyerang VOC. Sayangnya, Arif Muhammad beserta pasukannya berhasil ditekuk mundur.

Kegagalan Arif Muhammad membuatnya malu untuk kembali ke Mataram. Selain itu, ia takut Sultan Agung akan membunuhnya apabila ia tahu Arif Muhammad kembali dengan membawa kegagalan. Oleh karena itu, Arif Muhammad memutuskan untuk mengasingkan diri. Garut, dipilihnya sebagai tujuan. Selain itu, ia berniat menyebarkan agama Islam di daerah Parahyangan Timur. Awalnya, ia berdakwah di daerah Tambak Baya.

Beberapa waktu kemudian, Arif Muhammad berpindah ke tempat lain. Adiknya kemudian meneruskan dakwahnya di Tambak Baya. Sedangkan Arif Muhammad berdiam di sebuah kampung di desa Cangkuang. Kini di desa tersebut terdapat danau kecil atau situ. Kampung tempat tinggal Arif Muhammad terpisah dan membentuk pulau. Lantas, kampung tersebut dinamai Kampung Pulo.

Arif Muhammad menikah dan memiliki tujuh orang anak, enam perempuan dan satu laki-laki. Namun hingga saat ini, belum diketahui istri dan silsilah keturunan Arif Muhammad. Cerita yang berkembang saat ini hanya disampaikan dari mulut ke mulut. Penduduk sekitar menjuluki Arif Muhammad dengan nama Embah Dalem Arif Muhammad.

Kampung Pulo dan Kearifan Lokal yang Terjaga

Salah satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan di Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal ketujuh anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara. Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang berhadapan dengan halaman luas yang membelah deretan rumah tersebut. Setiap rumah memiliki ruangan yang sama: serambi, satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.

Kini, ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai anak laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah keturunan Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.

Keunikan lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Setiap rumah hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga. Artinya, apabila ada anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka ia harus segera meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua minggu. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal.

Hingga saat ini (April 2009), Kang Zaki—sapaan akrab Zaki Munawwar—mengatakan, jumlah penduduk Kampung Pulo mencapai 22 orang. Sebelas laki-laki dan perempuan. Mereka bermatapencaharian petani dan pencari ikan. Setelah Kampung Pulo menjadi objek wisata, 95% perempuan penduduk Kampung Pulo menjadi pedagang. Tidak terdapat lapisan-lapisan masyarakat dalam struktur sosial di Kampung Pulo. Hanya saja, ada satu orang yang dipercaya penduduknya untuk menjadi kuncen atau juru kunci. Tugas juru kunci adalah menyambung lidah para peziarah dan roh-roh keramat. Pak Atang adalah kuncen Kampung Pulo saat ini.

Masyarakat Kampung Pulo tidak diikat oleh hukum tertulis. Mereka hanya mengenal pamali sebagai istilah melanggar pantangan. Pantangan di Kampung Pulo harus dipatuhi penduduk itu sendiri maupun para wisatawan yang datang.

Pertama. Tidak boleh berziarah pada hari Rabu. Hal ini disebabkan pada hari Rabu, Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu, kecuali untuk belajar ilmu agama dan mengaji. Oleh karena itu, saat ini wisatawan tidak diperkenankan berziarah pada hari Rabu. Batas waktu hari Rabu, menurut kepercayaan penduduk Kampung Pulo, adalah ba’da Ashar di hari Selasa hingga ba’da Ashar di hari Rabu. Hal tersebut didasari perhitungan waktu dalam Islam.

Kedua. Tidak boleh membuat rumah beratap jure. Atap rumah harus tetap dibiarkan memanjang. Lalu dilarang menggunakan gong besar yang terbuat dari perunggu di setiap acara. Kedua larangan tersebut disebabkan cerita pada masa lalu. Konon, saat acara khitan anak laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad, anak tersebut diarak menggunakan tandu berbentuk rumah-rumahan beratap jure. Pada acara tersebut juga terdapat gong besar yang terbuat dari perunggu yang digunakan untuk hiburan. Tiba-tiba sebuah angin topan memorakporandakan acara tersebut. Anak laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad pun jatuh dan meninggal seketika.

Ketiga. Di Kampung Pulo dilarang memelihara binatang ternak berkaki empat, seperti: kambing, kerbau, dan sapi. Menurut Kang Zaki, terdapat dua dugaan. Pertama, karena binatang ternak dikhawatirkan mengotori lingkungan setempat dan makam-makam keramat. Kedua, pada awalnya masyarakat masih memeluk agama Hindu. Sedangkan pemeluk Hindu memuja sapi. Dikhawatirkan pula, masyarakat sulit melepas kepercayaan itu.

