Selasa, 30 Juni 2009

Lelaki Itu

Cerpen Reza Sukma Nugraha

Aku mengaguminya. Sewaktu shubuh, ia menjadi imam. Lantunan Fatihah beserta potongan ayat-ayat Ilahiah terdengar begitu meluluhkan hati yang mendengarkannya. Setiap yang mendengakannya? Aku tak tahu, yang jelas itu yang kurasa.
Setelah itu, ia membalikkan badan kepada para jamaah. Sekilas pandangku tertuju pada mata teduhnya, namun lekas kualihkan kedua indera penglihatanku ini. Kita semua duduk, mendengarkan tausiahnya dengan seksama.

Aku mengaguminya. Kalimat mayor yang selalu terbesit dalam hati sejak ia menjadi imam, kala itu.

♥♥♥

Aku memulai kuliah. Akhirnya Masa Orientasi Mahasiswa baru yang digelar Himpunan Mahasiswa selama sepekan lalu berakhir sudah. Aku senang. Tak ada lagi caci maki para senior. Tak ada lagi hukuman sportif, edukatif, atau rekreatif lagi. Sepekan lamanya, aku tak membantu ibu membuat kue dagangan. Sekarang aku kembali membantunya.

Namun, mungkin aku tak kan memasang telinga untuk mendengar dendang firman Allah dilantunkannya. Suara jernih yang selalu tersimpan dalam memori. Selaras dengan teduh parasnya yang bercahaya.

Masya Allah! Aku kembali terlena.

Mulanya kusimpan hal ini dalam hati. Terkunci rapat. Tak kan ada seorang pun yang akan kubagi cerita indah ini. Namun ku terlanjur bercerita pada Lili, teman baikku. Kurasa ia berhak tahu. Bahkan, sekarang kusadari ia wajib tahu hal ini. Karena sesungguhnya ku tak mau terlena dengan cerita penuh kemasyhuran dan kesenangan batin ini. Apa ini? Mengapa ku begini?
Aku mengaguminya. Kuulang kalimat itu pada Lili.

“Itulah pandangan pertama,” Lili berkata pendek. Kita duduk di pelataran mesjid kampus. Kumenengadah. Langit begitu cerah, batinku. Secerah hatiku. Namun sebetulnya aku gundah!
Ya. Memang Lili benar. Itu akibat pandangan pertamaku. Pandangan pertama memang diakui orang sebagai sesuatu yang menggoda, sarat keindahan dan ketakjuban akan yang dipandang.
Segera kutepis. Senyumku tiba-tiba datar. Memang benar pandangan pertama itu begitu menggoda, melenakan bahkan. Dan, kuakui itu adalah bagianku, hakku, milikku, atau mungkin rezekiku. Sepert yang dikatakan Rasulullah pada sahabat Ali bin Abi Thalib. Namun beliau mengatakan, bahwa pandangan berikutnya justru mencelakakan. Persisnya perkataan beliau, seperti pernah diungkapkan ustadzah Fatimah sewaktu ta’lim.

“Wahai Ali, jangan engkau susul pandangan pertamamu dengan pandangan yang lain, sebab pandangan pertama menjadi bagianmu sedangkan pandagan kedua dan seterusnya justru mencelakaknmu.”

Ahh…

“Nay,” Lili memecahkan fikiranku. Astaghfirullah, aku telah mengabaikan Lili yang semenjak tadi duduk di sebelahku.

“Sebaiknya kamu bilang aja sama dia terus terang.”

Aku memerhatikan ucapan Lili. Aku terdiam. Aku bukanlah orang yang pandai mengomentari ucapan orang. Jadi aku hanya diam. Sesekali aku hanya memberikan senyum pada Lili. Ingin sekali kubertanya, meminta pendapat lain, mengomentari pendapatnya, atau apa saja agar perbincangan ini tidak kaku, kosong, atau dingin, bahkan hambar tanpa interaksi yang hidup. Namun sekali lagi aku tak bisa. Mungkin Lili pun memahami watakku.

“Aku mengagumimu,” kalimat terpendek yang kukatakan waktu itu. Namun kukatakan dengan berjuta ton pemberat di bibir ini. Bahkan keringat tak sadar basah di berbnagai anggota badan. Namun setumpuk beban di dada baru saja musnah.

