Oleh Cecep al-Sumatrani
Jangan menunggu mood. Kalimat itu yang sering saya ingat sampai sekarang semenjak saya membaca beberapa artikel yang berkenaan dengan motivasi menulis. Juga hasil beberapa diskusi bersama teman-teman satu komunitas kepenulisan. Memang benar adanya. Dan itu yang saya rasakan selama ini jika ingin memulai menulis.
Mood menulis, hilang sama sekali dalam benak saya. Dalam ketiadaan mood itulah saya manfaatkan untuk terus menulis. Dan menulis terus. Apapun jadinya, saya tak pernah berpikir ini jelek-bagus terlebih dahulu Mau panjang, atau pendek. Bagi saya itu tidak masalah. Yang masalah adalah jika saya tak menulis satu huruf pun. Apapun yang terlintas dalam pikiran, itu saya hantam. Saya tulis.
Saya menulis untuk detik ini, jujur, gak ada mood sama sekali. Awalnya,saya terus berpikir, mau menulis apa,ya? Dari pada berpikir lama dan lama mikir, saya akhirnya menulis apa yang sedang Anda baca ini. Sepertinya, ini yang akan saya tulis. Sebenarnya, sepulang dari kampus, saya melewati lorong-lorong jalan. Yang di kanan-kirinya komplek kos-kos mahasiswa.
Ketika asyik berjalan, saya melihat ada anak-anak sedang berkumpul dan bercengkerama sesama teman-teman sepermainannya. Dari obrolan mereka, saya hanya menangkap satu percakapan mereka. Atau saya sempat mendengar, ada ucapan yang diucapkan oleh salah satu dari mereka. Kalau tidak salah, berarti benar. Yang mengucapkan itu seorang lelaki. Kira-kira, jika ia sekolah, pantaran SD kelas 6.
Lelaki itu, sambil memanggil temannya pula.”Wey! Isuk tempo inbox,nya? Alus sia euy, aya mbah Surif!”. Itu kira-kira yang saya tangkap apa yang diucapkan ketika saya melewati sebuah lorong yang tak jauh dari kampus saya. Saya terus berjalan,meski kaki reot saya terasa ada yang berbunyi. Mungkin, ada yang lepas beberapa baut kaki. Sudah usang nampaknya. Perlu Anlene. He.
Bukan hanya berjalan yang saya lanjutkan, tetapi pikiran saya semakin liar semenjak apa yang telah saya dengar barusan. Apa pasal? Bukan pasal 28 ayat 1 dan 2. Bukan sama sekali. Tapi ada yang membuat saya iri dari obrolan anak-anak kecil tadi. Kok,iri? Boleh,ya iri? Bagi saya pribadi, iri untuk memotivasi sangat diperbolehkan. Bahkan, jika ada yang melarang pun, saya coba pikir-pikir dulu, mengikutinya, atau saya mengkaji terlebih dahulu.
Saking liarnya pikiran saya, sampai ke sana apa yang saya tulis. Yang membuat saya seperti itu, dan membuat saya menulis, adalah anak-anak tadi. Sekali lagi, anak-anak itu yang salah. Hingga, anak-anak itu jadi korban tulisan saya. Mudah-mudahan mereka tidak tahu, ternyata, percakapan mereka ada yang menyadap. Sepertinya, anak-anak itu kurang pengamanan. Mereka, di areanya tidak menggunakan CCTV. Jika mereka memakai, tak mungkin saya capek-capek menuliskannya. Beruntung lah saya, karena dari mereka saya tahu dunia anak-anak, serta apa yang mereka pikirkan dan inginkan. Begitukah Anda?
