Rabu, 17 Juni 2009

Binatang dan "Kaulinan Barudak"

Oleh Reza Nugraha

Masyarakat Sunda tentu lebih tahu bagaimana menerapkan pendidikan anak dengan media permainan. Hal tersebut dikarenakan dalam tradisi Sunda, dikenal aneka ragam permainan anak. Permainan atau kaulinan dimainkan anak-anak di waktu senggang mereka di sekolah, sore hari sebelum maghrib, atau hari minggu. Mereka bermain bersama, baik hanya laki-laki atau perempuan, atau berbaur bersama.

Uniknya, banyak permainan yang namanya diambil dari nama binatang. Mulai dari ucing-ucingan (kucing), hahayaman (ayam), oray-orayan (ular), hingga permainan yang disebut paciwit-ciwit lutung dengan mencatut jenis seekor kera. Penamaan itu bisa jadi realistis karena pada prakteknya, banyak meniru tingkah laku dari nama binatang yang dicatutnya itu.

Pada permainan ucing-ucingan, harus ada yang bertindak sebagai ucing (kucing). Walaupun ucing-ucingan juga terbagi menjadi beberapa macam, ada ucing sumput, ucing nagog, ucing patung, dan lain-lain. Yang terpenting adalah ada yang menjadi ucing. Pada permainan tersebut, peran sentral dimainkan sang ucing. Ucing harus mencari atau mengejar lawan-lawannya agar menjadi ucing seperti dirinya.

Selain ucing, anak-anak pun dapat berperan menjadi hayam (ayam). Pada permainan hahayaman, selain hayam, peran penting dipegang oleh careuh (musang) yang harus berhasil mendapat hayam yang dikejarnya. Sayangnya, sang careuh tidak dapat leluasa mengejar hayam karena hayam dijaga oleh banyak pager (pagar) yang dimainkan anak lainnya.

Ada pula oray (ular) pada permainan anak-anak tersebut. Karena anak-anak harus berjajar sambil memegang pundak anak yang di depannya, maka terlihat seperti ular. Sambil mendendangkan kawih “oray-orayan luar leor mapay sawah, tong ka sawah parena keur sedeng beukah”, kepala oray harus mendapatkan buntut (ekor)-nya.

Sebetulnya unsur binatang dalam kehidupan masyarakat Sunda bukanlah hal yang baru. Bermula dari tradisi cerita rakyat (folklore) Lutung Kasarung hingga fabel seperti Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya. Pun dalam permainan anak yang juga melibatkan unsur binatang.
Namun demikian, ada salah satu pelajaran penting dari permainan anak-anak tersebut. Unsur binatang bisa jadi bukan hanya sekadar penamaan. Ada satu falsafah yang ditanamkan sejak dini, seperti pada suten atau suiten atau suitan. Suten adalah semacam mencari giliran dalam permainan yang masing-masing anak menunjukkan jempol, telunjuk, atau kelingkingnya.

Jempol menandakan gajah, telunjuk menandakan manusia, sedangkan kelingking menandakan semut. Siapa yang menunjukkan kelingking (cingir), maka ia kalah oleh telunjuk (curuk). Lalu yang menunjukkan telunjuk pun akan kalah oleh jempol. Hal tersebut mengandung pelajaran bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini.

Terlebih dari makna filosofisnya, permainan anak-anak Sunda mengajarkan kehidupan sosial sejak dini. Bahwa tak ada permainan yang dilakukan sendiri menandakan manusia tidak dapat hidup sendiri. Anak-anak pun mengenal sesamanya, mengenal peraturan, dan mengenal bahwa dalam hidup itu ada menang, kalah, dan saling membutuhkan.

Sayang, permainan anak-anak ini semakin tergerus oleh lingkungan dan makin asing termakan zaman!

3 komentar:

Pena IMM on 17 Juni 2009 pukul 09.41 mengatakan...

Duh, keur resep nulis budayanya?... good, Pena IMM butuh generasi baru pecinta budaya Sunda... truskan!

Anonim mengatakan...

Insyaallah... koleksi heula tulisan kang ukon... mau ditelek-telek dulu :)

Anonim mengatakan...

Perlu referen yang lebih mendalam untuk membahas sunda. Silakan baca"Kosmologi Sunda", karangan jacob simardjo!!

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template