Senin, 25 Mei 2009

Sendiri, Lamunan dan Buku

Oleh Reza Nugraha

Apa hubungan ketiga kata di atas? Sekilas nampak tak ada kaitannya. Saat sendiri, yang ada hanya lamunan. Dari pada melamun, mending baca buku. Begitu? Tak terlalu benar. Namun setidaknya tiga kata tersebut cukup menggambarkan apa yang selama ini saya perbuat, saya alami, dan saya rasakan.

Suatu ketika, saya pernah mendengar celotehan seorang kawan. Katanya, penulis itu tak punya banyak kawan. Karena sehari-hari, hidup sendiri dan menyendiri. Masa sih? Awalnya saya amat tidak sependapat. Bukannya penulis itu harus banyak relasi da jaringan yang luas. Ya, pastinya itu cuma celotehan. Tak perlu saya anggap serius.

Lama-lama, ada satu perasaan yang cukup mengganggu saya. Berhari-hari saya merasa sakit kepala, perut mual-mual, dan flu berat. Apa itu ada hubungannya dengan pernyataan kawan itu? Mungkin. Selain memang saya merasa itu gejala flu berat dan radang tenggorokan. Namun, ada sesuatu yang berkecamuk dan benak saya. Hingga saya sulit utarakan hal tersebut pada siapapun, termasuk pada sahabat saya sendiri.

Saya ingin seperti dia. Ya, dia. Dia jadi penulis. Dan, saya harus jadi penulis. Banyak hal yang saya korbankan untuk dapat berkonsentrasi menjadi penulis. Saya malas berinteraksi dengan siapapun. Ada satu gejala sosial yang buruk yang saya alami. Pekerjaan, hanya mencari wangsit dalam perenungan yang panjang dan tatapan yang hampa. Saya malas bicara pada siapapun. Tak ada yang dapat mengganggu konsentrasi ini.

Saya lupa. Beberapa hari mendekap dalam gelap dan dinginnya kamar. Mengurung diri dan menghindar dari kilauan dunia luar. Sehari-hari makan bubur tanpa kerupuk. Untung buburnya bubur Cianjur, bukan bubur Bandung. Hitam dan manis, memuakkan. Batuk-batuk layaknya tua renta. Lemas seperti habis membuang pelus sia-sia.

Ketika kembali ke Bandung, saya masih menyisakan virus dan tensi darah yang rendah. Namun, saya belum puas. Saya masih iri pada dia. Dia seorang penulis. Saya harus lebih banyak melamun. Saya rajin mengeluarkan uang hanya untuk membeli buku. Dari emperan agar murah, hingga berburu ke Gramedia dan menghabiskan waktu berjam-jam disana untuk membeli satu buku murah, dan mencuri informasi dari buku-buku yang tak dapat saya beli.

Saya baca buku. Politik, pemikiran, sastra, hingga ekonomi Islam. Ada apa ini? Mendadak saya senang melahap eksemplar buku. Tapi tak satu pun dapat saya selesaikan. Tak satu pun membuat saya betah untuk dapat membuka satu persatu lembaran buku. Persetan!

Langsung saja tulis. Demikian pelajaran yang saya terima dari banyak orang. Orang biasa hingga penulis sekaliber nasional. Tulis-tulis-tulis. Gila! Saya harus habiskan tinta pulpen untuk menulis. Belum lagi lembaran-lembaran loose leave yang lama-lama membuat binder semakin tipis. Tangan dan telapaknya mengeras dan menyemut. Hanya untuk menyusun kata demi kata, frase demi frase hingga menjadi klausa dan kalimat sempurna. Mudah-mudahan bisa menjadis sebuah paragraf dan wacana yang bermakna.

Saya gulung saja kertasnya. Ketika saya muak dengan apa yang saya kerjakan. Saya butuh laptop. Minimal komputer. Tapi menghitung hari rasanya membuat jemu dan rasanya hidup begitu hampa dijalani. Saya pergi menyendiri di pojok warnet atau rental. Tiba-tiba bubar semua apa yang sedang saya rasakan ketika hasrat itu begitu menggebu. Padahal saya begitu horny ingin menulis. Seperti dia, dia seorang penulis.

Ya, sekarang saya hanya melamun. Melamun dulu. Lihat saja, suatu saat saya bisa. Sekarang saya ingin menyendiri. Selayaknya orang yang punya penyakit sosial. Tak mau diganggu dan ingin sendiri. Tak apa mereka bilang apa. Saya jadi lupa. Saya punya kawan. Saya punya pacar. Pacar saya mungkin sedih melihat saya. Sudah beberapa waktu, saya dinginkan dia. Padahal saya cinta dia. Saya lupa.

Maaf, saya ingin sendiri. Saya mau melamun dan melahap buku. Biar bisa kalahkan dia. Dia, seorang penulis.

0 komentar:

Posting Komentar

 

e-Buletin Pena IMM Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template