Rabu, 02 September 2009

Terbang Bersama Malaikat

Cerpen DASAM SYAMSUDIN

PENA IMM-Sinar matahari menabraki dedaunan dan bunga-bunga yang tumbuh di
halaman rumah. Sinarnya menembus setiap celah kecil antara dedaunan
dan bunga-bunga itu, meloloskan gelombang foton yang memancar dari
pijarnya. Sosoknya yang bulat raksasa terlihat pecah-pecah, terhalang
tetanaman bunga dengan dedaunanya yang bergoyang-goyang ditiup-tiup
angin. Di balik jendela kamar aku mengintip Charli—dia adikku—yang
sedang menunjuk-nujuk langit. Tubuh adikku yang baru berusia tiga
tahun, diam terpaku memperhatikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu
apa yang sedang dia tunjuk dan dia perhatikan. Tapi, dari balik
jendela aku mencoba menebak-nebak, mungkin dia sedang memperhatikan
sesuatu yang terbang. Tapi apa yang terbang itu? Itu yang aku pikir.
Aku mencoba menebak lagi, mungkin hewan yang kecil. Karena dari balik
jendela dan dengan jarak yang agak jauh, hewan kecil itu tidak bisa
aku lihat.

Melihat adikku yang bergerak-gerak, berjalan dengan bebas walau masih
tertatih-tatih, aku merasa iri. Hampir sebulan aku tidak merasakan
bagaimana rasanya berjalan dengan kaki sendiri. Kecelekaan motor yang
terjadi sebulan yang lalu membuat kedua kakiku patah. Aku terkadang
merasa bingung sendiri. Kenapa aku bisa jatuh dari motor. Padahal
waktu itu jalanan terasa aman, dan aku sendiri sudah sangat mahir
menyetir motor.

Waktu itu, kala langit senja berwarna merah akibat pancaran sinar
matahari yang sedang berjalan keperaduannya, aku sedang memacu motor
Ninja RR (baca: Ninja Double R)—pemberian ayahku sebagai hadiah Ulang
Tahunku yang kedua puluh tahun—dengan kecepatan normal. Tidak lambat
tidak juga cepat, setidaknya menurutku. Saat itu aku memperhatikan
langit senja yang betul-betul terlihat merah, merah di mana-mana,
pikirku, memperhatikan langit senja yang menurutku terkesan
menyeramkan. Langit seolah-olah menyala, berpijar bagaikan bara api
raksasa. Mungkin karena memandang langit yang seolah berpijar itu, aku
sampai tidak memperhatikan jalan, dan akhirnya motorku tak terkendali
sehingga menabrak sebatang pohon yang tumbuh liar di tepi jalan.

Sebetulnya, sebelum aku terjatuh dengan motorku. Di langit yang merah
itu, aku melihat sesosok, atau sebuah benda, ah, atau apalah, aku
tidak tahu. Yang pasti aku melihat sesuatu melesat di langit, semacam
kilat. Tapi itu bukan kilat, sebab sesuatu yang terbang itu besar dan
bentuknya seperti seorang manusia yang menyala karena pijar cahaya
dari dirinya, dan karena terbang itu pakainnya terlihat
merumbai-rumbai. Aneh! Sungguh! Sesosok yang terbang itu, yang tadinya
terbang lurus dari arah Timur ke arah Barat, tiba-tiba saja ia
berbelok, terbang ke arahku. Aku bisa melihatnya agak jelas saat dia
semakin mendekat. Itu seperti seorang manusia, tapi tubuhnya lembut
seolah terbuat dari cahaya. Sebab saat sosok itu terbang meluncur
menabraku, dia tidak bisa menyentuhku, dia menembus tubuhku.