Di pelataran rumah Allah yang megah ini, kududuk bersebelahan dengan Lili. Sekira beberapa sentimeter, mungkin satu meter, duduk sesosok yang selalu buat malamku semakin berbintang, pagiku bersinar hangat, yang selalu merasuk menjadi buluh perindu dalam hari-hariku.
Ia hanya tersenyum, ketika sekilas kupandang. Hanya sekedar melihat ekspresinya, ketika begitu lancang seorang wanita yang semestinya begitu menjaga hatinya dari ucapan-ucapan yang semestinya tak ia ucapkan. Aku tak peduli.

Begitu panjang proses untuk akhirnya kuberkata seperti itu. Lagipula aku hanya berkata bahwa kumengaguminya. Apa ku salah?

“Tidak!” tepis Ridwan kala itu. Salah seorang teman baikku juga. Ia terlanjur tahu –entah dari mana—dan kuberanikan meminta pendapatnya. Ia dikenal dengan pendapat-pendapatnya yang brilian, cara fikirnya yang sistematis, tentunya dengan “wejangan-wejangan” yang bijak disertai solusi yang jitu. Walau ku harus maklumi, pendapatnya terlalu “gaul” dan mungkin kurang sesuai denganku. Ya, karena dia.... Ups, aku tak mau jadi ghibah.

“Bahkan lebih dari itu, lebih dari bilang sekedar kagum, kamu berhak, Nayla! Sekarang ini cewek nggak harus jaim tuk sekedar menyatakan maksud hati. Kalau terus kita diam, kapan si cowok tahu kalo kita suka sama dia. Nanti yang ada, kita sengsara.” Aku hanya tersenyum, menyimak pendapatnya. “Udah, sekarang beraniin aja bilang, aku yakin dia bukan tipe cowok yang akan menilai kamu yang enggak-enggak. Percaya deh!”

Kita memang satu jurusan, bahkan sekelas. Bisa jadi Ridwan lebih mengetahuinya daripada aku, karena mereka sama-sama lelaki. Sedang aku, hanya gadis pemalu yang tidak perlu mencari tahu tentang kesehariannya, seperti wanita lain yang sedang berburu idamannya, bahkan terkadang wanita itu harus mengorek-orek kesana-kemari tentang kehidupan pribadi idolanya dari teman atau kerabatnya..

♥♥♥

Sebuah SMS. Kubaca,

Maaf, tadi tidak sempat jawab.

Kubalas,

Tidak apa-apa. Malam begini, gi ngapain?

Baru selesai pengajian. Kamu sendiri, gi ngapain?

Lagi bantu ibu buat kue.

Ku balas tanpa pertanyaan. Aku bingung.

Nay, sebetulnya aku juga mengagumimu. Aku menyukaimu.

Sebuah senyum melebar di wajahku. Namun aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kuucapkan.

Aku memang mengatakan apa yang selalu mengganjal di ulu hati. Aku mengaguminya. Itu saja. Aku tak mengaharapkan jawaban, karena sebetulnya ku tak bertanya. Tapi ia berkata hal yang sama. Aku juga mengagumimu, kemudian, aku menyukaimu. Aku tak percaya apa yang ia ucapkan. Apa maksudnya? Apa ini…

Ya. Ini cinta. Yang semua orang punya. Perasaan dalam hati manusia yang telah lahir semenjak manusia lahir. Yang menurut Kahlil Gibran, keindahan sejati. Yang selalu dijadikan tema dalam setiap film, lagu, dan novel. Yang membuat dua insan bergandengan tangan, berduaan, bermesraan, walau tanpa ada ikatan yang syah…

Tiba-tiba saja aku bergidik.

Tapi ia bilang suka?

Apa ia memang memiliki perasaan cinta padaku?

Aku sendiri tak memahami diriku. Apa rasa kagumku hanya sebuah kiasan belaka. Padahal aku sendiri terjerumus pandangan yang membuat dampak seperti ini.

Aku tahu cinta itu kewajaran. Itu fitrah manusia. Kembali teringat perkataan ustadzah Fatimah, “Tak mungkin seseorang menghindar dari rasa cinta, kecuali orang itu keras hatinya, kurang waras alias gila.” Berarti aku memang merasakan cinta dan tak mungkin menghindar dari cinta.

♥♥♥

“Ly, aku nyesel dah bilang terus terang,” aku tiba-tiba mengadu pada Lili, siang itu.

“Kenapa nyesel?”

“Aku malu, masa wanita berani-beraninya…”

Lili memotong ucapanku, “Nay, daripada kamu terus-terusan dibebani perasaan, kan?”

