Selasa, 01 September 2009

Terorisme Anak Muda

Oleh Reza Sukma Abdullah

Pena IMM-Kalau disebut-sebut jaringan teroris semacam Noordin M Top lebih senang merekrut anak muda, saya (agak) setuju. Kenapa? Karena sebagai anak muda, saya pernah mengalami setidaknya dua tindak terorisme atas nama agama. Hal tersebut saya alami ketika pertama kali mengenal Kota Bandung.

Saya, yang datang dari kota biasa –untuk tidak bilang dari lembur—menyesuaikan diri di kota baru ini dengan bergaul dengan teman sebaya. Karena, saya tak punya keluarga yang dekat atau teman lama. Mungkin hal tersebut yang membuat seorang senior mendekati saya seolah-olah mau mengenalkan dunia baru bagi saya. Itulah kiranya tindakan meresahkan atas nama ideologi yang saya alami pertama kali.

Lelaki itu cukup perhatian. Ia memberi petunjuk, seperti apa dunia kuliah, seperti apa hidup di Bandung, seperti apa bergaul dengan orang-orang di Bandung, dan banyak lagi. Akhirnya, ia pun nge-kos di dekat kos saya. Lama-lama ia banyak diskusi dengan saya, termasuk diskusi mengenai Islam.

Hal sama juga dilakukan seorang teman yang saya kenal pertama saat ujian masuk kampus ini. Setelah lulus, ia menawari saya mengikuti pengajian di daerah Cicaheum. Anehnya, ia wanti-wanti agar saya tidak mencurigai ajakannya. Katanya, pengajian itu cuma pengajian Al-Quran biasa. Tak perlu pakaian khas orang mengaji, tak perlu berpenampilan gaya ikhwan. Loh, karena ia bilang begitu malah saya jadi curiga!

Berbulan-bulan kedua teman itu banyak mengajak diskusi. Apalagi senior saya yang lebih intensif berkunjung ke kos, banyak bicara ini-itu. Hingga suatu saat, ia banyak berdiskusi masalah Islam. Karena latar belakang keilmuan saya mayoritas adalah sekolah umum, yang porsi keagamaan sangat minim dan pendidikan agama sepenuhnya jadi tanggung jawab ortu, saya tak banyak tahu soal-soal yang menjadi bahan diskusinya.

Singkatnya, kedua doktrin yang mereka tawarkan pada saya adalah konsep suatu masyarakat yang mereka sebut masyarakat Islam—iseng-iseng saya menerjemahkan ke dalam Bahasa Arab Jamaah Islamiyah—yaitu masyarakat yang berpegang pada hukum-hukum Allah. Denga menyitir surat Al-Maidah ayat [44], mereka menyebut bahwa saat ini, kita sedang dalam kuasa yang kafir yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah. Maka, saat itu saya masih kafir, lantas kedua ortu saya masih kafir, teman sekitar yang tidak masuk golongan ini juga kafir yang halal darah dan harta bendanya.

Walau sebagai remaja yang awam dalam hal tersebut, saya dapat meyakini tawaran mereka bukanlah kebenaran bagi saya. Saya menggugat konsep mereka dengan argumen-argumen semampu otak saya berpikir. Hingga satu kawan mundur teratur.

Namun, karena keingintahuan saya akan kemana akhir dari tawaran ini, saya sengaja mengikuti rangkaian cerita dakwah ini. Senior saya mengajak saya untuk memasuki dunia baru itu dengan proses baiat. Sebuah perjanjian mengikat yang jadi syarat wajib mengenal masyarakt Islam tersebut. Di malam hari, saya ikuti kemana kita akan melaksanakan ruwatan baiat itu.

Situasi makin kacau saat saya harus intensif mengikuti pengajian yang dilaksanakan di Bandung wilayah utara. Pengajian itu wajib hukumnya diikuti walau mengabaikan perkuliahan, waktu yang mepet ke shalat maghrib, dan meski kita lagi bokek. Parahnya, lambat laun kantong makin mengering akibat desakan untuk berinfak. Konon, makin lama infak akan semakin diwajibkan dan besarannya ditentukan. Saya makin muak dengan apa yang mereka yakini itu benar. Setelah tahu sedikit apa yang ada di dalamnya, saya rasa harus mulai lari dan menjauh dari komunitas ini, yang belakangan saya tahu komplotan ini ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Lari, namun sulit menghindar dari teror-teror yang mengusik saya di hari-hari pertama. Fisik, psikis, lewat handphone, email, bahkan mengejar langsung hingga ke kos!

Tindakan meresahkan atas nama ideologi yang kedua datang saat saya sudah cukup mikir. Saat saya masih kuliah di semester lima. Kondisi psikologis yang cukup rumit dijelaskan menyebabkan saya mengenal seorang teman yang nampak seperti juru selamat. Kata-katanya seperti motivasi yang berupa obat hingga saya dapat berdiri, bangkit dari keterpurukan.

Di tengah gundah, konflik batin selama ini atas beragam pencarian, seorang teman banyak bicara mengenai hakikat Tuhan dan kebahagian hidup. Semula saya pikir ia pandai berfilsafat hingga saya tertarik untuk belajar padanya. Suatu saat, ia menawari saya mengikuti suatu pengajian yang saya lupa namanya, di Bandung wilayah kota. Katanya, di pengajian itu kita akan mendapat pencerahan spiritual dan mengetahui hakikat kebahagiaan.

Saya yang merasa sangat bodoh saat itu begitu takluk di depannya. Rasanya, saya tak ingat bahwa apa yang ia katakan bukan selalu berarti benar. Jujur, saat itu saya begitu tunduk dalam kata-katanya. Saat saya menulis ini, saya bisa menggugat. Tapi, saat itu saya begitu terbuai dengan ucapan-ucapannya yang banyak menyitir ayat Al-Quran. Bahkan ia menafikan hadits Rasul.

Suatu saat, saya diminta untuk meneguhkan diri menjadi pengikut perguruannya. Perguruannya ada di wilayah Jatinangor. Doktrin yang paling melekat pada diri saya saat itu, bahwa penyebab semua masalah yang saya hadapi adalah karena keraguan saya pada Allah. Keraguan itu berupa penghambaan saya pada makhluk, seperti orangtua, teman baik, bahkan mungkin kekasih. Dan, untuk menebus kesalahan itu, maka saya perlu banyak uang infak sesuai dengan dosa besar yang saya lakukan itu.

Saat itu pula, saya berusaha mendapatkan uang agar bisa mencerahkan diri dan membebaskan jiwa dari mahadosa yang saya perbuat. Akhirnya, terjadi proses pembaiatan dan ada perjanjian hitam di atas putih. Saya akan melaksanakan seluruh persyaratan sesuai tertulis di atas surat yang bermaterai itu. Gilanya, saya rasa saya melakukan itu semua di luar kendali, di luar kesadaran saya! Hingga, saya kembali dan merasa betul bahwa hal tersebut adalah kebohongan besar.

Demikian, dua kisah kebodohan seorang anak muda yang diperalat oleh teror-teror atas nama agama. Saya malah merasa, kedua “aliran” tersebut lebih layak disebut penistaan terhadap Islam dan penyimpangan pada ajaran-ajarannya. Namun, saya tak mau terjebak pada bahaya laten khawarij, mudah mengkafirkan dan menyalahkan keyakinan sesama manusia. Hanya saja, saya merasa kedua paham itu meresahkan dan merugikan setidaknya bagi saya pribadi. Bagi Anda, silakan menjadi refleksi bersama.

0 komentar:

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template