Sebetulnya, lantaran sesosok yang terbang itu, aku sampai menabrak
pohon yang tumbuh liar di tepi jalan dengan keras. Tapi alasan aku
jatuh karena melihat sosok yang terbang tidak ku beritahukan pada
siapa pun, sebab orang-orang tidak akan ada yang percaya, termasuk ibu
dan ayah. Karena kecelekaan itu juga kakiku lumpuh, dan sekarang tidak
bisa digunakan untuk berjalan. Kata dokter, tidak lumpuh kakiku hanya
untuk sementara waktu, hanya sebentar, sekitar dua bulan lagi akan
sembuh total. Kuharap ucapan dokter benar, aku sudah bosan duduk terus
di kamar yang semakin hari serasa semakin pengap saja.
***

Ibu dan Charli masuk kamarku. Ibu menawari aku makan, tapi aku
menolaknya. Walau lapar, karena tidak berselera, aku memilih untuk
tidak makan. Aku lebih suka minum yang manis-manis. Setelah bosan
membujukku, ibu meninggalkan aku. Mudah-mudahan ibu tidak marah
menyikapi kelakukanku ini.

Sebelum menutup ibu pintu, aku memanggil Charli, memintanya untuk
menemaniku. Ibu pun membiarkan kami berdua di kamar ini. Ibu agak
mengernyitkan dahi, sebab tidak biasanya aku akrab dengan Charli.
Sepertinya Charli senang menemai aku. Tanpa banyak kata setelah aku
memanggilnya, ia langsung memanjat ke ranjangku, dan duduk di
sampingku sambil tersenyum-seyum. Baru kali ini aku merasa sayang pada
Charli, biasanya aku tidak pernah memperhatikannya, selalu cuek,
bahkan sering membuatnya menangis karena keasyikan bermainnya selalu
aku ganggu.

Aku bertanya pada Charli, tentang apa yang dia tunjuk-tunjuk saat
sedang bermain di halam rumah. Aku terhenyak setelah mendengar
jawabannya, walau dia mengatakannya dengan terbata-bata dan kurang
jelas sebab cedalnya.
“Aku melihat olang telbang…” kata Cahrli sambil merentangan tangannya
meniru burung yang mengepakan sayap.
“Terbang! Apa yang terbang, Charli?...” aku berkata sambil membetulkan
posisi duduk, dan memegang kedua pundak adikku, menatapnya serius.
“Olang pake baju walna putih telbang” Charli mengucapkannya masih
sambil mengepak-ngepakan tangan.
Aku banyak bertanya pada Charli, dan berusaha keras memahami
kata-katanya yang terbata dan cedal itu. Aku semakin terhenyak. Sebab
apa yang diucapkan Charli tidak mungkin bohong, “dia masih bersih”.
Kata orang-orang anak seusia itu selalu mengatakn hal yang sebenarnya
dari apa yang dilihatnya. Dan, yang tadi Charli lihat di halaman rumah
adalah sesosok yang sama-sama aku temui tempo hari. Yang gara-gara ia
terbang kearahku aku sampai menabrak pohon.

Charli turun dari ranjangku, dan berlari kecil sambil
mengepak-ngepakan tangannya meniru burung terbang meninggalkan aku
tanpa berkata apa-apa. Aku juga membiarkannya pergi dan tanpa
mengatakan apapun. Mungkin karena tidak percaya dengan apa yang
diucapkan Charli aku jadi mengacuhkannya. “tidak mungkin?!” pikirku
dalam hati. “Siapa atau apa dia?” ucapku dengan nada tertahan.

Pikiran tentang sesosok makhluk yang terbang itu membuat aku
penasaran. Aku mencoba mengingat-ingat sosok itu. Tempo hari aku
melihatnya tidak jelas, sebab laju luncur terbangnya begitu cepat.
Sulit untuk dikenali. Tapi aku yakin, yang terbang kearahku itu mirip
manusia, namun aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Wanita atau
laki-laki, aku tidak tahu. Wajahnya terlalu terang oleh cahaya yang
memancar, hanya terlihat silau-silau, putih dan samar. Aku pun mencoba
memeras pikiran untuk mengingat gerakan dan posisi makhluk yang
terbang itu. “mengapa dia berbelok kearahku? Mengapa ia menabraku?”…
Oh, Tuhan! Aku tahu. Dia bukan mau menabraku, tapi sosok yang terbang
itu mau menangkapku. Setidaknya memang seperti itu aku melihatnya. Aku
yakin, sebelum dia menyentuhku, dan sebelum aku memejamkan mata karena
takut, aku melihatnya merentangkan tangan seolah akan menangkap aku.
“Lalu untuk apa ia menangkap aku? Mau membawa aku, kah? aku semakin
penasaran, dan aku takut. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku
gemetar. Dan akhirnya aku memanggil ibu. “Ibu!!!...”
***