“Nggak, pokoknya aku harus meluruskannya.”

“Meluruskan apa, Nay?” kata Lili sembari merapikan kerudungnya.

“Aku harus bilang, bahwa aku hanya mengaguminya, gak lebih,” kataku tenang.

“Kamu jangan bohongi perasaanmu, Nay!” kembali Lili menatapku tajam. Kuterdiam. Aku tak tahu harus bicara apa lagi.

Sebelumnya aku tunjukan sms darinya pada Lili. Memang semalam aku merenungkannya. Aku tak mau terus-terusan dirundung rasa yang begitu menggebu.

Tiba-tiba saja, malam itu, kuingin menepis rasa manis yang bersemayam di hati saat ini. Ku harus menghijab hati. Lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pemberi Cinta.

“Sudahlah, jalani saja!” Tiba-tiba Lili membubarkan lamunanku. Seperti biasa, ku hanya diam dan tersenyum. Senyum yang menyembunyikan rumitnya permasalahan batin ini.

Ridwan muncul di depan kita. Ia mendekati kita. Awalnya ku malu melanjutkan pembicaraan dengan Lili. Namun tak ada salahnya Ridwan ikut berpartisipasi dalam kegelisahanku, ya, untuk dapat pemecahannya. Mudah-mudahan. Kita bertiga berdiskusi seperti merundingkan suatu perkara yang teramat penting. Padahal kurasa ini bukanlah hal yang penting. Sangat tidak penting, bahkan!

♥♥♥

“Ya, aku lumayan pusing juga sih,” ucp Ridwan saat mendengar keluhanku. Ia menghela nafas panjang. “Takutnya, pendapatku gak sesuai yang kamu inginkan. Aku gak bisa ngasih solusi yang gimana gitu…”

Aku mengerti apa yang ia ucapkan. Ia mungkin canggung denganku. Ia mungkin takut kalau solusinya –lagi-lagi—gak terlalu religius. Padahal kan tidak semestinya begitu. Toh aku ini wanita biasa-biasa saja, sama seperti teman yang lain. Hanya saja, sebutan sebagian teman, yakni “akhwat,” kadang membuatku malu karena membuat mereka, apalagi laki-laki –seperti Ridwan—menjadi terlihat canggung.

“Nay, yang saya tahu cinta itu rahmat dari Allah. Maka beruntung Nay bisa merasakannya.”
Aku dan Lili hanya diam memerhatikan Ridwan. Sebetulnya aku ingin tertawa geli , apakah Ridwan menyadari ucapannya begitu “dalam” dan islami.

“Nay mungkin lebih tahu ayat-ayat Al-Quran mengenai ini, seperti Ali Imron 14 atau At-Taubah 24, dan yang lainnya.”

Kulihat Lili tersenyum. Pasti yang ia rasakan sama denganku, terpukau mendengar Ridwan berbicara dalil, walau hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya. Padahal kuyakin, ia hafal bunyinya.

“Jadi mengingat rasa cinta itu datang dan diciptakan oleh Allah, mengapa harus kita sia-siakan, harus kita tepis, atau bahkan kita bunuh? Yang harus kita lakukan sekarang hanyalah membangun cinta itu dengan iman. Karena iman yang akan mengingatkan kita, bila ada yang terlarang akan kita lakukan!”

Hening sejenak. Tak satupun diantara kita yang berbicara.

“Tapi aku gak begitu, kamu salah duga,” aku terpaksa bicara.

“Salah duga bagaimana?” Tanya Ridwan serius.

“Aku sebetulnya ngaak…,” aku ragu mengucapkannya.

“Gak cinta?” Sambung Ridwan cepat. “Sudahlah, Nay. Kamu jangan memungkiri hati kamu sendiri..”

Aku kembali terdiam. Lili pun begitu.

“Rasa kagum itu hanya di mulut saja. Ketika kamu bicara berdua, eh bertiga, dengannya, kamu gugup. Di kelas bertanya atau menyapa, malu. Nay, kamu kan tahu, menurut imam Syafi’i, kalau perkataaan yang runtut menjadi kacau dan rahasia tersembunyi menjadi mencuat, itulah cinta!”
Lagi-lagi ku tak menduga dengan pendapat Ridwan. Anak gaul yang juga anak band ini begitu bijak bahkan bernuansa islami sekali. Bila ku berani, inginku acungkan dua jempol untuknya.

“Tapi kan gak ada konsep pacaran dalam Islam?” Aku bingung harus bilang apa lagi.