Tak banyak sebenarnya apa yang ingin saya tulis berkenaan dengan percakapan anak-anak tadi. Eh,sekedar berbagi info dengan Anda. Apakah Anda tahu, bagaimana saya menulis tulisan ini? Saya kira Anda belum tahu, karena memang belum saya beri tahu. Saya menulis tulisan ini, menurut saya sangat enjoy. Seenjoy Anda membaca tulisan ini. Saya menulis, sambil ditemani Hock Guan Rose Cream Biscuits dan lagu-lagu yang sedang booming saat ini. Misalnya, Tak Gendong-nya mbah Surif, KCB-nya Melly, Muhasabah Cinta, dan sesekali mengenang bintang pop dunia yang baru saja dimakamkan. Dimakamkannya pun, katanya, tanpa otak. Atau lagu-lagu yang dikira bisa menyejukkan hati. Apakah lagu-lagu Jacko menyejukkan hati? Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung siapa kita.
Dengan cara seperti itu, yang tadinya menulis itu sebuah beban, kini beban itu berubah menjadi ringan. Bahkan mengasyikkan. Ini pun tidak bisa dinikmati bagi kita yang belum mencoba. Hindari,kata-kata, bahwa menulis itu sulit jika belum menceburkan dalam kubangan menulis. Itu yang saya rasakan. Bila saya merasa bingung apalagi yang ingin saya tulis, saya berhenti sejenak. Sejenak saja. Kalau bisa hindari terlalu lama. Waktu sejenak itu, saya manfaatkan untuk menikmati Rose cream Biscuits. Dua-tiga potong Biscuits tak tersisa. Setelah itu, saya pun tidak tahu, secara ajaib, kata-kata yang ingin saya tulis muncul kembali. Ya, bisa jadi semacam ilham lah. Insyaallah bila kita mencobanya, ia akan mengalir.
Semakin asyik menulis semakin sulit bagi saya mengakhiri tulisan ini. Anda pun semakin sulit memalingkan mata Anda untuk berpindah dari membaca tulisan saya. Dan, sebenarnya, saya pun turut berterimakasih kepada Anda atas bersedianya Anda membaca tulisan saya. Jika kita plasback kepada obrolan anak-anak di muka, ternyata anak-anak lebih peka terhadap perkembangan zaman. Terutama dalam dunia musik. Mereka pasti sangat hafal lagu mbah Surip. Juga mungkin lagu yang lain. Bagaimana tidak hafal, hampir setiap hari, kita, yang mempunyai pesawat televisi pasti akan disuguhi acara musik. Ada Dahsyat, Dering, Inboxs, dan nama yang lain yang menyuguhkan acara live musik.
Saya pun tidak tahu, mengapa anak-anak di zaman saya, mereka kurang menyukai lagu-lagu yang pantas buat mereka. Atau cocoknya, lagu itu buat remaja-dewasa. Tapi anak-anak menyukainya. Itu kira-kira apa yang terlintas dalam benak saya ketika melewati kerumunan anak-anak di komplek kos. Saya juga, pada akhirnya memuji anak-anak itu karena mereka, ternyata lebih tahu apa saja yang sedang hangat di televisi. Saya hanya berdo’a, mudah-mudahan keingintahuan anak-anak itu tidak sebatas acara musik saja. Tapi lebih dari itu yang sekiranya mendukung prestasi akademik di sekolahnya. Perkembangan berita dunia, berita pendidikan, atau bahkan, anak-anak tahu tidak bahwa kita telah melaksanakan pilpres.
Saya tidak menganggap ini sebuah tulisan serius. Begitupun dengan Anda. Ini hanya semacam ekpresi saya ketika saya tidak sedang mood menulis. Namanya juga sedang tidak mood, maka isinya pun tak jauh dari yang saya rasakan. Atau ini hanya sebuah goresan tak bermakna bagi Anda. Tapi bagi saya, ini sebuah anugrah yang tak terkira. Karena saya bisa menulis bebas tanpa terikat oleh apapun. Saya pun yakin, Anda lebih berkompeten dalam dunia yang sedang saya geluti ini. Dalam tulisan ini pun saya membuat kesalahan, saya tidak akan memohon maaf, sebab rasanya lebih berguna bila saya mohon Anda memperbaikinya.
Tegal Laka-laka : Superpositive Traveling (Bag. 2)
8 tahun yang lalu
1 komentar:
apakah prinsip itu perlu?... sejauh mana manusia harus mempunyai prinsip?
Posting Komentar