Di sampingku Charli sedang duduk sambil memijat-mijat tanganku. Aku
mengusap-ngusap kepalanya. Semakin hari aku merasa semakin
menyayanginya saja. Di tepi ranjang aku juga melihat ayah yang sedang
duduk, tertunduk dan, air mukanya menunjukan bahwa dia sedang
bersedih. Aku tidak bertanya apa-apa pada ayah, tidak juga menanyakan
kenapa dia sudah pulang dari kantor.
“Charli, mana ibu?...” Charli diam saja waktu aku bertanya, dia hanya
terus memijat-mijat lenganku yang sebetulnya tidak apa-apa, menurutku.
“Ibu di ruang tamu, sedang berbicara dengan dokter…”Ayah tidak
meneruskan kata-katanya, ia juga tidak melihat wajahku saat berbicara.
Dan aku juga tidak bertanya apa-apa lagi padanya.

Aku merasa heran? Kenapa ayah dan adikku duduk bersamaku sore ini. dan
kenapa juga ada dokter dirumahku, siap yang sakit selain aku?
Mungkinkah itu dokter yang telah memeriksaku. Sungguh, hari ini terasa
membingungkan. Aku juga tidak tahu ini hari apa? Hal terakhir yang
bisa kuingat adalah aku memanggil ibu sebab merasa takut oleh bayangan
tentang sosok yang terbang, setelah itu aku tidak tahu apa-apa. Dan
hal itu terjadi rasanya baru hari kemarin. Ah, semua ini membuat aku
bingung. Dan aku juga enggan menanyakan pada orang-orang yang ada di
sekelilingku, tentang semua ini.
Ibu masuk kamarku. Lagi-lagi aneh? Ibu berjalan menuju ke arah aku
berbaring diranjang, dia menangis terisak-isak, airmatanya jatuh
satu-satu menetesi lantai yang berwarna putih. Lama-lama aku muak
dengan keadaan seperti ini. Seolah-olah ada sesuatu yang mereka
sembunyikan dariku. Aku memalingkan pandangan dari ibu yang sedang
mengusap-usap kepalaku, dan ia juga mencium keningku. Aku melihat
pemandangan di balik jendela, di sekitar tanaman bunga yang kemarin
Charli menunjuk-nunjuk langit di situ. Aku juga melihat langit. Langit
begitu biru, luas dan indah dengan awan gemawan yang menebar sekenanya
di pojok-pojok langit. Matahari yang dihimpit dua awan putih dan
bersih terlihat samara-samar. Aku terus menatap langit. Terus
memandangnya sampai-sampai antara pikiran dan penglihatanku mendapati
langit seakan-akan berubah menjadi kain berwarna biru dan tipis, yang
memungkinkan apa-apa yang ada di balik kain itu terlihat walau
samara-samar. Dan, aku memang merasakan di balik kain biru itu ada
sebuah singgasana yang sangat megah, lengkap dengan tetamanan yang
menghiasi, dan sungai-sungai yang menggurat-gurat kawasan singgasana
itu.

Air mata ibu menjatuhi keningku, membuat aku sedikit kaget, dan
memudarkan seluruh bayangan singgasana yang ada di balik langit dari
alam pikiranku. Aku memperhatikan seluruh keluarga, ayah, ibu dan
adikku. Aku mendapati air muka mereka menunjukan suatu kesedihan. Aku
memperhatikan mereka dalam-dalam dan baru kali ini aku merasa, aku
sangat menyayangi mereka, aku beruntung jadi bagian dari kehidupannya.
Airmata meleleh di pipiku, aku membiarkannya mengalir pelan, sebab
tenagaku sudah hilang, sekedar mengangkat tanganpun aku tak mampu.
Sekarang aku merasa sangat lemah, nyeri dan sesak. Nafasku
tersenggal-senggal, jantungku berdegup pelan seolah kehilangan
kekuatannya. Aku mau bertanya dan berkata-kata pada ayah dan ibuku,
tapi aku terlalu lemah, bibirku hanya bergetar-getar pelan, tanpa
mengeluarkan suara, semua kata seakan terkurung di dalam kerongkongan.
Tubuhku serasa semakin lemah, beberapa paku terasa menusuk-nusuk organ
tubuhku.