Kutanyakan hal ini saja. Entah apa yang akan Ridwan katakan.

“Aku gak nyuruh kamu pacaran, kok. Tadi aku udah bilang, kalau cinta dilandasi iman, maka yang terlarang akan urung dilakukan, termasuk pacaran. Cinta yang begitu indah akan ternoda bila tidak dilandasi hal itu.”

Pebincangan ini seperti milikku dengan Ridwan saja. Kulirik Lili yang dari tadi tak bergeming menatap Ridwan. Apa Lili masih terpana melihat Ridwan yang sungguh di luar dugaan.
“Jadi, gimana? Aku gak ngerti maksud kamu..”

“Pacaranlah! Buat sebuah kemesraan percintaan. Tumpahkan rasa kagum itu padanya. Sandarkan hati dalam ketenangan iwa bersamanya, tentunya dalam sebuah ikatan yang halal!”
Aku terperanjat.. Ikatan halal? Maksudnya, aku harus…

“Ah, yang jelas aku gak mungkin ngelakuin itu. Wan, aku ingin melupakannya!”

“Kenapa tak mungkin?” Kita bukan lagi anak SMP atau SMA. Menikah itu mungkin-mungkin saja. Tapi ya… kalau kamu tetap ingin melupakannya, tak ada cara lain. Jangan curhat padaku, tapi curhatlah pada Yang Maha Mendengar. Serahkan semuanya pada Maha Pemberi Cinta.
Dalam shalat malam, teruslah meminta petunujuk dari-Nya agar kamu dapat segera menyelesaikan hal ini.”

Sebuah tepuk tangan. Lili yang dari tadi diam menghentak tepuk tangan.

“Uhhh… pak Ustadz, keren banget tausiahnya!” pujinya pada Ridwan. Ridan tersenyum geer.
Aku diam, diam, dan diam. Namun sebetulnya kumerenungkan kata-kata Ridwan. Apakah sudah buntu jalan dari manusia sehingga ku harus mengembalikan semuanya pada Allah.
“Nay, sudah hampir Ashar, kita ke mesjid sekarang!” Lili melirik jam, ia mengajakku ke mesjid sekarang. Kita berdiri bergegas.

“Oh ya, Nay. Kalau kamu ngerasa belum mampu. Tenang saja! Kamu tahu kan bagaimana firman Allah dalam An-Nur 33?”

Aku tersenyum mengangguk. Lili menepuk bahu Ridwan. “Uhh… aku semakin terharu,” ucapnya sambil tertawa.

Aku segera pergi ke mesjid bersama Lili. Tak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada Ridwan..

♥♥♥

Malam ini sulit mata terpejam. Kumerenungkan semua ucapan teman-teman, Lili dan Ridwan.
Aku mengaguminya. Selalu terbesit dalam angan, kalimat itu. Apa jalan terbaik dari semua ini adalah apa yang diucapkan Ridwan tadi?

Menikah. Aku bukan tak mau. Mustahil, bila aku tak mau. Aku tetap akan menjalankan apa yang dilakukan Rasulullah sebagai sunnahnya. Karena ku tak bisa menjadi Rabiah Al-Adawiyah, yang begitu cinta pada Sang Khaliq, sehingga menolak lamaran Abdul Wahid bin Zaid, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi, sampai yang terkenal, Hasan Basri.

Tetapi permasalahnnya, apakah lelaki itu mau?

Teringat ucapan Lili sehabis Ashar tadi.

“Ia santri. Ia begitu sholeh dan tawadhu. Ia juga pintar. Yang jelas ia pantas bagimu. Apa yang kamu mau, pasti ia mau. Apa yang kamu tak mau, ia pun pasti tak mau.”

Ahhh. Mengapa kegundahanku melebar hingga berujung pada menikah. Namun ku harus memerhatikan ucapan terakhir Ridwan bahwa ku harus menyerahkan semua pada Sang Maha Pemilik Cinta, Pemberi Rahmat dan Fitrah.

Segarnya tetesan air suci membasahi semua anggota wudhu. Kuambil mukena, dan kuhamparkan tempatku bersujud tuk mengahadap Keindahan Tiada Tara. Akan kupanjatkan beribu puji kepada-Nya, karena hanya Dia yang patut dipuji.

Dan kepada lelaki itu, aku mengaguminya. Hanya mengaguminya.

1 komentar:

Pena IMM on 24 Juli 2009 pukul 07.32 mengatakan...

good story

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template