Selain ketiga pantangan di atas, masih banyak hukum adat yang masih dijunjung tinggi penduduk setempat. Meskipun arus modernisasi lambat laun memengaruhi perilaku masyarakat Kampung Pulo, mereka tetap memegang teguh seluruh pantangan yang berlaku tersebut. Arus modernisasi itu sendiri, salah satunya akibat dari dijadikannya Kampung Pulo sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi orang luar daerah.

Manuskrip Karya Embah Dalem Arif Muhammad

Embah Dalem Arif Muhammad, sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah Parahyangan Timur memperkaya khazanah kebudayaan dengan seluruh tulisannya. Tulisannya tersebar di berbagai daerah di Garut, seperti Leles dan Kadungora. Umumnya, pemilik naskah mengklaim masih keturunan Embah Dalem Arif Muhammad.

Saat peresmian Candi Cangkuang pada tahun 1976, dengan ditandai selesainya pemugaran candi (1974-1976), pemerintah melalui instansi terkait berinisiatif mengumpulkan seluruh aset budaya berupa karya-karya Embah Dalem Arif Muhammad dan menghimpunnya dalam museum yang dibangun berhadapan dengan candi dan makam Embah Dalem Arif Muhammad. Kebanyakan masyarakat saat itu bersedia memberikan naskah tersebut agar lebih terawat dan terjaga.

Masyarakat Kampung Pulo mengaku memberikan naskah tersebut secara cuma-cuma, tidak seperti orang diluar Kampung Pulo yang mereka duga harus diberi kompensasi berupa materi terlebih dahulu.

Namun, ada pula pemilik naskah yang enggan memberikan naskah tersebut pada meseum. Hal tersebut biasanya dikarenakan kandungan mistik yang dipercaya memberikan efek magis tertentu bagi pemilik naskah.

Manuskrip yang tersimpan di museum Cangkuang di antaranya: khutbah Jumat yang terbuat dari kulit kambing, kitab fiqih, khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia, Al-Quran yang ketiganya terbuat dari kayu saih.

Kang Zaki menambahkan, ada dua kemungkinan untuk tempat penulisan naskah-naskah tersebut. Pertama, seluruh naskah ditulis Embah Dalem Arif Muhammad saat berdakwah di Cangkuang. Kedua, bisa jadi naskah tersebut ditulis sejak Embah Dalem Arif Muhammad masih di Mataram. Hal tersebut dikarenakan naskah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, bukan Sunda.

Al-Quran Abad XVII M

Salah satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x 33 cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak memiliki penomoran halaman.

Al-Quran yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua warna tinta, yaitu hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut Jiji Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat buah manggis.

Namun Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz. Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12 kuras dan memiliki 143 halaman.

Naskah berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya penuh lubang kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya tidak terbaca. Hal tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang, termasuk Al-Quran ini, masih belum dirawat secara intensif.

Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.


Penelitian dan Harapan Pengelola

Museum Cangkuang banyak dikunjungi para peneliti naskah. Mulai mahasiswa yang melakukan penelitian sederhana hingga filolog yang concern terhadap manuskrip peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad. Namun hingga saat ini, pengelola museum mengaku belum dilakukan penelitian secara mendalam sehingga pengelola pun kesulitan menjelaskan kandungan isi naskah pada pengunjung.

Rupanya, harapan tersebut akan segera terwujud dengan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dedi Supriyadi, filolog sekaligus dosen Sastra Arab berjanji, tim akan menerjemahkan naskah tersebut untuk mempermudah proses sosialisasi naskah dan kandungannya. Hal tersebut juga penting dilakukan untuk mengungkap rahasia lain dari manuskrip peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad tersebut. Misalnya, tim peneliti telah mengungkapkan bahwa naskah yang sebelumnya disebut naskah khutbah Jumat ternyata belakangan diketahui adalah khutbah Idul Fitri. Hebatnya, naskah tersebut merupakan naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia!

3 komentar:

Pena IMM on 17 Juni 2009 pukul 10.03 mengatakan...

Eh.. menurut kamu pribadi, ada pengalaman mistik-mistik gitu gak, waktu melakukan penelitian ke kampung Cangkuang tersebut?
Pena IMM

Anonim mengatakan...

Gak ada sih, paling kudu rada jaim... tong loba heureuy... hese sigana bagi Dasam mah :)

Anonim mengatakan...

Sebuah info budaya yang mesti diapresiasi oleh kita semua.

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template