Charli yang duduk di sampingku tidak lagi memijat tanganku. Dia tengah
memperhatikan langit di balik jendela. Aku pun melihat apa yang sedang
dia lihat. Astaga! langit yang tadi biru, indah dengan paduan awan
putih dan matahari yang samara-samar ternyata telah berubah. Berubah
menjadi merah, merah di mana-mana. Langit seolah menyala-nyala
layaknya bara raksasa. Aku pernah melihat pemandangan seperti ini,
sebelum aku menabrak pohon yang tumbuh liar di tepi jalan saat
mengendarai motor pemberian ayah. Aku terhenyak menyaksikannya semua
ini, langit senja memang biasanya merah, tapi langit senja kali ini,
merah seperti arang yang masih berpijar, merah dan menyala. Aku
menebak-nebak akan mendapati sesosok yang terbang di kolong langit
yang seperti menyala, merah dan menyeramkan itu. Lama aku
memperhatikan langit yang semakin lama semakin merah, namun aku tidak
mendapati sosok yang terbang itu. Aku mengalihkan pandangan, tiba-tiba
aku rindu melihat wajah ayah, ibu dan adikku. Padahal hanya beberapa
detik aku tidak melihat wajahnya, tapi aku merindukannya.

Oh, Tuhan! Aku tidak bisa meliht wajah ayah, ibu dan Charli. Aku hanya
mendapati pemandangan putih, putih dimana-mana. Sesosok yang terbang
tengah berdiri di hadapanku. Cahaya yang memancar dari tubuhnya
menyembur kemana-mana, membuat kamarku sera terisi kabut-kabut putih,
dan hanya putih terlihat. Aku mencoba mengenali wajahnya. Cahaya yang
menyala-nyala membuat wajahnya tetap samar. Aku yakin, sosok yang
tengah melayang di hadapanku ini adalah Malaikat. Aku tahu itu, sebab
tiba-tiba saja aku mengenalnya, seolah-olah ada yang berbisik di
telingaku, mengenalkannya padaku, itu Malaikat.

Malaikat yang tengah melayang di hadapanku mendekatiku, dia tersenyum.
Aku bisa melihat wajahnya tersenyum walau samara-samar, dan aku merasa
sejuk melihat wajahnya yang terlihat indah. Memang aku tidak tahu
apakan dia tampan atau cantik, yang aku rasa dan saksikan wajah
Malaikat ini indah, bercahaya, berseri dan menyejukan. Dia semakin
mendekat. Setelah jarak antara aku dan dia sangat dekat. Malaikat itu
pun mengulurkan tangannya, membuka jemarinya yang terkepal. Aneh, aku
merasa uluran tanganMalaikat itu bukan untuk mengajak aku pergi,
apalagi memaksa aku untuk pergi mengikutinya. Aku merasa dia sedang
menyambutku. Menyambut seseorang yang lama meninggalkan tempat
asalnya. Oh, malaikat ini menyambutku dengan sangat sopan, sehingga
aku merasa bahwa aku harus menyambut hangat uluran tangan sang
Malaikat. Walau merasa takut, aku berusaha tersenyum dan tenang.
Sekarag aku berdampingan dengan Malaikat. Dan, Malaikat tubuhnya
lembut serasa kapas dan bersinar-sinar ini, membawaku terbang, terbang
ke suatu tempat yang sepertinya aku tahu apa dan di mana tempat itu.
Aku menundukan kepala untuk melihat ayah, ibu dan adikku. Mereka semua
sedang menangis sesenggukan. Ibu memeluk tubuhku yang terbaring dengan
mata yang terpejam, dan terkadang mengguncang-guncang tubuhku. Dan,
ayah memeluk adikku, mendekapnya erat, mereka berdua juga menangis.
Menyaksikan itu aku tidak merasa heran. Justru aku tenang. Aku terbang
bersama malaikat.
Aku tidak merasa sudah mati. Aku hanya merasa telah terbang bersama Malaikat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template